x

Arya Permana, bocah penderita obesitas, bermain game melalui telpon seluler miliknya di Desa Cipurwasari, Karawang, Jawa Barat, 4 Juni 2016. TEMPO/Aditya Herlambang Putra

Iklan

Tasroh

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Predator Itu Bernama Obesitas

Arya Permana kini dirawat di RS Karawang untuk menjalani terapi penurunan berat badan yang konon harus melibatkan 13 dokter spesialis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bocah 10 tahun, Arya Permana asal Karawang mendadak jadi berita heboh di berbagai media. Anak yang dikenal sebagai ‘mega obesitas’ pasangan Ade Sumantry dan Rokhayah yang kini berbobot 190 kg itu kini akhirnya dirawat di RS Karawang untuk menjalani terapi penurunan berat badan yang konon harus melibatkan 13 dokter spesialis.

Ade Sumantry, ayah Arya menyebutkan bahwa bobot anaknya mulai membengkak sejak usia 3,5 tahun di mana nafsu makan dan mengkonsumsi makanan cepat saji menjadi kebiasaan sehari-hari, dari pagi hingga malam. Bahkan Arya hampir tiap hari makan hingga 3 kali dengan menghabiskan 20 kaleng minuman kemasan.

Namun ternyata kebiasaan itu justru membuat anak yang baru duduk di kelas 4 SDN 1 Desa Cipurwasari itu dalam tempo singkat ‘membengkak’ tanpa kendali hingga akhirnya kerutan lemak memenuhi hampir setiap sudut tubuhnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pakar gizi dari Unpad, Dani Hermawan, (2016) menyebutkan bahwa obesitas kini sudah menjadi ‘predator’ baru bagi semua kalangan tak terkecuali anak-anak. Obesitas sebagai proses ‘gemukisasi’ yang terbentuk karena penumpukkan lemak dan protein tingkat tinggi ( high density of fat ) yang disebabkan oleh konsumsi dan asupan makanan, minuman dan perilaku sehari-hari yang buruk itu, sejak era modernisasi francise (makanan dan minuman) berkembang massif dari kota hingga desa, tak hanya memacu proses penggemukan orang dewasa, tetapi juga anak-anak.

Bahkan masa anak-anak disebut menjadi hotbed obesitas karena beberapa hal. Pertama, masa anak-anak merupakan masa pertumbuhan dimana akan dibarengi dengan hasrat makan dan minum yang kadang melebihi usianya. Kedua, dengan alasan itu pula, orang tua biasanya justru ‘bangga’ ketika anak-anaknya makan dan minum banyak, dengan badan dan tubuh yang tambun. Ketiga, budaya salah kaprah ‘tubuh gemuk’ dimana sudah lazim kita dengan dalam kultur nutrisi Indonesia, sering terdengar repertoire anaknya gemuk, (blentot) yang dinilainya sebagai ‘simbol kemakmuran’. Budaya nutrisi demikian memicu anak-anak dengan pasokan makanan dan minuman dari para orang tuanya untuk berlomba menggapai sebutan salah kaprah tersebut. Keempat, mabok jajanan. Usia anak biasanya dibiarkan orang tua mereka untuk jajanan, dan bahkan untuk dan atas nama kebiasaan buruk, orang tua sering menyediakan dan memfasilitasi anak-anaknya untuk gemar jajan di luar atau di warung-warung tanpa kontrol.

Akibatnya fatal! Banyak anak-anak bahkan dibiarkan orang tuanya dengan kebiasaan ‘makan di luar’ yang biasanya lebih akrab di iklan-iklan media, makanan dan minuman cepat saji. Riset pakar gizi UI, Budi Wahyono, (2015) bahkan menyebutkan frekuensi ‘makan di luar rumah’ atau mengkonsumsi makan dan minum cepat saji pada merk-merk francise asing yang kini menjamur dimana-mana, selalu menjadikan anak sebagai ‘gentong francise’ yakni menjadi kebanggan orang tua bisa memfasilitasi anak-anaknya memenuhi gerai-gerai francise asing itu.

Padahal diketahui, tingkat gizi ( nutrition level ) dari makan dan minuman cepat saji hanya 1% dari kebutuhan gizi tubuh pengkonsumsi makanan dan minuman tersebut. Hal ini lantaran makanan dan minuman cepat saji, baik dari merek-merek asing atau lokal biasanya dimasak dengan dengan suhu diatas 1000 derajat dimana di suhu tersebut hanya tersisa ‘lemak dan protein jahat’ yang hanya menghasilkan pertumuhan lemak dan protein overloaded. Di sisi lain, seperti diungkap dalam peneliti Jepang, Hiro Fukuda dalam Beyond Global Francise (2010), makan-makanan cepat saji khususnya merek-merek global yang tersebar luas dan mudah merangsang penumpukan lemak dalam tubuh juga diketahui sengaja disajikan dengan resep yang mampu menohok jaringan otak bekerja lebih keras, khususnya sel-sel otak yang berfungsi merasakan selera makanan dan minuman ( glia neuron ) yang biasanya merupakan akumulasi makanan yang mengandung MSG tinggi.

Dengan penciptaan aroma makanan dan minuman cepat saji ( junk foods ) yang mengundang selera itu, anak-anak sering tertipu dan akan melakukan apa saja untuk memaksa orang tuanya menyerbu junk foods tersebut. Makanana cepat saji itu akan semakin sukses melakukan penumpukan lemak tubuh jika pada waktu bersamaan disajikan menu minuman yang juga sebanding yakni minuman-minuman bersoda hasil olahan pabrikan. Riset Hiro menyebutkan bahwa anak-anak di Jepang yang dibiarkan mengkonsumsi junk food dengan minuman pabrikan berbagai merek ternyata 70% lemah secara intelektual (kognisi), dan mudah mengantuk jika menghadapi persoalan serius. Ini maknanya kebiasaan mengkonsumsi junk foods tak hanya soal bahaya mematikan (predator) secara biologis tumbuh kembang anak, tetapi juga mengancam psikologis pengkonsumsinya.

 

Dikendalikan

Karena dianggap hanya soal kebiasaan individu an sich , maka bisnis makanan dan minuman baik skala rumahan, hingga industry di Indonesia justru dibiarkan menjamur dimana-mana. Izin usaha makanan dan restoran cepat saji (baik merek lokal atau global) justru diprovokasi atas nama peningkatan pendapatan daerah dan Negara dari sector pajak sekaligus pemberdayaan usaha kecil dan menengah (UMKM).

Padahal sejatinya predator obesitas yang kini menjadi ancaman mematikan bagi kelangsungan generasi anak bangsa di negeri ini sudah dalam kondisi darurat. Tetapi di sisi lain, untuk dan atas nama PAD dan peningkatan jumlah usaha/pengusaha di Indonesia, bisnis dan investasi francise makanan dan minuman nyaris tanpa kendali Negara.

Padahal di Jepang, sudah sejak tahun 1990an, bisnis dan investasi makanan dan minuman baik merek lokal atau asing sudah dijalankan dengan system pengendalian dan pengawasan yang canggih dimana izin-izin usaha makanan dan minuman (khususnya jenis junk foods ) demikian ketat dengan tetap mendayagunakan produk bahan baku makanan dan minuman lokal Jepang. Tak hanya urusan legalitas bisnis francise jenis junk foods yang dikendalikan pemerintah, evaluasi dan pengawasan hingga ke bahan baku sampai ke proses pemasakan, juga selalu diawasi oleh agensi gizi nasional setiap saat. Hal ini lantaran pemerintah dan pengusaha Jepang bersama-sama memiliki kewajiban menyediakan pangan yang sehat dan aman bagi warganya sehingga setiap cengkal bahan baku serta proses pemasakan di berbagai bisnis restoran dan rumah makan selalu diinspeksi oleh petugas gizi setempat.

Maka belajar dari kasus obesitas dari anak di Karawang, kini sudah saatnya, orang tua, pengusaha makanan dan minuman, kaum bisnis dan investor pangan serta regulator/pemerintah harus menjadikannya sebagai pelajaran penting bahwa predator generasi penerus bangsa kini dan nanti bernama obesitas. Untuk alasan itu pula, menjadi tugas bersama, khususnya regulator untuk turut menjamin dan melakukan pengawasan pada bisnis dan investasi pangan khususnya franscise lebih ketat dan berkelanjutan agar kasus obesitas dapat dicegah dengan melibatkan peran aparat gizi dan instansi terkait lainnya. Di sisi lain. Peran guru di sekolah dan orang tua sebagai garda terdepan juga berkewajiban untuk memahamkan pada anak dengan mencermati perkembangan gaya hidup anak-anaknya, dengan tetap mengawasi perilaku konsumsinya sehingga dapat mencegah predator obesitas menyerang keluarganya. Karena meskipun hanya dirasakan oleh korban dan keluarganya, serangan predator obesitas hakikatnya adalah kegagalan Negara menjamin dan melindungi anak bangsa terjerumus dalam kubangan obesitas.

Oleh:

Tasroh, S.S.,MPA,.MSc

PNS di Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Pemkab Banyumas

Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan

Ikuti tulisan menarik Tasroh lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terkini