Melawan Arus Mudik Bersama Filsuf Plato

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam Hikajat Hang Toewah (1893) karya R. Middel, ada suatu adegan ketika Laksamana Hang Tuah mudik.

Di tanah Melayu, istilah "mudik" sudah berusia ratusan tahun. Jan Pijnappel Gzn., guru besar linguistik, geografi, dan etnologi Hindia Belanda di Akademi Delft pada pertengahan abad ke-19, memasukkan lema "moedik" dalam Maleisch-Nederduitdch Wordenboek (Kamus Melayu-Belanda) yang terbit pada 1863. Menurut Pijnappel, "udik" berarti "daerah atas sungai/hulu". "Mudik" berarti "berlayar melawan arus" dan "dimudik" berarti "ke atas, yang lebih tinggi". Kata itu bahkan hidup dalam sastra Belanda, seperti muncul dalam Vergeelde Portretten uit een Indisch Familiealbum (Potret Kuno di Album Keluarga Hindia), memoar Rob Nieuwenhuys, pengarang Belanda kelahiran Semarang pada 1908.

Dalam Hikajat Hang Toewah (1893) karya R. Middel, ada suatu adegan ketika Laksamana Hang Tuah mudik. "Sesudah itu bendahara menyuruh empat orangnya mengantar laksamana mudik ke hulu Malaka, tujuh hari tujuh malam dari Negeri Malaka jauhnya," demikian tulisan Middel.

Dari contoh-contoh itu, "mudik" lebih berkaitan dengan urusan transportasi di sungai. Mudik adalah sebuah gerak melawan arus, karena orang harus berlayar ke arah hulu, sedangkan arus bergerak ke hilir. Seperti penjelasan Pijnappel, udik itu berada di dataran tinggi, berlawanan dengan kawasan hilir, yang dekat dengan laut di dataran rendah.

Di Bengkulu, tanah kelahiran saya, "udik" identik dengan "dusun". Bahkan, secara peyoratif, kata itu merujuk pada segala hal yang tidak modern. "Orang udik" sama artinya dengan "kampungan", yang dilawankan dengan "orang kota". Tapi, di Jakarta "mudik" bermakna "pulang kampung", meski "kampung" itu berada di kota besar, seperti Bandung atau Surabaya. Bahkan, mudik pada musim Lebaran bukan lagi kegiatan "melawan arus", melainkan mengikuti arus besar manusia yang ramai-ramai pulang kampung.

Mudik juga menjadi topik utama dalam filsafat Yunani kuno. Socrates, filsuf Athena yang hidup pada abad ke-3 sebelum Masehi, mungkin salah satu filsuf pertama yang secara serius mengkaji pentingnya mudik. Dia bekas prajurit yang pernah ikut dalam tiga perang, termasuk Perang Peloponnesia, perang besar Athena melawan Sparta.

Socrates juga percaya akan reinkarnasi, bahwa manusia hidup di suatu tubuh, dan ketika mati jiwanya pindah ke tubuh lain dan mendapat pengalaman baru. Tapi, menurut Plato, murid Socrates, trauma kelahiran membuat manusia lupa akan pengetahuan sebelumnya. Bagi Plato, pengetahuan adalah "mengingat kembali", istilah kerennya anamnesis, yakni mengingat apa yang jiwa kita dulu pernah tahu sebelum jiwa itu memasuki tubuh.

Meminjam gagasan Socrates, mudik adalah cara kita mengingat kembali apa yang terlupa: rumah di kampung, orang tua, saudara-saudara kita, tetangga kita, teman-teman lama, bekas guru kita, dan lainnya. Kita pun akan saling berbincang: "Wah, Upik, kau sekarang sudah gede, ya, padahal dulu masih suka memanjat pohon jambu di belakang." Atau, "Hei, Udin, kau masih ingat bagaimana kita nyolong mangga Haji Umar? Pak Haji masih suka berkhotbah di surau?"

Mudik itu romantis. Ini menyegarkan kenangan indah dan melepas kerinduan yang lama terpendam. Kalau Anda mudik dan tak menemukan romansa itu, alangkah ruginya perjalanan panjang menembus kemacetan menuju kampung halaman tersebut.

Tulisan ini pertama kali dipublikasikan pada 25 Juli 2014 dan saya turunkan lagi kini tanpa banyak perubahan. Ya, seperti tahun-tahun lalu, tahun ini saya melawan arus. Saya tidak mudik. Tapi, saya mungkin akan berbincang-bincang dengan saudara dan teman-teman lama di Facebook atau Twitter agar hal-hal yang terlupakan itu kembali. Selamat mudik.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler