x

Iklan

Martin Rambe

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Indahnya Toleransi di Kawasan Relokasi: Siosar

Sebuah tulisan tentang sikap saling pengertian warga pengungsi di kawasan Siosar.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sikap warga jemaat dari beberapa gereja di kawasan Siosar, Kabupaten Karo, Sumatera Utara patut diacungi jempol. Sejak direlokasi oleh pemerintah ke kawasan hutan lindung milik kementerian kehutanan itu, mereka yang terdiri dari beberapa gereja dan aliran, beribadah di satu gedung, bernama Oikumene. Ini pemandangan sejuk dari kehidupan beragama yang dipancarkan oleh gereja.

Relokasi itu bermula dari erupsi gunung Sinabung. Sejak akhir 2013, gunung tersebut tidak henti-hentinya memuntahkan lava merah, hingga melumpuhkan beberapa desa di sekitar kaki gunung. Desa-desa yang sama sekali tidak bisa dihuni lagi, seperti desa Simacem, desa Bekerah, dan desa Sukameriah.

Untuk penduduk desa itu, pemerintah menyiapkan daerah pemukiman, seluas 30 Ha di hutan lindung Siosar. Jaraknya 17 km dari Kota Kabanjahe, Kabutapen Karo. Hingga saat ini, rumah dengan tipe 36 telah dibangun sebanyak 370 dari yang direncanakan 2.053 unit (sumber bnpb.go.id). Sebagian besar para pengungsi telah menempati rumah pemberian pemerintah tersebut.  

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bukan hanya rumah hunian, di kawasan relokasi itu juga telah dibangun rumah ibadah. Gereja Oikumene Bahtera Kasih dan mesjid Al Hikmah.  Ini yang menarik. Di gereja Oikumene tersebut beribadah lebih dari satu gereja umat Kristen Protestan. Berbeda dengan umat Katolik yang membangun sendiri gerejanya. 

Di depan gereja, terpampang plakat beberapa jemaat gereja yang menggunakan gedung tersebut. Seperti jemaat GBKP (Gereja Batak Karo Protestan), GBI (Gereja Bethel Indonesia), ADVENT, GPdI (Gereja Pantekosta di Indonesia), GKRI (Gereja Kristus Rahmani Indonesia), dan GJAI (Gereja Jemaat Allah Indonesia). Mereka beribadah secara bergantian sesuai jadwal yang sudah disepakati di setiap hari Minggunya.   

Ini seperti menghempas kesan buruk tentang gereja selama ini. Bukan lagi rahasia umum, kalau antar gereja sering dikatakan bersaing. Bersaing mencari jemaat. Gereja dengan berbagai programnya (bagi-bagi sembako, beasiswa anak sekolah, kegiatan retreat gratis, dll), selain berdampak positif bagi internal jemaat gereja, juga berdampak negatif bagi jemaat gereja lain yang membutuhkannya. Sehingga muncul istilah berebut jemaat. Ada lagi persaingan membangun gereja secara fisik, mengaku gerejanya yang paling benar, dan lain sebagainya.

Selain itu, dari segi aliran pun mereka berbeda. Tak anyal perbedaan aliran itu telah melahirkan berbagai stigma. GBKP mengaku mengikuti aliran Calvinisme. GPdI termasuk aliran Pentakosta. GBI dan GJAI masuk aliran Kharismatik. ADVENT dengan ajaran ADVENTIS.

Beda aliran menyebabkan beda ajaran dan tata ibadah. Meski tetap di bawah naungan Kristen Protestan. Misalnya, aliran Calvinisme dibangun atas dasar dua tema besar, yaitu kedaulatan dan kemuliaan Allah. Tata ibadah diatur sedemikian rupa. Alat musik yang digunakan adalah alat musik tradisional, seperti organ. Keteraturan dan alat musik yang digunakan menimbulkan kesan monoton dan membosankan oleh jemaat aliran lain terhadap aliran ini. 

Berbeda dengan aliran Pentakosta dan Kharismatik. Dua aliran ini hampir sama, terkenal dengan ciri khasnya, yakni bahasa lidah atau bahasa roh. Tata ibadahnya tidak seteratur aliran Calvinisme. Pokoknya penyembahan dan khotbah. Selain terkenal dengan bahasa lidah, ibadahnya terkenal menggunakan music full band. Ini yang sering menimbulkan kontroversi di kalangan jemaat gereja-geraja dari aliran berbeda.  Beberapa stigma yang berkembang di masyarakat tentang dua aliran ini adalah ibadah dengan musik berlebihan bak konser, riuh, menentang ulos (pakaian tradisional Batak), tidak menangisi kematian, saat ibadah suka berteriak-teriak, dan lain-lain.

Beda lagi dengan aliran Adventis. Ciri khas aliran ini adalah beribadah pada hari Sabtu, berbeda dengan gereja Kristen pada umumnya. Inti dari ajaran Adventis adalah hidup dalam integritas dan kekhudusan. Mereka penuh dengan aturan untuk menjaga tubuh yang khudus. Seperti tidak boleh membuat tato, melubangi telinga bagi laki-laki, haram dengan berbagai makanan, seperti daging babi, kerang, ikan lele, belut, dan makanan lain yang digolongkan ‘makanan haram’. Berbagai perbedaan mencolok ini membuat mereka sering dianggap sebagai aliran yang kolot dan kaku.

Perbedaan-perbedaan di atas telah menimbulkan stigma beragam dari satu aliran ke aliran yang lain. Bahkan memunculkan sikap alergi kalau tidak ingin mengatakan sesat menyesatkan satu sama lain. Maka, mereka yang mau beribadah di gedung yang sama meski beda gereja dan aliran, tanpa merasa terganggu dan mengganggu, patut dipuji.

Menurut Bapak Junus Sembiring (47), salah satu jemaat GPdI yang beribadah di gedung Oikumene itu, bahwa penggunaan gedung itu secara bersama-sama memang telah disepakati bersama. Katanya tiga gereja yang menggunakan gedung itu, yakni GBKP, GPdI, dan GJAI. Karena di sana jemaat ADVENT dan GBI tidak ada. Jika ada, kemungkinan besar mereka juga akan menggunakan gedung itu. Pak Junus, dalam bincang-bincang melalui sambungan telepon seluler, Minggu, pekan lalu mengatakan jika misalnya mereka beribadah lewat 10 atau 15 menit dari yang seharusnya, jemaat dari gereja lain yang akan beribadah tidak marah. Demikian juga sebaliknya. Ia katakan lagi bahwa sikap saling pengertianlah yang membuat mereka bisa seperti itu. Bukan hanya sesama Kristen, tetapi juga sesama umat dari agama lain.

Menginginkan sebuah gedung khusus bagi jemaat adalah hal yang lumrah. Maka, terlepas dari adanya peran pemerintah, atau belum punya cukup uang untuk membangun gedung sendiri, sikap mereka layak diapresiasi. Ini wujud dari perilaku yang mengedepankan kerukunan, bukan konflik. Karena jika mereka mengedepankan ego kelompok, bisa saja mereka beribadah di rumah seorang warga, atau di lapangan, atau di mana saja, menolak beribadah di gedung yang sama dengan jemaat gereja lain. Semoga sikap toleran ini terus terjaga dan menyebar kepada setiap umat. 

Sumber foto: Instagram @kenal.sumut

Kunjungi blog saya di https://www.tumblr.com/blog/martinrambe

Ikuti tulisan menarik Martin Rambe lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

17 jam lalu

Terpopuler