Alunan suara gamelan bergema di atas panggung berukuran 20 kali 30 meter itu. Lampu menyorot ke tengah panggung, tempat layar putih berukuran besar dipasang dan wayang kulit berjajar rapi. Dengan lincah dalang memainkan wayang berlakon Gareng – salah satu tokoh punakawan di kisah pewayangan Jawa – sehingga tampak sedang menari mengikuti alunan gamelan. Sesekali suara gamelan berhenti digantikan suara lantang dalang yang memainkan peran Gareng.
Di ujung panggung beberapa orang duduk berderet menikmati pertunjukan itu lebih dekat. Meskipun tidak mengerti kisah yang diceritakan atau apa yang diucapkan oleh si dalang, Anggi Emaliani Putri (10) tampak sedang duduk di deretan orang-orang tersebut sambil merekam pertunjukan itu dengan kamera ponselnya. Anggi, nama panggilan gadis berjilbab itu, ditemani ayah, adik dan ibunya menonton pertunjukan wayang di Museum Wayang, Minggu 24 Juli 20016. Gadis yang saat ini duduk di bangku kelas 5 SD tampak menyimak apa yang sedang dikisahkan oleh si dalang.
Ketika saya bertanya mengapa Anggi menyukai wayang, gadis ini tidak menjawab pertanyaan saya namun tersenyum malu. Wahyono (35), ayah Anggi, cukup sering mengajak keluarga kecilnya menonton pertunjukan wayang. Ayah dua anak ini bahkan sudah mengajak Anggi menonton wayang sejak putrinya duduk di bangku kelas 2 SD. Saat berwisata ke Kota Tua, ia tidak sengaja mendengar akan diadakan pertunjukan wayang. “Kalau ada pertunjukan wayang, apalagi dekat rumah, pasti saya tonton,” kata pria asal Klaten, Jawa Tengah tersebut.
Kesukaan Wahyono terhadap wayang bermula dari ayahnya yang sering menceritakan kisah pewayangan beserta tokoh-tokohnya semasa ia kecil. Ayahnya merupakan seorang pemain alat musik kenong dalam kelompok pemain gamelan yang mengiringi pertunjukan wayang dan sering mengajaknya menonton wayang.
Menonton wayang seperti membawanya kembali ke masa kecilnya saat ia mendengarkan cerita-cerita ayahnya. Ia terdiam, Wahyono yang siang itu mengenakan kaus berwana kuning tampak meresapi gerakan dalang yang lincah menggerakkan dan memainkan wayang. Tak lama kemudian, ia melanjutkan ceritanya.
“Ayah saya bercerita bahwa kisah pewayangan melambangkan salah satu perwatakan manusia. Ada yang baik ada yang jahat, banyak mengajarkan nilai kehidupan,” kisahnya. Tokoh favoritnya adalah Werkudara. Dalam kisah pewayangan Jawa, Werkudara atau yang lebih dikenal dengan Bima adalah anak kedua dari pasangan Dewi Kunti dan Prabu Pandudewanata. Bima terkenal sebagai salah satu anggota Pandawa Lima yang terkuat dengan kuku sebagai senjata ciri khasnya.
Namun meskipun Wahyono mengetahui beberapa tokoh pewayangan, seringkali pria yang tinggal di Tangerang ini sering tidak mengerti cerita pewayangan yang dikisahkan oleh dalang. Wahyono menjelaskan bahwa dalang seringkali menggunakan bahasa Jawa kuno dalam pertunjukan wayang.
Kesulitan dalam hal bahasa juga dirasakan oleh wahyono dalam mengenalkan budaya tradisional wayang kepada anak-anaknya. Kesulitan itu menjadi berlipat ganda karena putrinya, Anggi, lahir dan dibesarkan di lingkungan urban perkotaan. Ketika saya menanyakan apakah Wahyono menceritakan tokoh dan kisah pewayangan seperti yang dilakukan oleh ayahnya, dirinya menggeleng dan melihat ke arah Anggi.
“Budayanya sudah beda, Mbak. Kalau dulu di kampung, menonton wayang itu sudah jadi kebiasaan dan budaya,” ujar lelaki asal Kalten, Jawa Tengah ini. Wahyono berandai-andai, apabila putra dan putrinya lahir di kampung, menurutnya akan lebih mudah mengenalkan dan membiasakan mereka terhadap tokoh dan cerita wayang, sambil pamit undur diri. Percakapan saya siang itu pun harus berakhir karena putra bungsunya, merengek meminta pulang.
Ikuti tulisan menarik Zahra Mahdiatari lainnya di sini.