x

Iklan

L Murbandono Hs

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Doa, Dusta, Agama, dan Komunis

Masa puasa Indonesia penuh dengan doa-doa mohon sejahtera. Akan terkabulkah doa tersebut? Agaknya tidak! Sebab dusta dibiarkan merajalela di mana-mana.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

(Ilustrasi: sarapandulu.blogspot.com)

 

Negara kita, Indonesia, negara yang selalu sibuk beragama, di masa puasa ini tentunya  penuh sesak berbunga-bunga dengan doa-doa. Mendoakan Indonesia yang ruwet riuh rendah agar bisa menjadi damai dan sejahtera seperti di surga. Akan terkabulkah doa tersebut? Agaknya tidak! Sebab dusta dibiarkan merajalela di mana-mana.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Siapa yang membiarkan? Semua penguasa yang mendapat keuntungan dari dusta-dusta tersebut.  Para penguasa begituan akan oke-oke  saja berzinah dengan kuasa dusta-dusta  di pilar-pilar penting negara. Mereka, yang diharap menjadi kubu terakhir kejujuran dan keadilan sosial, tidak sedikit yang karena sudah telanjur lama menikmati zinah dengan dusta, malahan sekalian berkiprah dengan mental bandit,  ikut-ikutan memberangusi upaya-upaya membongkar kepalsuan.

 

Jujur saja, segala jenis dan rupa doa di negara kita saat ini sudah menjadi amat krusial. Segala cara dusta yang masih dibiarkan mencabuli Sabang sampai Merauke itu, bisa membuat batal ritus mulia segala jenis doa.

 

DUSTA MERAJALELA

Salah satu dusta paling keji di Indonesia adalah menyangkut soal vonis mati bagi komunisme sebagai suatu paham hidup. Keji, sebab dusta itu telah merusak akal sehat, sebagai salah satu sumber daya hidup manusia untuk benar-benar menjadi manusia yang manusiawi. Gus Dur, dengan jiwa agung demokrat yang peduli akan pluriformitas, telah menawarkan pencerahan tentangnya,  dengan usul pencabutan TAP MPRS XXV/1966. Nilai kebenaran dan kebaikan yang terkandung di dalam usulan tersebut, oleh “sedikit” atau “amat sedikit” orang, tapi amat kaya raya, telah ditentang dan diprotes dengan 1001 ilmu dan cara dusta.

 

Mengapa dusta? Sebab pelarangan sebuah paham hidup itu tidak bisa ditemukan di segala ilmu di bumi, kecuali ilmu ngibul. Fondasi dusta  tersebut, sang arsitek pelarangan, Sang Diktator dkk, sudah dicatat sejarah sebagai tukang ngibul dalam banyak kasus raksasa. Tapi negara kita ini sial. Masih saja ada gerombolan manusia gagal nalar, ngotot dengan segala cara untuk melestarikan monumen pelarangan yang tidak masuk akal itu. Pasalnya,  pelestarian monumen konyol  itu bisa bikin suci dosa percabulannya dengan Orbaisme Diktator  di masa lalu.

 

Gus Dur, meski bukan malaekat yang tentunya tidak lepas dari “dosa”, tapi untuk urusan merobohkan monumen keculasan itu, beliau gagah berani dan terutama berani jujur! Di era Sang Diktator,  usul jujur  semacam itu bisa membuat orang diculik, digebuk, dikarungkan, dimasukkan ke cor beton, dan  ditenggelamkan ke laut.

 

Apakah Sang Diktator anti komunis? Menilik sekolahnya hingga mampu menjadi serdadu KNIL, tulis wartawan kawakan Belanda William Oltmans  dalam sekitar 100 halaman surat pribadinya kepada Diktator,  repot bagi yang bersangkutan menjadi manusia antikomunis. Orang yang antikomunis  adalah orang yang mengerti komunis. Bagaimana bisa antikomunis, kalau tidak mengerti komunis? Menurut Oltmans, Sang Diktator itu bukan anti, tapi cuma dengki, dendam, dan sewenang-wenang kepada komunis. Tulisan Oltmans berdasar  puluhan kitab dan ribuan halaman kertas ceramah yang bisa ditemukan di semua perpustakaan universitas terkemuka di dunia.

 

Muara seluruh isi dokumen adalah, banyak orang komunis mengetahui borok, dosa, cacat, manipulasi dan terutama kelicikan Sang Diktator dan antek-anteknya. Jika kaum komunis antidiktator dibiarkan hidup bebas, dikuatirkan akan berpidato membongkar segala cacat dan dosanya.

 

Lepas dari girap-girap Sang Diktator terhadap komunis yang sepenuhnya urusan pribadinya, secara objektif faktual dan ilmiah, atau cukup dengan akal sehat, TAP MPRS XXV/1966 itu dengan amat mencolok melanggar lima produk peradaban. (1) Melanggar UUD 45. (2) Melanggar Pancasila dan 10 Perintah Allah. (3) Melanggar Bhineka Tunggal Ika. (4) Melanggar HAM. (5)  Melanggar semua ajaran agama sejati yang betul-betul suci mulia yang membawa kedamaian.

 

Dari lima pelanggaran itu, penulis enggan mengupas pelanggaran pertama sampai dengan keempat. Percuma! Di samping akan selalu dilawan dengan ilmu “pokoknya” dan ngelmu ngibul berdasar gagal nalar, empat pelanggaran itu perlu ruang lebih luas, semisal sekian seminar dan konperensi.

 

Maka, penulis terbatas memilih pelanggaran kelima saja. Soalnya gampang dan jelas, juga mengingat negara kita Indonesia suka tebar citra ke seluruh dunia dan ke mana saja sebagai negara yang amat sibuk  beragama.

 

 

AGAMA SEJATI

Mengapa Tap MPRS XXV/1966 melanggar ajaran agama? Jawabnya bisa seluas lautan. Terpenting, menyangkut sepuluh fondasi berikut:

 

Pertama, sebab TAP tersebut tidak masuk akal sehat, yang menjadi dasar terpenting semua agama. Agama yang tidak mampu menghadapi akal sehat, bukan agama, mungkin kerak fosil purba. Agama macam itu tak bisa dipercaya, berbahaya, merusak akal sehat, dan terpenting: tidak manusiawi!  Agama sejati yang suci dan mulia, harus manusiawi.

 

Kedua, agama adalah sarana dan pedoman bagi manusia untuk menuju Tuhan. Mengapa manusia harus menuju kepada Tuhan? Apa dan siapa Tuhan, kok orang harus menuju? Tidak ada yang tahu. Rata-rata  ikut-ikutan saja. Karena kultur. Tradisi. Patuh pada nenek moyang. Cuma kebetulan. Dan lain-lain.

 

Ketiga, seluruh wacana tentang Tuhan itu, meski sudah ditelusuri di sekolah-sekolah dan padepokan teologi dari agama apa saja, juga di kantor-kantor agama apa saja, di lembaga dan atau tokoh-tokohnya, di segala apanya saja, sudah berlangsung berabad-abad, Tuhan masih saja hipotesis, atau paling pol tesis, dan karena itu tidak tabu untuk terus ditelusuri, diuji dan dikaji. Anehnya, meski Tuhan itu sudah berabad-abad diuji, Dia terus menerus lulus. Nyatanya, sampai detik ini, masih saja dikaji dan diuji. Dan Tuhan sendiri masih eksis dengan segala problematika dan wacanaNya.

 

Keempat, sekalipun secara ekstrim Tuhan dianggap sebagai Sang Entah,  Dia tetap diakui sebagai sumber segala yang baik, benar, mulia, suci, indah, damai, tenteram, selamat, sumber segala hal yang positif, dan terpenting sumber cinta segala cinta. Karena itu, Apa pun, Siapa pun, Di Mana pun, Kapan pun, Bagaimana pun dan Mengapa pun Tuhan itu, tidak pernah menimbulkan masalah. Dia dianggap Sang Ada atau Sang Tidak Ada, sama saja. Dia tidak peduli. Tuhan tidak menjadi lebih besar atau lebih kecil, karena diadakan atau ditiadakan. Dilecehkan pun, Dia tetap Hidup. Dia tak perlu dibela. Dia sudah Mahakuat.

 

Kelima, bagi, di hadapan, dan di Mata Tuhan, semua orang, asal menuju ke arah kebenaran, kebaikan dan cinta, sudah tepat sebagai manusia. Ia sudah menuju kepada Tuhan, meski mungkin tidak mengakui adaNya Tuhan. Terhadap orang macam itu, Tuhan tidak  usil. Bagi Tuhan, menjadi manusia yang berusaha memanusia secara manusiawi,  jauh lebih penting katimbang harus menggunakan sarana dogma  agama ini atau  itu. Bahkan sekalipun yang bersangkutan tidak memilih salah satu agama apa pun. Sebab, Tuhan itu  Mahapembebas. Dia Pembebas yang membebaskan. Tuhan tidak pernah membelenggu!

 

Keenam, oleh banyak agama, Tuhan disebut Mahabesar dan Mahapengampun. Kebesaran Tuhan itu, salah satu tandanya di bumi adalah fakta dengan tersedianya keberlimpahan agama di dunia. Bukan cuma satu atau cuma sepuluh, tetapi terdapat ratusan ribu agama di dunia. Semua menuju ke Tuhan. Menuju ke Cinta, dasar segala kebaikan dan kebenaran. Di luar kubu agama, Tuhan makin menunjukkan KebesaranNya, dengan fakta ketersediaan 1001 kubu faham hidup.

 

Ketujuh, dari keserbanekaan agama dan faham hidup itu, mungkinkah, ada agama yang bisa mengklaim diri sebagai satu-satunya sarana, satu-satunya jalan, satu-satunya pedoman, bagi manusia, untuk menuju kepada Tuhan? Juga masuk akalkah, jika ada pemeluk agama yang mendaku diri paling benar, sehingga memaksakan kebenarannya sendiri bagi pemeluk agama lain? Betulkah agamanya memang mengajarkan hal begitu? Bagaimana kalau sang pemeluk itu keliru? Bukankah agama dan sang pemeluk itu dua hal berbeda?

 

Kedelapan, selama bumi masih di dalam jagat dan jagat masih di dalam bumi, agama apa pun masih di jagat dan semua masih mencari-cari. Selama bumi disebut dunia dan dunia masih disebut bumi, maka nama segala nama di dalam agama, seribu istilah dan terminologi, segala nabi dan orang-orang suci, masih terus dicari-cari dan ditelusuri

 

Kesembilan, agamaku agamaku, agamamu agamamu. Kitab suciku kitab suciku, kitab sucimu kitab sucimu. Nabiku memang nabiku, nabimu memang nabimu. Faham hidupku, faham hidupmu. Tapi bukan berarti harus saling mengganggu. Sebab semua orang harus selalu bertemu. Jadi marilah, ayo, rukun damai bersama-sama. Sebab semua orang hidup di dunia yang sama. Dengan hak dan kewajiban yang sama. Itu fakta!

 

Kesepuluh, perbedaan agama dan perbedaan faham hidup bukan cacat. Itulah kenyataan hidup yang sehat. Perbedaan dan pluriformitas itu rahmat, bukan untuk digusari, justru harus disyukuri. Sebab itu semua justru menandai Kemahaluasan Tuhan, Sang Mahapenampung segala sesuatu. Sebab Tuhan merangkul segala sesuatu.

 

TERLANTAR OLEH DUSTA

Dari sepuluh fondasi korelasi agama, Tuhan, dengan TAP MPRS XXV/1966 di atas kiranya harus menjadi jelas, Tuhan tidak melarang beraneka ragam paham hidup, termasuk komunis. Di samping membebaskan ribuan agama, Tuhan juga tak akan pernah menindas segala paham hidup. Sebab paham hidup itu ada di benak dan di batin pihak terkait. Paham hidup mustahil dilarang.  Siapa bisa melarang jalan pikiran orang? Yang bisa dilarang dan atau dihukum adalah tindakan-tindakan yang biadab, apa pun yang melatar-belakangi tindakan tersebut. Tapi paham hidupnya sendiri, tidak bisa diapa-apakan.

 

Tidak mengherankan jika Gus Dur mengusulkan pencabutan TAP yang tidak masuk akal itu. Sayang. Usul Gus Dur yang amat signifikan dalam karya politik sebagai bagian peradaban yang berbudaya, yang bisa menjadi fondasi reformasi dan demokratisasi, masih diharu-biru. Menjadi terlantar. Oleh siapa? Oleh dusta dan dusta berdasar gagal nalar! Salah satu alasan segala jenis doa dan semiliar doa tidak digubris Sang Paring Gesang.

 

Selamat berdoa!

 

Gunung Merbabu, Juni 2016

 

*****

 

Ikuti tulisan menarik L Murbandono Hs lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB