x

Peserta membawa prasasti bertuliskan Panca Sila dan pahatan wajah Presiden Pertama Indonesia Soekarno saat pawai Grebek Pancasila di Kota Blitar, Jawa Timur, 1 Juni 2016. Masyarakat Blitar menggelar Grebek Pancasila secara rutin untuk memperingati Ha

Iklan

Despan Heryansyah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pancasila dalam Kritik

Pancasila bukanlah hasil kesepakatan semua anggota BPUK, melainkan hasil kompromi dari pendiri republik tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

71 tahun kita memperingati hari lahirnya Pancasila, namun demikian mengutip kata bung Karno pada 1 Juni 1945, Pancasila sebagai jiwa dan nilai telah hidup puluhan bahkan ratusan tahun dalu dalam diri rakyat Indonesia. Seperti halnya Gandhi di India dan Sun Yat Sen di Cina, weltanchaung suatu negara bukanlah gagasan sehari jadi bak mantra ”abra kadabra” melainkan telah ada jauh sebelum negara itu lahir. Sebagai filsafat negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, kita telah menyaksikan liku perjalan Pancasila dalam sejarah bangsa. Dalam konteks negara demokrasi, kita seharusnya terbuka atas kritik dari semua pihak terhadap Pancasila, kritik setidaknya bermanfaat untuk mengukur sejauh mana peran pancasila dalam mencapai tujuan negara dan seberapa relevan Pancasila dalam menghadapi tantangan global.

Ada pertanyaan yang cukup menarik dilontarkan oleh Prof. Notonegoro yang masih sangat relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini, bukankah Pancasila digali lansung dari rakyat Indonesia, bukankah Pancasila adalah cerminan jati diri bangsa Indonesia, lalu jika demikian, mengapa tindakan serta prilaku rakyat Indonesia saat ini jauh dari nilai-nilai Pancasila? Jauh dari nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Tentu ada banyak alasan yang bisa diajukan, dan rasanya tidak adil jika kita lansung menghakimi bahwa Pancasila sudah tidak relevan dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Tapi setidaknya pertanyaan tersebut penting untuk kita renungkan lebih mendalam, agar akar persoalan dapat ditemukan. Bagaimana mungkin Pancasila dikatakan sebagai cerminan jati diri bangsa, jika dalam realitas jati diri yang dimaksud berbanding terbalik 180°? Jika memang Pancasila sudah tidak relevan dengan kondisi bangsa dewasa ini, tentu tidak haram hukumnya jika dilakukan perubahan.

Pancasila Produk Kompromi

Jika kita mencoba untuk membaca sejarah perumusan Pancasila oleh Founding People (Founding Fathers), dapat kita simpulkan bahwa Pancila bukanlah hasil kesepakatan semua anggota BPUK, melainkan hasil kompromi dari pendiri republik tersebut. Kompromi yang didasari atas kecintaan terhadap negara, kompromi demi kepentingan yang lebih besar bagi masa depan bangsa. Kita bisa melihat bagaimana perdebatan antara Bung Karno dan Bung Hatta, antara Bung Karno dan Moh Natsir, antara Soepomo dan Moh Yamin, Ki Bagus Hadikusumo, dan masih banyak tokoh-tokoh yang lain. Perdebatan menyangkut hal-hal yang sangat substansial semisal dasar negara, HAM, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat. Namun pada akhirya, sebagian pihak harus mengalah (meski dalam perasaan yang kurang puas) demi kepentingan bangsa yang ketika itu mendesak membutuhkan konstitusi sebagai dasar negara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sekitar tahun 1956-1959, pada saat sidang badan konstituante hasil pemilu 1955 yang diberikan otoritas untuk “menyempurnakan” UUD, keberadaan Pancasila dipermasalahkan terutama oleh golongan Islam. Mohammad Natsir yang ketika itu sangat vocal menyuarakan aspirasi golongannya. Terlepas dari konteks ideologi Islam yang diusung oleh Natrsir bersama kelompoknya, yang kita dasari bersama penerapan ideologi Islam bukan merupakan solusi terbaik bagi bangsa Indonesia, namun ada baiknya kita melihat kritik yang diberikan oleh Natsir. Natsir menyatakan bahwa ideologi Pancasila merupakan ideologi yang dinamis negatif. Kedinamisan yang dimiliki oleh Pancasila memiliki dampak yang negatif, terutama atas pencapaian kesejahteraan rakyat dan pelaksanaan demokrasi.

Kritik Natsir atas Pancasila di atas, kalau kita perhatikan memang ada benarnya. Sebagai ideologi yang sangat terbuka, Pancasila memiliki dampak yang negatif terhadap pencapaian tujuan negara. Pancasila membuka diri terhadap ideologi-ideologi lain untuk diterapkan di Indonesia, Pancasila dijadikan sebagai tameng bagi pemerintah untuk melegalkan semua tindakan atau kebijakan yang dikeluarkan, baik kebijakan yang pro rakyat ataupun kebijakan yang “mencekik” rakyat. Atas dasar pancasila pula, otoritarianisme orde lama dan orde baru dijalankan, atas dasar Pancasila seringkali rakyat dikorbankan demi kepentingan negara. Mari kita bandingkan dengan tiga ideologi besar yang menguasai dunia saat ini, Ideologi Kapitalis yang membuka ruang kebebasan bagi setiap individu untu menguasai pasar, Ideologi Komunis yang membawa prinsip kepentingan bersama di atas kepentingan individu, dan Ideologi Islam yang mendasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits. Pancasila berada diantara ketiganya, sehingga menjadikan kebijakan yang diambil negara bergantung pada kepentingan apa yang dimiliki oleh penguasa, landasan filosofisnya dapat dicari belakangan karena memang ideologi Pancasila begitu terbuka. Dengan apologi yang begitu indah sebagai ideologi bangsa yang merupakan hasil kompromi dari tiga ideologi besar di dunia, Pancasila dalam konteks kesejahteraan rakyat belum menghasilkan apa-apa, hanya persatuan bangsa yang sesungguhnya dipertahankan dengan perjuangan senjata bukan kesadaran pancasila.

Kesejahteraan Sosial

Tulisan ini tidak dalam rangkat menyulut aksi masa untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Tulisan ini hanya mencoba mengajak kita untuk kembali dapat berdiskusi secara terbuka terhadap ideologi pancasila. Apakah Pancasila harus diganti dengan ideologi yang lebih baik ataukah harus ditafsirkan ulang agar lebih konkrit dalam mencapai tujuan negara, itu adalah tugas kita semua untuk memikirkannya. Generasi yang akan datang punya tantangan sendiri dan cara tersendiri untuk memegang kondali kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Oleh karenanya biarkan mereka menentukan kebijakan apa yang harus dilakukan. Pada akhirnya, kesejahteraan rakyat yang diridhoi Tuhanlah yang kita inginkan.

 

Oleh: DespanHeryansyah,SHI., MH.

Mahasiswa Program Doktor FH UII YOGYAKARTA

Peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII

Ikuti tulisan menarik Despan Heryansyah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan