x

Iklan

Ayu Lestari

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Obyektif Melihat Persoalan Garam Nusantara

Memiliki garis pantai terpanjang di dunia bukan jaminan petambak garam bisa memproduksi garam dengan kualitas tinggi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Memiliki garis pantai terpanjang di dunia bukan jaminan petambak garam bisa memproduksi garam dengan kualitas tinggi. Tidak heran, jika penggunaan garam lokal pun baru mencukupi untuk kebutuhan konsumsi. Hal tersebut disebabkan karena kondisi garam rakyat kualitasnya masih dibawah standar, dimana kandungan atau kadar NaCl hanya dikisaran 88-92,5 %, dan kadar Magnesium (Mg) yang tinggi, Mg dikisaran 0,63- 0,92%. Untuk memenuhi kebutuhan industri, garam harus memiliki kandungan NaCl diatas 96%. Hingga akhirnya industri harus impor garam untuk memenuhi kebutuhan bahan baku produksi.  

Kualitas garam yang rendah itu dikarenakan teknologi produksi umumnya masih tradisional. Seperti tampak di sentra garam lokal Cirebon di Desa Astanamukti, Kecamatan Pangenan, berhektar-hektar lahan garam di desa itu masih menggunakan petakan atau meja garam tradisional yang berukuran panjang 10 meter dengan lebar 5 meter. Sekali penggaraman, petani biasanya mengalirkan air laut melalui empat hingga enam meja penggaraman dan dua meja kristal.

Proses tersebut tergolong sederhana karena tidak ada sedikitpun sentuhan teknologi. Walaupun bahan baku melimpah namun salinitas dan polutan yang terlarut sangat beragam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selain teknologi, kondisi iklim dan cuaca sangat berpengaruh. Indonesia memiliki humiditas (kelembapan udara) yang cukup tinggi yaitu di kisaran 60-70. Sementara jika kita bandingkan dengan Negara pengekspor garam seperti di Australia, kelembaban udara nya sekitar 20-30%. Selain itu Negara kita juga mengalami musim kemarau yang relatif pendek yaitu berkisar 4 s.d 5 bulan pertahun. Meskipun di Indonesia bagian Timur musim kemarau dapat mencapai 7 s.d 8 bulan pertahun,  Namun wilayah tersebut produktivitas garam belum digarap dengan optimal.

Dengan kondisi alam dan sarana produksi yang tidak semewah Australia, hampir sulit untuk meningkatkan produktivitas garam lokal setara garam impor. Namun bukan tidak mungkin Indonesia ke depan mampu untuk swasembada garam industri. Sentra garam di pantai-pantai Nusa Tenggara Timur (NTT) sangat potensial untuk dikembangkan. Itupun butuh waktu panjang dan investasi besar merealisasikannya.

Kebijakan Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan soal garam haruslah sinergis serta mewadahi seluruh stakeholder yang ada, baik masyarakat, petambak, dan industri. Jangan sampai kebijakan memproteksi petambak tradisional malah menjadi back firing bagi pemerintah sendiri dikarenakan industri pengguna garam dalam negeri terganggu.

Selama produksi garam dalam negeri belum dapat mencapai target serta kualitas yang dibutuhkan industri. Pemerintah masih bisa memproteksi petambak garam tradisional dengan mengeluarkan regulasi yang ketat dimana garam produksi dalam negeri haruslah didistribusikan dan dikonsumsi khusus untuk rumah tangga, sementara garam impor dengan spesifikasi tertentu dikhususkan untuk industri.  

Selain itu dukungan penuh pemerintah baik melalui bantuan permodalan dan juga transfer teknologi harus terus dilaksanakan agar produktivitas serta kualitas garam lokal semakin meningkat. (Ayu Lestari)

Ikuti tulisan menarik Ayu Lestari lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terkini