x

Budayawan Ajip Rosidi tiba di The Habibie Centre. Dia akan mengembalian Habibie Award yang diterimanya pada 2009, 26 Mei 2016, Jakarta Selatan. TEMPO/Ahmal Ihsan

Iklan

Biru Langit

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa Saya Mengembalikan Habibie Award - Ajip Rosidi

Pernyataan saya tentang pengembalian Habibie Award yang pernah saya terima, ternyata telah mendapat reaksi dari berbagai pihak

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pernyataan saya tentang pengembalian Habibie Award yang pernah saya terima, ternyata telah mendapat reaksi dari berbagai pihak. Ketua Yayasan SDM-Iptek menyatakan bahwa ia menghormati keputusan saya, walaupun ia tidak hadir di kantor Habibie Center pada waktu yang sudah dia sepakati untuk menerima pengembalian piagam Habibie Award dari saya, sehingga terpaksa saya menyerahkannya kepada satpam, karena sekertarisnya tidak berani menerimanya konon karena sebelumnya tak pernah ada orang yang mengembalikan Habibie Award. Pada bulan sebelumnya dia tidak bisa menerimanya karena sedang di luar negeri. Tentang Habibie Award karena saya tidak dapat menerima keputusan Dewan Juri yang memberikannya kepada Nina Lubis, dia menganggap bahwa dia berbeda pendapat dengan saya. Dia menghormati sikap saya itu tetapi dia tidak menjawab pertanyaan yang saya kemukakan, yaitu bagaimana mungkin kalau juri telah bekerja secara profesional, berlandasankan integritas serta etika keilmuan, Sapadi Djoko Damono “dikalahkan” oleh Nina Lubis yang tidak jelas apa karyanya? Sapardi “kalah” hanya karena Nina punya segitiga saja.

Sedangkan Nina Lubis kepada Tempo (31 Mei, ‘16), mengirimkan pernyataan tertulis Habibie Centre (seharusnya yayasan SDM Iptek), sambil menerangkan: “Press Release ini saya anggap sudah menjawab tuduhan Pak Ajip terhadap saya. Tidak mungkin seorang plagiator diloloskan mendapat Habibie Award”. Pernyataannya itu dibantah oleh kenyataan bahwa dia, Nina Lubis, seorang plagiator, mendapat hadiah itu karena ada juri yang matanya kelilipan. Yang harus dikatakan oleh Nina, tapi dia tak berani berkata jujur ialah bahwa buku Negarawan dari desa Cinta yang diakui sebagai karangannya sendiri adalah plagiat dari skripsi mahasiswanya yang bernama Elly Maryam berjudul “Peranan dan Pemikiran Mohamad Sanusi Hardjadinata dalam Dunia Politk di Indonesia (1945—1985)”. Berani tidak dia dikonfrontir mengenai hal itu?

Yang paling mengherankan ialah pernyataan Prof. Dr. Tri Hanggono Achmad Rektor Unpad sekarang seperti dikutip Tempo (26 Mei, ’16). “Rektorat perlu membahas dan mengklarifikasi ke ibu Nina”. Kok klarifikasinya kepada si tertuduh? Maka hasilnya niscaya dapat kita duga akan “membersihkan” si tertuduh. Mengapa tidak mengklarifikasi kepada orang yang menuduhnya atau kepada Ali Anwar yang pernah menulis surat kepada Rektor Unpad karena karyanya telah dirampok oleh Nina dengan diringkaskan tanpa izin?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memang selama ini Nina selalu dilindungi oleh Universitas tempatnya menjadi gurubesar. Pada tahun 2003 Nina memplagiat skripsi mahasiswanya, tapi karena kepintarannya menyembunyikan skripsi itu dari perpustakaan jurusan sejarah, maka dia “selamat”. Pada tahun 2006 dia membuat singkatan biografi K.H. Noer Ali tanpa izin penulisnya, Ali Anwar, dan sempat menjadi berita dalam pers. Tapi Unpad diam saja. Meskipun penulisnya, Ali Anwar, seorang ahli sejarah, memprotesnya malah menulis surat ditujukan kepada Ketua Senat Gurubesar Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. H. Abdullah Himendra Wargadibrata, tetapi tidak dijawab alias didiamkan niscaya karena mau “melindungi” Nina. Sekarang pun Rektor/Ketua Senat Gurubesar Prof. Dr. Tri Hanggono Achmad, dengan menyatakan mau mengklarifikasi masalah plagiat yang dilakukannya kepada Nina, niscaya mau melindungi juga.

Berlainan sekali dengan Ketua Senat Gurubesar dan Rektor Universitas Parahiangan (Unpar) yang pada tahun 2010, begitu mendengar bahwa seorang gurubesarnya, Prof. Anak Agung Banyu Perwita melakukan plagiat berupa sebuah artikel (hanya artikel!) yang dimuat dalam sk Jakarta Post yang ternyata diambil dari Australian Journal of Poltics and History, segera mengadakan sidang pleno dan setelah mengadakan pembahasan selama empat jam, memutuskan secara bulat bahwa perbuatan Prof. Anak Agung itu adalah plagiat. Maka Universitas Katolik Parahyangan akhirnya memberhentikan Anak Agung Banyu Perwita sebagai dosen (Antara News, 11 Februari 2010).

Kalau hasil “klarifikasi” Rektor Unpad Prof. Tri Hanggono Achmad tetap mempertahankan dan membela Nina Lubis, maka saya akan mengembalikan gelar Doctor HC yang pernah diberikan oleh Unpad kepada saya.

TIM, 6 Juni, 2016.

Ikuti tulisan menarik Biru Langit lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu