x

Iklan

fauzi sukri

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pesantren dan Teknologi Percetakan

Seminar sehari itu memang akhirnya hanya berisi kekaguman pada daya kreatif para ilmuwan Islam lama, lalu berusaha menginventarisasi karya mereka yang kono

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam satu seminar sehari perihal karya-karya ilmiah agama Islam produk dalam negeri, wartawan Syu’bah Asa menulis satu laporan kesimpulan: “Banyak yang dimiliki, sedikit yang diketahui. Kekayaan sangat besar dari dunia keagaman Islam Indonesia: puluhan ribu kitab bikinan para ulama kita, berbahasa Arab dan daerah” (TEMPO, 20 April 1985).

Dalam kapasitasnya sebagai pembicara, H.Z.A. Noeh yang pernah menjadi ahli menteri agama mengisahkan perjalanannya ke Perpustakaan Mekkah pada 1964. Di sana, ia bertemu Syekh Muqaddas yang “memperlihatkan puluhan ribu kitab Al-Jawi” atau karangan ulama Indonesia kepada Noeh. Konon, sebelum invasi kitab kuning dari Timur Tengah yang terjadi tidak sampai sekitar 100 tahun lalu, karya tulis para ulama Indonesia sudah menyebar ke kawasan pusat keislaman bahkan sebagian menjadi kitab daras utama.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang juga menjadi pemakalah mengisahkan “14 peti besar milik Sultan Muzaffar Syah dari Ternate, yang berisi karya-karya ilmiah para ulama tanah air yang dikumpulkan ketika kerajaan itu masih jaya”. Gus Dur juga mengisahkan perjuangan Kiai Mas’ud dari Cilacap yang selama lebih dari sepuluh tahun mencari kitab Manahijul Imdad (komentar dari kitab Irsyadul ‘Ibad) yang belum diterbitkan dan kitab-kitab lainnya yang juga belum diterbitkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Seminar sehari itu memang akhirnya hanya berisi kekaguman pada daya kreatif para ilmuwan Islam lama, lalu berusaha menginventarisasi karya mereka yang konon berjumlah ribuan kitab. Satu hal yang tampaknya lupa dibicarakan para pemakalah dan pembicara seminar itu adalah teknologi cetak dalam dunia pesantren yang tidak berkembang atau barangkali lebih pas disebut sebagai emoh dikembangkan. Gus Dur (1997) tentu bisa mengisahkan dengan piawai perjuangan Kiai Mas’ud dari Cilacap mencari kitab-kitab, namun sampai sekarang tampaknya masih belum ada kisah historis yang menceritakan perkembangan awal atau pengembangan teknologi cetak yang bersemi di pesantren. Ini sungguh suatu lubang besar dalam sistem pendidikan-pengajaran di pesantren, yang dibiarkan terjadi sampai sekarang.

Ada beberapa kemungkinan kenapa percetakan tidak berkembang di pesantren. Pertama, teknologi cetak sendiri, baik teknologi cetak tipografi yang menggunakan timah untuk tiap huruf sebagaimana Johann Gutenberg menemukannya pada 1455 M atau teknologi litografi (cetak batu) yang ditemukan Alois Senefelder pada awal abad ke-19 (Proudfoot, 1997), berasal dari Eropa yang sudah sekian abad (sejak kekalahan Islam dalam Perang Salib) dianggap negeri kafir. Kondisi ini membuat dua teknologi cetak itu tidak cepat diadopsi umat Islam.

Dalam buku The Arabic Book, J. Pedersen (1996: 174) mengisahkan ketakutan para sultan Turki saat kalangan Kristen Eropa mencetak kitab-kitab Islam, tidak hanya al-Quran tapi juga kitab kanon keislaman. Pada tahun 1485, Sultan Bâyazid II membatasi teknologi cetak dan barang cetakan bagi umat Islam, kecuali bagi orang Yahudi yang tinggal di daerah kekuasan politik Islam. Pembatasan ini diperkuat lagi tahun 1515 pada masa kepemimpinan Selim I. Hampir dapat dipastikan bahwa alasan penguasa dan para ulama yang mendukungnya adalah alasan fikih fobia: dilarang meniru orang kafir. Tidak begitu jelas bagaimana reaksi ulama Islam di Nusantara. Yang jelas, situasi di Timur Tengah itu tidak berubah sampai 1700 (sekitar dua abad!).

Selain itu, para ulama hampir di seluruh komunitas Islam masih merasakan kejayaan teknologi tangan, alias hanya menggunakan tinta, kertas, dan kalam sebagai alat menulis, yang tak bisa menggandakan secara massal. Bahkan hal ini menjadi etika keilmuan seperti dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim Tariqat at-Ta’allum karya Imam Burhanuddin az-Zarnuji (hidup sekitar tahun 1223) yang masih terus dipertahankan sampai sekarang. Padahal, teknologi cetak sudah begitu kuat mengembangkan pola pikir keagamaan, paradigma sains, sistem pendidikan, dan sebagainya, sejak awal mula Gutenberg mencetak Alkitab (Elizabeth L. Eisenstein, 1980).

Namun, fobia teknologi cetak tipografi ala Gutenberg akhirnya tak bisa dihindari saat para misionaris (Katolik atau khususnya Protestan) menyebar ke seluruh dunia, termasuk kawasan yang sudah cukup lama terislamkan, bersama dengan kolonialisme Eropa. Di Nusantara, Fobia itu dihantam Muhammad Azhari dari Palembang dengan mencetak al-Quran secara litografis pada 21 Ramadhan 1264 H atau 21 Agustus 1848 M. Pakar pencetaknya adalah Ibrahim bin Husain, murid Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi (1796-1854). Abdul Kadir Munsyi adalah manusia pertama di kawasan Asia Tenggara yang mempelajari dan menjadi ahli teknologi tipografi dan litografi, yang sekaligus menggunakan dua teknologi itu untuk mencetak karya-karyanya sendiri. Abdullah mempelajari keahlian teknologi itu dari Benjamin Peach Keasberry yang menjadi misionaris Protestan di Singapura dan sekaligus menjadi pengusaha percetakan (Sweeney, 2008).

Kedua, pesantren jelas jauh dari radius pergaulan pengenalan teknologi cetak modern. Pesantren, khususnya yang berkembang pada awal abad ke-19 akibat pengaruh kolonialisme Eropa, lebih banyak di kota-kota kecil bahkan di daerah pinggiran (daerah perdikan). Bukan di pusat metropolitan yang dekat dengan perkembangan teknologi cetak. Dalam “Introduction” buku Early Malay Printed Books (setebal 886!) yang bersifat monograf, meski hanya terbatas di daerah jajahan Inggris, Ian Proudfoot (1993) hampir tidak menyinggung peran pesantren dalam percetakan. Padahal, dalam kurun waktu 1860-1920, 60% dari segala buku yang terbit di Singapura dan kawasan Melayu (Islam!) dihasilkan oleh penerbit Muslim. Hampir dapat dipastikan bahwa pesantren hanya menjadi konsumen daripada sebagai produsen.

Fobia teknologi cetak kafir berubah saat teknik litografis menyebar ke kawasan Islam. Dibandingkan dengan teknik cetak tipografi ala Gutenberg, kalangan Islam (urban) memang lebih sreg mengadopsi teknik cetak cap batu (litografi) yang sesuai dengan naskah teknik tulis tangan. Teknik cetak litografi hanya melengkapi kelemahan teknik tulis tangan: mampu mencetak secara massal. Namun sepertinya pesantren tetap tidak begitu antusias mempelajari teknik cetak itu, apalagi kemudian pesantren lebih banyak mengimpor kitab dari Timur Tengah. Tentu saja teknik cetak litografi akhirnya banyak dikuasai kalangan Islam, khususnya yang berada di kota-kota besar seperti Kudus, Semarang, Surabaya, dan beberapa kota lain, yang menjadi pusat penerbitan. Yang jelas hampir tidak ada kisah yang beredar di pesantren perihal teknologi cetak modern, kecuali pada zaman teknologi komputer.

Berbagai data itu sedikit banyak menunjukkan ketertinggalan pesantren dalam mengadopsi dan mengembangkan teknologi cetak modern. Efeknya: ribuan (?) kitab ulama Nusantara tak tercetak secara massal. Entah bagaimana nasib kitab-kitab itu sekarang. Barangkali sebagian jadi azimat, bukan kitab.

Ikuti tulisan menarik fauzi sukri lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 jam lalu

Terpopuler