x

Puasa Paling Menantang di Belahan Bumi Utara

Iklan

nina harada

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Cara Muslim di Jepang Atasi Lemas Saat Puasa

Antusiasme muslim Indonesia di Jepang dalam menyambut bulan suci Ramadan tidak kalah seru dengan yang di tanah air.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Antusiasme muslim Indonesia di Jepang dalam menyambut bulan suci Ramadan tidak kalah seru dengan yang di tanah air. Untuk penetapan 1 Ramadan misalnya, media sosial seperti Facebook, Twitter, juga Line ramai dengan pertanyaan kapan awal puasa. Live streaming televisi di Indonesia, mesin pencari google, semua dipantengin. 

Situs-situs Islam seperti Makkah calendar, yang sebenarnya jauh hari telah menayangkan awal puasa, memberikan notifikasi khusus tentang update terbaru awal puasa. Tentu saja website KBRI Tokyo juga tak ketinggalan mengumumkan tentang penetapan awal puasa 2014 untuk daerah Jepang.

Tapi tetap saja, media sosial seperti Facebook, twitter, terutama Line lah yang paling dipantengin karena informasi lebih cepat bergerak. Seperti misalnya Ibu-Ibu pengajian, yang di berada di daerah Kanagawa prefecture, yang bersuamikan orang Jepang, mereka saling mengabarkan informasi terkini agar muslimah yang hendak menjalankan ibadah puasa bisa berpuasa dengan tenang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai kaum minoritas, media sosial bisa dikatakan sebagai sarana untuk bisa mendapatkan informasi secara cepat. Kita tidak bisa mengharapkan pemerintah Jepang akan memberikan pengumuman seperti di Indonesia. Kita juga tidak bisa mengharapkan perdana menteri Jepang akan memberikan ucapan selamat menunaikan ibadah puasa bagi kita.

Bahkan bagi muslimah yang bersuamikan orang Jepang seperti saya, kami inilah yang aktif mencari informasi, para suami cuma nurut.

Tantangan terbesar puasa saat ini adalah rasa haus. Kebetulan awal puasa tahun ini jatuhnya di akhir musim hujan dan di awal musim panas. Cuaca yang belum panas benar, dengan mendung dan hujan yang masih turun, banyak membantu beradaptasi mengurangi rasa haus yang sangat di musim panas.

Tidak Seperti awal puasa tahun lalu yang berada di tengah musim panas, yang panasnya bikin kering tenggorokan. Karena puasa yang jatuh di musim panas ini, tentu saja membuat jam berpuasa lebih panjang dari Indonesia. Waktu Imsa' sekitar pukul 02.42 dan waktu berbuka sekitar pukul 19.00.

Dengan waktu berpuasa yang kira-kira 17 jam itu, bagaimana umat Islam di Jepang menyiasatinya? Sedikit gambaran tentang musim panas di Jepang. Udara yang kering, angin yang tidak bertiup, dan langit yang benar-benar biru dengan mega yang benar-benar putih.

Cahaya matahari yang terang benderang tak terhalang satu mendung pun. Dan keringat yang bagaikan talang bocor, tak bisa berhenti mengalir. Menambah kerongkongan yang kering semakin terasa lekat satu sama lain. Bagi yang bekerja di kantor, akan sangat tertolong karena ruangan yang berpendingin udara.

Tapi bagaimana dengan mereka yang bekerja di luar? Bagaimana mereka mengakali dehidrasi parah mereka? Jam bekerja di Jepang, katakanlah dari jam 8 pagi hingga 5 sore. Jika di Indonesia ada waktu istirahat untuk melaksanakan salat zuhur dan makan siang, maka di Jepang juga ada jam makan siang. Karena para pekerja ini tidak bisa minta perlakuan  khusus di bulan puasa, di jam makan siang inilah biasanya digunakan untuk beristirahat sejenak di tempat yang sejuk, mengembalikan stamina.

Waktu berbuka hingga sahur bisa digunakan untuk membayar utang dehidrasi badan di siang hari. Mungkin tak jauh berbeda dengan para petani yang berpuasa kebetulan sedang musim tandur di musim kemarau. Jadi, satu-satunya cara menyiasati dehidrasi ya minum ekstra di waktu sahur dan berbuka.

Jika di Indonesia tempat hiburan malam disarankan untuk mengurangi kegiatan sebagai bentuk menghormati bulan suci Ramadan, maka di Jepang malam berlalu seperti biasanya. Segala lini sendi kehidupan tetap berdenyut seperti biasanya. Restoran-restoran tetap menyajikan menu daging babi, penjual minuman beralkohol tetap buka melayani pelanggan.

Maka tidak akan terjadi yang namanya sweeping di rumah-rumah makan, bar-bar, atau diskotik. Bisa dikatakan, bulan suci Ramadan itu tak pernah mereka dengar, mereka tahu, dan bukan sesuatu yang harus dipikirkan.

Saya sering sekali berpikir, bahwa mereka-mereka, yang merasa mayoritas, yang merasa bahwa Islam harus diprioritaskan di Indonesia. Yang selain Islam harus menghormati Islam. Rasanya, perlulah sesekali melihat dan merasakan sebagai kaum minoritas, yang seolah tak ada, tak dianggap, di negeri lain, sehingga mereka bisa punya persepsi yang berbeda dengan yang selama ini mereka maunya dimengerti dan dimenangkan.

Karena waktu berbuka yang lumayan malam, maka menjadi tantangan tersendiri untuk melaksanakan salat tarawih. Apalagi jika ingin salat tarawih berjamaah. Karena biasanya masjid tidak terletak dekat dengan tempat tinggal mereka. Seperti misalnya penulis yang harus menempuh 60km untuk bisa salat tarawih bersama di masjid Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT).

Untuk sampai kesana, butuh waktu kurang lebih 1,5 jam dengan kereta api atau mobil. Jika waktu Isya' jam 8 malam, selesai tarawih jam 9 malam, sampai di rumah bisa sekitar jam 11 malam. Kemudian jam 01.30 bangun untuk persiapan sahur. Sungguh Ramadan yang penuh tantangan.

Tapi, suatu yang berat bisa terasa ringan jika dikerjakan dengan ikhlas dan bersama-sama. Ukhuwah yang indah, dengan makanan yang lezat, insha Allah. Suami saya bisa dikatakan sebagai satu-satunya Muslim Jepang. Di bulan puasa seperti ini, karena pengetahuan orang Jepang tentang puasa amat minim, ia sering mendapatkan tawaran minum atau makan di tempatnya bekerja.

Sesudah suami memberitahu bahwa ia berpuasa, mereka biasanya meminta maaf. Tapi hal itu tak membuat mereka menghentikan kegiatannya. Mereka tetap makan dan suami saya berusaha tabah untuk tetap berpuasa.

Tentang hal itu, saya teringat pesan Gus Dur. Jika kita merasa muslim yang terhormat, maka kita akan berpuasa dengan menghormati orang yang tidak berpuasa. Meskipun di Jepang kita sebagai minoritas. Salam dari negeri Sakura.

 

Nina Harada

Ibu dari dua gadis cilik, tinggal di Jepang

 

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Koran Tempo dalam edisi Ramadan 2014.

Ikuti tulisan menarik nina harada lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler