x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mendekati Umar Khayyam dari Segala Penjuru

Umar Khayyam bukan hanya penyair karena Rubaiyyat-nya. Ia memberi kontribusi penting terhadap perkembangan matematika dan astronomi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
"Manakala aku ingin memahami apa yang terjadi hari ini atau berusaha memperkirakan apa yang akan terjadi esok hari, aku menengok ke belakang."
--Umar Khayyam (1048-1131)
 

Tidak seperti Maulana Jalaluddin Rumi yang sangat kental dengan aroma spiritualistik dalam puisi-puisinya semata, Umar Khayyam memiliki sisi lain yang tak kalah memesona sebagai ilmuwan. Sebagai pujangga, Khayyam kerap disalahmengerti dan dipersepsi sebagai penyair yang memuja keduniawian. Sebagai ilmuwan, Khayyam diakui kontribusinya terhadap matematika dan astronomi.

Di Barat, nama Umar Khayyam—orang hebat dari abad ke-5 H/ke-11 M—memang selalu lekat dengan Rubaiyyat semata. Sajak-sajaknya yang tertuang dalam baris-baris kwatrin menemani para serdadu yang berangkat ke medan perang. Berkat FitzGerald (1859), Khayyam menembus dunia Eropa Barat oleh karena pesona anggurnya, yang dianggap sebagai pemujaan atas kenikmatan ala Epicurian—sebuah tafsir yang ditampik oleh Syed Hossein Nasr.

Tak ada pemikir Iran selain Khayyam, kata Nasr, yang dipandang dengan cara-cara yang sangat berbeda. Di ujung spektrum terdapat klab malam yang dinamai Khayyam, sebagai representasi watak hedonis agnostik yang dicitrakan pada dirinya. Di ujung lain, ia dipandang sebagai penyair sufi mistis yang dipengaruhi tradisi platonik. Melihat hanya pada syair-syair Khayyam untuk menilai pemikir ini, kata Nasr, sungguh mereduksi pandangan personal Khayyam tentang Tuhan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jamil Ahmad, dalam Seratus Muslim Terkemuka (Penerbit Pustaka Firdaus, 1994), mengutip kwatrin terjemahan FitzGerald:

Ah, kekasihku, isilah sloki yang menjernihkan
Hari ini dan penyesalan lalu dan ketakutan masa depan
Hari esok! Wah, esok aku barangkali
Diriku sendiri dengan tujuh ribu tahun kemarin
 

Ada kesalahpahaman tentang watak pikiran Khayyam, tulis Mehdi Aminrazavi dalam The Wine of Wisdom (2005), yang dibentuk oleh penafsiran bebas FitzGerald. Kemashuran karya translasi sastrawan Inggris ini menjadikannya pintu paling popular untuk mengenal Khayyam, walau karya Khayyam tentang Aljabar sudah diterjemahkan di Eropa delapan tahun lebih awal. Sebagian orang, lantaran itu, menganggapnya sebagai pemikir bebas, seorang “Voltaire dari Timur”, yang menjadikannya hero di Eropa abad ke-19.

Ahmad menganggap Khayyam mengikuti garis filsafat Epicurus. Nasr punya penglihatan yang berbeda. Yang tampak bagaikan sikap kurang peduli atau agnostisisme dalam syairnya, tutur Nasr, sesungguhnya hanyalah semacam bentuk penyembuh-instan bagi seorang gnostik. Ini tidak ubahnya Aenesidemus yang menggunakan cara skeptis yang sama untuk tujuan serupa. Namun memahami Khayyam tak cukup dengan mencerna apa yang tersirat dengan pertanyaan intelektual, melainkan dengan kemestian menyentuh fondasi paling dasar dari pandangan subyektif dan pengalaman spiritual Khayyam.

Dalam waktu yang lama, sosok utuh Khayyam tersembunyikan oleh kilau Rubaiyyat-nya. “Umar Khayyam adalah nama yang lebih akrab di Inggris dan Amerika ketimbang di Persia (karena Rubaiyyat-nya),” tulis H.A.R. Gibb dalam Legacy of Islam. Padahal, lebih dari seorang yang memiliki minat besar terhadap sains dan puisi, Khayyam pantas dikenal sebagai pemikir orisinal di ranah sains. Ia penafsir penting matematika Yunani dan menyodorkan perbaikan besar atas postulat-postulat Euclidian.”Dia matematikus terbesar Abad Pertengahan,” kata Minorsky.

Di balik syairnya yang mashur, Khayyam menjelajahi wilayah yang luas: matematika, filsafat, astronomi, kedokteran, sejarah, dan musik. Dua karya awalnya dalam matematika: Mushkilat al-Hisab membahas aturan-aturan umum mengenai akar positif dari angka-angka, yang masih tersimpan di Jerman, dan Sharh-l Mushkil min Kitab al-Musiqi berbicara ihwal musik dari sudut pandang matematika.

Dalam Aljabar, karya terpokoknya, Khayyam meletakkan prinsip-prinsip terkait dengan persamaan pangkat tiga. Dalam kitab ini, ia menulis tentang koefisien binomial yang kemudian dikenal sebagai segitiga Pascal—yang sudah selayaknya dinamai ulang sebagai segitiga Khayyam-Pascal. Tujuh tahun kemudian, Khayyam menulis Penjelasan tentang Kesukaran-kesukaran dalam Postulat-postulat Euclidus. Kritiknya terhadap geometri Euclides, yang menjadi rujukan selama 13 abad, membuka babak baru dalam telaah geometri.

Upaya Khayyam untuk mengatasi masalah ini membukakan jalan bagi pengembangan geometri non-Euclidean. Ini perombakan besar, oleh sebab ruang Euclidian datar dan absolut, sedangkan ruang non-Euclidian lengkung dan relatif. Albert Einstein membutuhkan pendekatan non-Euclidian untuk membuktikan bahwa cahaya bergerak bukan dalam garis lurus, melainkan sesuai kelengkungan ruang-waktu. Boleh jadi, Frederich Gauss menyadari keterbatasan ide-ide Euclidus sesudah membaca karya Khayyam.

Barangkali lantaran keyakinannya pada intuisi, yang menurut Khayyam merupakan petunjuk dari Tuhan sebagaimana keyakinan kaum Sufi, ia melakukan apa yang belum dikerjakan oleh ilmuwan sebelum dan sezamannya. Khayyam menyatukan dua dunia yang sebelumnya dipandang terpisah: aljabar dan geometri. Baginya, masalah geometri tertentu dapat dipecahkan dengan persamaan aljabar, dan sebaliknya persamaan aljabar dapat diselesaikan dengan geometri. Sebelum Khayyam, orang belum berpikir bahwa angka dapat digunakan untuk menyatakan suatu titik atau garis. Setelah Khayyam, Rene Descartes menyerap gagasan itu dan mengembangkan geometri analitik.

Kekuatan imajinasi, itulah yang melentingkan Khayyam hingga mampu melampaui sekat-sekat yang membatasi pikiran orang-orang sezaman maupun sebelum dirinya. Ia menyatukan puisi dan aljabar, astronomi, metafisika dalam dirinya. Khayyam itu universal, kata Nasr. Dalam astronomi, Khayyam menyumbangkan kalender Jalali yang dinilai oleh banyak ilmuwan lebih tepat ketimbang kalender Gregorian yang dipakai dunia internasional hingga kini.

Khayyam, pada 1079, menghitung satu tahun sebagai 365,24219858156 hari. Dari angka yang kita ketahui di masa sekarang, yaitu 365,242190, selisihnya hanya terdapat pada desimal keenam—sepersekian detik. Pengukuran kalendernya hanya memiliki 1 hari kesalahan untuk setiap 5.000 tahun, dan kalender Gregorian mempunyai 1 hari kesalahan untuk setiap 3.330 tahun.

Sebagaimana ia kerap disalahmengerti, namanya tenggelam pula oleh Copernicus, Kepler, Galileo walau ia telah lebih dulu membuktikan bahwa semesta ini tidak berputar mengelilingi Bumi sebagaimana diyakini orang-orang sebelumnya. Khayyam memang memiliki selera bersegi banyak, mencari kebenaran lewat pengetahuan dan menampik godaan kuasa meski untuk itu ia harus berpindah-pindah.

Bagi Khayyam, cara memperoleh pengetahuan merupakan soal yang utama. Dan orang yang begitu pintar dalam bidang seni dan sains pada zamannya ini memandang ‘cara pensucian’ sebagai cara terbaik dalam mencari pengetahuan. Khayyam meletakkan kaum Sufi pada tempat tertinggi dalam hierarki pengetahuan. “Mereka tidak mencari pengetahuan secara intelektual atau diskursif, melainkan dengan membersihkan batin dari ketidakmurnian alam dan tubuh jasmaniah,” tulisnya dalam Perihal Pengetahuan tentang Prinsip-prinsip Eksistensi.

Memahami Khayyam dengan hanya membaca Rubaiyyat akan mengantarkan pada tafsir yang keliru tentang sosok ini, yang dikabarkan mati setelah bersujud di tengah malam dan berseru: “Oh, Yang Maha Kuasa, sesungguhnya aku telah berusaha menginsyafi Engkau sejauh kemampuanku. Aku memohon pengampunan-Mu.”

Dia dimakamkan di satu belukar teduh yang indah. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler