x

Pulau buatan yang dibangun Tiongkok di Laut Cina Selatan. businessweek.com

Iklan

Sukma Loppies

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Lobi dan Loba Cina di Laut Cina Selatan

Mahkamah Arbitrase Internasional menolak klaim Cina di kawasan Laut Cina Selatan. Tapi, Cina ngotot menolak putusan putusan itu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lobi dan Loba Cina di Laut Cina Selatan

Mahkamah Arbitrase Internasional atau Permanent Court of Arbitration (PCA) memutuskan menolak klaim Cina di kawasan Laut Cina Selatan. Gugatan tersebut diajukan Filipina terhadap Cina sejak 2013. Ini gara-gara klaim dan ”invasi” angkatan laut Cina terhadap Filipina merebut pulau karang Scarborough Shoal—secara kasat mata di peta bumi lokasi dan jaraknya berdekatan dengan Pulau Luzon di Filipina.

Namun, Cina mengklaim menguasai hampir 90 persen di kawasan Laut Cina Selatan melalui nine-dash line (sembilan garis putus-putus) sejak 1953 oleh Partai Komunis Cina. Jika merujuk sedikit ke belakang, berdasarkan alasan sejarah, pada 1947-1949, saat masih dikuasai Partai Kuomintang pimpinan Chiang Kai Sek, Cina menetapkan klaim teritorialnya atas Laut Cina Selatan dan menciptakan garis demarkasi yang mereka sebut sebagai ”eleven-dash line.”

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berdasarkan klaim itu, Cina menguasai mayoritas Laut Cina Selatan termasuk Kepulauan Pratas, Macclesfield Bank serta Kepulauan Spratly dan Paracel yang didapat Cina dari Jepang seusai Perang Dunia II. Pada 1953, pemerintah Cina mengeluarkan wilayah Teluk Tonkin dari peta ”eleven-dash line. Walhasil, pemerintah Komunis menyederhanakan menjadi ”nine-dash line” yang kini digunakan sebagai dasar ”historis” untuk mengklaim hampir semua wilayah perairan seluas 3 juta kilometer persegi itu.

Tapi jika melihat secara kasat mata di peta dunia, klaim Cina bersinggungan dengan kedaulatan wilayah negara-negara tetangga di kawasan tersebut. Setidaknya ada lima negara, seperti Filipina, Brunei Darussalam, Taiwan, Vietnam, dan Malaysia berebut di kawasan tersebut dengan Cina.

Kawasan Laut Cina Selatan begitu diperebutkan bukan tanpa sebab. Menurut data pemerintah Amerika Serikat dan penelitian sejumlah kalangan, Laut Cina Selatan memiliki potensi ekonomi yang sangat luar biasa. Contohnya saja, lalu lintas perdagangan internasional setiap tahun yang bernilai hampir US$ 5,3 triliun.

***

Mari kita kembali ke Mahkamah Arbitrase Internasional atau PCA di Den Haag, Belanda. Filipina mengajukan gugatan atas invasi Cina angkatan laut Cina terhadap Filipina merebut pulau karang Scarborough Shoal. Setidaknya ada tiga hal yang menjadi poin penting dalam sengketa ini.

Pertama, klaim Cina melalui nine-dash line berdasarkan sejarah. Klaim ini lalu diperbandingkan dengan wilayah maritim sejumlah negara yang juga mengklaim kawasan Laut Cina Selatan. Kedua, status Cina di kawasan Laut Cina Selatan. Ketiga, kegiatan Cina di kawasan Laut Cina Selatan.

Ironisnya, selama sidang tribunal di Den Haag yang hampir memakan waktu tiga tahun itu, Cina tidak pernah sekalipun hadir. Melalui duta besarnya di Belanda, Cina dua kali “melobi” hanya dengan mengirimkan surat. Cina berkeberatan dengan klaim ”sepihak” yang diajukan Filipina. Cina ngotot bahwa Mahkamah Arbitrase tidak memiliki yurisdiksi atas kasus ini. Surat dikirim pada 6 Februari 2015 dan 1 Juli 2015.

Isi suratnya: ”Cina tidak akan berpartisipasi dan menanggapi setiap isu yang diangkat oleh pengadilan [tribunal] dan tidak harus memahami atau menafsirkan oleh siapa saja sebagai persetujuan….” Cina tetap ngotot bahwa melalui nine-dash line menguasai 90 persen kawasan Laut Cina Selatan dengan alasan sejarah.

Meski menolak hadir dan cuma mengirim surat melalui duta besarnya, Mahkamah Arbitrase yang dipimpin hakim arbiter Thomas A. Mensah pada 12 Juli 2016 tetap memutus sengketa tersebut. Bunyi putusannya: ”Menyatakan bahwa Cina melanggar kewajibannya sesuai dengan Pasal 279, 296, dan 300 Konvensi. Sesuai dengan hukum internasional, agar untuk menjauhkan diri dari tindakan apa pun yang menimbulkan efek merugikan sehubungan dengan putusan ini. Tidak diizinkan untuk mengambil tindakan yang bisa memperburuk atau memperpanjang sengketa selama proses penyelesaian sengketa.”

***

 Lalu, apa saja pertimbangan lima hakim arbriter memutus sengketa ini? Dari putusan setebal 479 halaman, setidaknya ada beberapa hal penting yang dipaparkan.

Pertama, Mahkamah Arbriter tidak melihat bahwa klaim Cina di Laut Cina Selatan dapat disimpulkan oleh Cina sendiri sebagai istilah untuk menjangkau kawasan yang lebih luas. Bagi Mahkamah, ”bukti” klaim Cina dengan judul ”bersejarah” tidak sesuai dengan perilaku Cina di perairan Laut Cina Selatan sebagai kawasan laut teritorial atau perairan pedalaman sebagaimana diatur UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea). Artinya, Mahkamah menganggap Cina paham akan kawasan maritim dan UNCLOS, tapi mengapa ngotot dengan alasan sejarah?

Kedua, Mahkamah menilai bahwa klaim Cina sebagai ”hak” dalam sembilan garis putus-putus di Laut Cina Selatan telah meluas ke daerah-daerah yang menjadi bagian dari hak Filipina melaui Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) atau landas kontinen. Dengan kata lain, Mahkamah menyimpulkan bahwa klaim China dengan alasan sejarah, hak berdaulat, ataupun alasan yurisdiksi dengan sembilan garis putus-putus di wilayah di Laut Cina Selatan bertentangan dengan Konvensi. Soalnya, Cina telah melampaui batas geografis dan substantif maritim Cina sendiri di bawah konvensi.

Ketiga, yang berkaitan dengan sengketa Scarborough Shoal. Mahkamah menemukan fakta bahwa Scarborough Shoal telah menjadi fishing ground tradisional untuk nelayan dari berbagai negara dan Filipina. Dengan demikian, Mahkamah menyatakan, klaim China atas Scarborough Shoal melalui operasi pada Mei 2012 dengan melarang nelayan dari Filipina masuk ke Scarborough dinilai sebagai tindakan yang tidak sah.

Kontan saja Cina ngotot dan menolak putusan Mahkamah Arbitrase. Cina menegaskan tidak akan mengakui putusan tersebut.

***

Kawasan Laut Cina Selatan menjadi kawasan penting. Seperti disampaikan di atas setidaknya lalu lintas perdagangan internasional setiap tahun menghasilkan US$ 5,3 triliun dalam setahun. Belum lagi hasil laut di kawasan itu.

Dengan klaim Cina yang menyebut 90 persen Laut Cina Selatan adalah miliknya berdasarkan alasan sejarah bukanlah bisa dikatakan Cina telah bersikap loba. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna kata loba salah satunya adalah tamak. [loba/lo·ba/ (a) selalu ingin mendapat (memiliki) banyak-banyak; serakah; tamak].

Meski Mahkamah Arbitrase telah memutuskan menolak klaim Cina di Laut Cina Selatan, pemerintahan Cina ngotot menolak. Apakah gambaran sikap Cina untuk tetap menguasai kawasan Laut Cina Selatan dan menolak putusan Mahkamah Arbitrase bisa dikatakan mencerminkan sikap dari makna itu?

Namun, Cina adalah negara besar yang punya pengaruh luas. Cina menggunakan berbagai lobi untuk menolak putusan itu. Lagi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, makna kata lobi adalah mempengaruhi orang atau pihak lain. [lobi/lo·bi/ (n) 1 ruang teras di dekat pintu masuk hotel (bioskop dan sebagainya), yang dilengkapi dengan perangkat meja kursi, yang berfungsi sebagai ruang duduk atau ruang tunggu; 2 kegiatan yang dilakukan seseorang untuk mempengaruhi orang lain dalam kaitannya dengan pemungutan suara menjelang pemilihan ketua suatu organisasi, seperti parlemen dan partai politik; -- utama ruang utama tempat menerima tamu;]

Dilansir dari indonesian.cri.cn, berdasarkan informasi Departemen Hubungan Luar Negeri Komisi Sentral Partai Komunis Tiongkok, 230 partai dan organisasi politik yang berasal dari 90 lebih negara mengeluarkan pernyataan secara terbuka untuk mendukung pendirian Tiongkok terhadap masalah Laut Tiongkok Selatan. Ini menggambarkan bahwa Cina sebagai negara yang punya pengaruh berhasil melobi ratusan partai dan organisasi di sejumlah negara untuk mendukung sikapnya terhadap putusan Mahkamah Arbitrase.

Memang ada kendala soal eksekusi putusan Mahkamah Arbitrase. Soalnya, putusan ini meski final, karena sifatnya hanya berupa imbauan.  Apalagi Cina adalah anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa yang mempunyai hak veto.

Kini, semua tergantung Cina. Sebagai negara besar setidaknya ada beberapa hal penting yang perlu disikapi. Pertama, semua negara wajib mematuhi putusan Mahkamah Arbitrase. Kedua, Cina pun tidak perlu bereaksi berlebihan dengan kekuatan militer dalam menyikapi putusan tersebut. Ketiga, hal terpenting adalah mengedepankan dialog agar Cina tidak terpojokkan dengan sikap yang dianggap arogan. Mengutamakan dialog menjadi menjadi penting agar Cina tidak dituding loba dan hanya pintar melobi untuk kepentingan negaranya tanpa melihat negara “tetangga” di kawasan Laut Cina Selatan.

Sukma Loppies, Wartawan

Ikuti tulisan menarik Sukma Loppies lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan