Muhmmad (46), mempersilahkan istri saya duduk dalam kereta komuter menuju Bogor, Sabtu malam (30/7). Kondisi gerbong kereta nomor 8 ini, memang tidak terlampau berdesakan. Hanya saja, semua kursi sudah terisi.
Bekerja di bidang konstruksi, Muhammad harus mondar-mandir Jakarta-Sukabumi untuk keluarganya. Istri dan seorang anaknya, perempuan kelas 3 SD, tinggal dikampung halamannya di Sukabumi, Jawa Barat. Seminggu sekali, ketika hari libur, dia menyempatkan untuk menempuh berjam-jam perjalanan dari Jakarta untuk bisa melepas rindu.
“ Nasib baik seminggu sekali bisa pulang, waktu di Batam, 3 bulan sekali,” katanya. Sepanjang karirnya, Muhammad memang sering berpindah tempat, mengikuti proyek yang sedang dikerjakan. Hampir seluruh Indonesia pernah dia sambangi.
Posisinya dipekerjaan yang “basah” tak ayal membuat beberapa rekannya iri. Puncaknya, beberapa bulan yang lalu, dia terkapar dalam perjalanan pulang dengan kereta api dari Stasiun Paledang, Bogor ke Sukabumi.
“ Saya sakit dan pingsan dalam toilet kereta,” ujarnya. Dia tidak tau pasti berapa lama dia pingsan. Seingatnya, sebelum masuk ke bilik toilet, perutnya sakit. Namun, ketika buang air besar, Muhammad mendapati benda-benda aneh keluar bersama kotorannya. “ Ada kalajengking dan kelabang,” kenangnya.
Tak hanya itu, muntahnya juga cukup menyeramkan. Berliter-liter lumpur keluar dari mulutnya, memenuhi lantai toilet kereta.
Hingga ketika sadar, dia membuka pintu dan merangkak keluar. Beruntung, patroli kereta api melihatnya. Merekalah yang menolongnya pertama kali. Selama perjalanan hingga ke stasiun Sukabumi, Muhammad tak henti berdoa. Dia merasa mungkin umurnya tak akan bertahan lama. Namun, bayangan istri dan anaknya menguatkan dia untuk bertahan.
Malam itu juga, Muhammad dibawa ke rumah sakit untuk diobati. Selang beberapa hari, pengobatan dilanjutkan ke pengobatan spiritual. Dari sinilah, Muhammad diberi tahu, jika hal tidak wajar itu karena perasaan iri dari beberapa rekan kerjanya.
Bukan membalas dengan hal serupa, Muhammad menolong orang-orang yang menyakitinya mendapat pekerjaan ekstra. “ Hidup dan mati, itu dekat sekali jaraknya. Saya tidak takut mati, hanya saja harus selalu bersiap-siap,” ujarnya bijak.
Kejadian itu menjadikan moment titik balik spiritual buat Muhammad. Dia ingin menjadi orang yang lebih berguna bagi keluarganya dan orang disekitarnya.
Dari pengeras suara, kereta akan tiba di stasiun Cilebut. Saya dan istri saya harus segera turun. Muhammad menjabat tangan saya, dan kami saling berpamitan. Wallahualam.
photo by google.com
Ikuti tulisan menarik Etin Ibrahim lainnya di sini.