x

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (kiri); Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. dok.TEMPO

Iklan

Bagong Suyanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Agenda Tersembunyi Dukungan ke Risma ~ Bagong Suyanto

Keengganan Risma diboyong ke Jakarta ini bukan tanpa alasan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berbagai kelompok masyarakat berkeinginan kuat mengusung Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini alias Risma melawan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017. Tapi Risma tampaknya lebih memilih memenuhi janjinya kepada masyarakat Kota Surabaya yang mendukungnya, yakni menyelesaikan tugas sebagai wali kota hingga lima tahun ke depan.

Keengganan Risma diboyong ke Jakarta ini bukan tanpa alasan. Selain karena merasa masih harus membayar utang politik kepada para pemilihnya di Surabaya, Risma gamang menghadapi kontestasi menjadi Gubernur Jakarta, di mana peluangnya belum jelas. Di atas kertas, peluang Risma untuk memenangi pemilihan kepala daerah DKI Jakarta masih menjadi tanda tanya. Hal ini terlihat dari berbagai hasil survei yang menempatkan suara Risma selalu di bawah raihan suara Ahok. Survei terakhir yang dilakukan Konsep Indo, misalnya, menunjukkan bahwa elektabilitas Ahok masih tetap yang tertinggi. Dalam survei yang menanyakan peluang empat kandidat Gubernur DKI Jakarta itu, 37,1-44,8 persen responden memilih Ahok. Sedangkan yang memilih Risma hanya 6,3-13,5 persen suara.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebelumnya, dalam survei tentang sosok calon pemimpin DKI Jakarta terpopuler, lembaga survei Cyrus Network melaporkan bahwa popularitas Ahok masih belum tertandingi. Ahok memimpin dengan raihan 96,8 persen suara, sementara suara Risma 81,4 persen.

Dengan melihat hasil survei ditambah berbagai pertimbangan lainnya, wajar jika Risma enggan melepaskan amanah yang diembannya sekarang untuk sesuatu yang belum pasti di Jakarta. Menurut ketentuan yang berlaku, jika Risma bersedia maju dalam pilkada Jakarta, ia harus mundur dari jabatannya sebagai Wali Kota Surabaya. Jika kemudian dalam pilkada Jakarta 2017 ternyata kalah, Risma akan kehilangan jabatannya. Selain itu, PDI Perjuangan sebagai partai pengusung akan kehilangan orangnya dalam jabatan birokrasi yang penting di kota besar seperti Surabaya.

Dalam berbagai pernyataan yang diungkap di media massa, Risma sebetulnya telah menyadari benar plus-minus pengusungannya dalam pilkada Jakarta. Walaupun tidak eksplisit menyatakan, tampaknya Risma sadar bahwa, di balik dukungan murni sebagian orang yang menginginkan dia maju dalam pilkada Jakarta, sebetulnya ada kelompok-kelompok lain yang mencoba memanfaatkan situasi tersebut.

Sebagai Wali Kota Surabaya yang memiliki gaya kepemimpinan khas, disiplin, pekerja keras, dan tegas, Risma selama ini sepertinya telah menyadari bahwa ada kelompok-kelompok tertentu yang sebetulnya tidak seratus persen mendukung keputusannya tinggal di Surabaya. Secara garis besar, beberapa kelompok yang mendorong atau minimal sepakat Risma maju dalam pilkada Jakarta 2017 tidak dengan tulus, melainkan lebih karena memiliki agenda tersembunyi (hidden agenda), adalah berikut ini.

Pertama, kelompok yang punya kepentingan di bidang ekonomi yang selama ini mungkin berkurang peluangnya, atau bahkan kehilangan peluang, untuk dapat terlibat dalam lelang dan pelaksanaan proyek-proyek pembangunan di Kota Surabaya. Melalui program pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik (e-procurement), Risma telah berusaha mengurangi kemungkinan kongkalikong dalam lelang proyek pembangunan. Karena itu, kelompok yang sebelumnya terbiasa menjalankan mekanisme di balik meja tentu akan bergembira jika Risma tidak lagi menjadi Wali Kota Surabaya.

Kedua, kelompok di lingkup internal partai pendukung Risma sendiri yang ruang geraknya menyempit karena kedekatan Risma dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Bukan rahasia lagi bahwa, di lingkungan internal PDI Perjuangan, dukungan terhadap Risma tidaklah solid seratus persen. Sebab, sebagai wali kota yang diusung PDI Perjuangan, Risma dinilai sebagian pihak tidak memperlihatkan loyalitas dan dukungan kepada rekan-rekan separtainya.

Ketiga, kelompok di lingkup internal birokrasi Kota Surabaya yang kurang bisa mengikuti irama kerja Risma, atau mungkin tersisih, lantaran dia mengutamakan kedisiplinan dan kerja keras. Aparat birokrasi yang sebelumnya leluasa dan memiliki otonomi untuk menjalankan proyek di satuan kerja perangkat daerah (SKPD) masing-masing, sejak kehadiran Risma, diakui atau tidak, menjadi serba terbatas ruang geraknya. Jika ada wali kota baru, siapa tahu iklim kerja mereka akan ikut berubah dan kembali seperti sedia kala.

Keempat, kelompok yang khawatir Risma akan maju dalam pemilihan kepala daerah Provinsi Jawa Timur. Meski isu ini belum muncul di media massa, dari kasak-kusuk di lapangan, sebetulnya ada juga kekhawatiran sebagian pihak bahwa, jika Risma maju, skenario yang sejak jauh hari dipersiapkan oleh calon-calon tertentu akan porak-poranda.

Risma sendiri telah menyatakan harapannya bahwa Megawati bisa bersikap rasional dan tidak memaksanya maju dalam pilkada Jakarta. Memang, bola dan keputusan final sekarang ada di tangan Megawati. Sebagai negarawan dan politikus senior, tentu Megawati telah mengkalkulasi dengan bijak apa dampak keputusannya jika memaksa Risma maju dalam pilkada Jakarta.

Apa yang sudah dibicarakan dan disepakati antara Risma dan Megawati, tentu hanya mereka dan orang-orang di ring-1 PDI Perjuangan yang tahu. Dalam kalkulasi politik yang rasional, Megawati kemungkinan besar tidak akan menarik Risma ke Jakarta. Bahkan bisa jadi Megawati kembali memberikan dukungannya kepada Ahok. Kalau belajar dari apa yang terjadi di Surabaya, tidak mustahil Megawati akan mendukung Ahok.

Di Surabaya, ketika dulu orang-orang di lingkungan internal partai mempersoalkan Risma, ternyata Megawati bergeming: ia tetap memberikan dukungan dan restu kepada Risma. Kedekatan Ahok dengan Megawati sedikit-banyak akan mempengaruhi keputusan Megawati. Sekarang tinggal apa yang bakal terjadi pada detik-detik terakhir keputusan itu bakal dikeluarkan Megawati.

Bagong Suyanto, Dosen Program Doktor FISIP Universitas Airlangga

*) Artikel ini terbit di Koran Tempo edisi 9 Agustus 2016

Ikuti tulisan menarik Bagong Suyanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB