x

Ilustrasi menulis. shutterstock.com

Iklan

Cak Mun

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menulis untuk Berbakti

Karena dengan tulisan, orang lain akan memahami ide dan kehendak hati kita. Karena dengan tulisan ide-ide itu akan kekal.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Menulis bagi saya adalah sebuah perlawanan. Di semua buku saya, saya selalu mengajak umtuk melawan.”- Pramoedya Ananta Toer-

           

Pramoedya Ananta Toer atau yang kita kenal dengan sebutan Pram, merupakan sastrawan besar yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Lahir dibawah rezim kolonialisme Hindia Belanda, Pram tumbuh menjadi seorang yang ikut berandil dalam revolusi kemerdekaan bangsanya. Tidak hanya bermodalkan pena, ia juga terjun langsung ke medan pertempuran sebagai letnan di pinggiran kota Jakarta.

            Salah satu karya terbesar Pram yang begitu abadi sampai saat ini adalah Bumi Manusia. Karya sastra fiksi yang menyinggung penjajahan, kemanusiaan dan ketidakadilan dalam hidup manusia. Karyanya ini telah mengilhamkan semangat juang dan revolusi bagi pembaca pada umumnya, dan anak muda pada khususnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            Tidak hanya Bumi Manusia, karya lain dari Pram juga menjadi sensasi tersendiri bagi penguasa atau pihak manapun yang menjadi objek sasaran tembak dari seorang Pram. Arok-Dedes misalkan, menceritakan peristiwa kudeta yang pertama kali terjadi dalam sejarah Nusantara. Kudeta yang dimaksud di sini adalah peristiwa perebutan kekuasaan Tumapel oleh Ken Arok yang disebut secara licik, munafik dan tidak terbuka.

            Karya yang terlahir dalam penjara ini menjadi sebuah kontroversi manakala sang pembaca –tanpa diminta sekalipun- akan menggiring opininya pada peristiwa 1965. Jadi, bagaimanakah proses peralihan kekuasaan presiden di kala itu sebenarnya? Dan akan muncul pertanyaan-pertanyaan lainnya yang akan menjadi berbahaya bagi keberlangsungan rezim orde baru kala itu.

            Sebelum era Pram, sejarah sebenarnya sudah mencatat. Bahwa para founding fathers republik ini – Soekarno, Muh. Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjarir, untuk memyebutkan beberapa – merupakan para pecinta buku yang mau belajar dan berani berbuat. Tak jarang beberapa diantaranya bahkan menggunakan tulisan sebagai metode perjuangan mereka.

Menuju Republik Indonesia karya Tan Malaka dan Mencapai Indonesia Merdeka milik Soekarno hanyalah sedikit dari contoh karya-karya para founding fathers ini. Buku-buku ini pada gilirannya akan menggerakkan tidak hanya ribuan, bahkan jutaan anak pribumi untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan.

“Tugas seorang penulis adalah menulis dengan sebaik-baiknya. Dengan cara itulah, seorang penulis berbakti pada bangsanya”.ucap Marquez, peraih nobel sastra tahun 1982 asal Kolombia suatu hari. Berbakti, seperti yang dimaksudkan Marquez diatas tidaklah pasti berwujud ketaatan, kepatuhan dan ketundukkan mutlak terhadap pemerintah.Tapi ia dapat berwujud sebuah kritik, perlawanan dan semisalnya terhadap tirani pemerintahan. Ini merupakan sisi berbakti terhadap bangsa dan masyarakatnya.

Dari Mesir, kita akan mengenal Nawal el sadawi. Seorang penulissekaligus aktivis gerakan feminis yang pernah dipenjarakan oleh rezim Anwar Sadat di tahun 1981 atas tuduhan melakukan “kejahatan politik” lewat tulisan-tulisannya.

Di negri kita sendiri “kejahatan politik” semacam Nawal el sadawi ini masih begitu segar aromanya tercium dalam ingatan kita. Iwan fals, seorang pujangga yang menuliskan sajak-sajak lantas diaransemen menjadi lagu-lagu yang menyinyir dan menyindir rezim orde baru merupakan musuh nyata Soeharto masa itu. Tak heran, bila sang pujangga satu ini juga mendapatkan nasib yang hampir mirip dengan Nawal el sadawi.

Pram, Tan malaka dan Iwan fals hanyalah seorang penulis. Menulis, memang kerapkali dipandang sebelah mata. ia seringkali hanya digunakan untuk romantisme cinta lewat puisi-puisi asmara atau bahkan erotis. Tidak banyak yang menyadari bahwa tulisan adalah senjata. Tidak pula banyak orang yang memahami makna sejati pena lebih tajam dari pada pedang. Bahwa pena dapat menggerakkan jutaan orang tanpa paksaan. Sementara pedang tidak.

Dengan segala bentuk tulisan, -novel, cerpen, puisi, esay, dan lainnya- sejatinya kita dapat memperjuangkan segala yang seharusnya diperjuangkan. Tentang keadilan yang tidak rata. Tentang kemanusiaan yang tidak semestinya. Tentang kesetaraan yang bagaimana seharusnya.

Karena dengan tulisan, orang lain akan memahami ide dan kehendak hati kita. Karena dengan tulisan ide-ide itu akan kekal bahkan ketika kita sudah tiada. Mirip dengan yang diucapkan Tan Malaka suatu ketika. “Ingatlah, bahkan dari dalam kubur suaraku akan terdengar lebih keras!” Ya, suara Tan Malaka lebih keras lewat ide-ide dalam catatan-catatannya yang masih dibaca sampai saat ini.

Ikuti tulisan menarik Cak Mun lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler