x

Iklan

Martin Rambe

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

SMK Bakti Karya Parigi: Menimba Ilmu dan Merawat Toleransi

Tulisan ini bercerita tentang sebuah sekolah multikultural di Pangandaran, Jawab Barat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saya jadi punya kesadaran membuang sampah pada tempatnya, mau bersih-bersih tanpa disuruh yang tadinya nunggu disuruh dan nggak mau, tahu perspektif orang gimana, bertemu banyak orang hebat yang membuat  saya nggak akan jadi apa-apa kalau ngikutin diri sendiri dan nggak mau usaha, pentingnya menghargai orang lain,lebih menghargai waktu, bisa kerja sama juga, banyak pengetahuan yang kalo saya nggak di sini nggak mungkin didapat, atau kecil kemungkinannya.” Nur Afandi, siswa kelas XI SMK Bakti Karya Parigi.

 

Tinggal bersama para siswa SMK Bakti Karya adalah pengalaman paling berkesan selama hampir dua minggu liburan di Pangandaran kemarin. Tepatnya di Desa Cinta Karya, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran. Dua hari tiga malam berinteraksi langsung dengan mereka, itu ibarat jatuh cinta. Di satu sisi aku melihatnya sempurna, di sisi lain aku sadar ada yang harus dijaga dan dikembangkan agar tetap memancarkan cinta. Kelihatannya berlebihan, tapi ya begitulah kurasa.

SMK ini mulai dikelola dengan prinsip multikultural sejak 2016. Jadi, hingga saat ini ada perwakilan dari 11 provinsi di Indonesia yang belajar di sana. Mereka sangat beragam. Bahasa, suku, latar belakang sosial, dan agama. Tentu kesempatan selalu terbuka untuk menghadirkan siswa yang lebih beragam lagi.

Banyak hal menarik, salah satunya siswa asal Papua, Apnel Yekwam, yang sama sekali tidak bisa berbahasa Indonesia ketika pertama kali datang. Dia bisa lulus UN itu kayak gimana ya? 

Menurut cerita Ai Nurhidayat, pengelola sekolah ini, awalnya ia ragu menerima Apnel. Namun, setelah banyak ngobrol dengan pihak sekolah asal Apnel, ia terima juga. Terutama karena prinsip sekolah ini tak menilai kompetensi siswa dari hanya sekadar angka. Maka tak ada alasan bagi Ai tak menerima Apnel. Bahkan kata Ai pun mereka bisa berinteraksi dengan baik, menikmati proses, tertawa bersama itu sudah lebih dari cukup. 

Lain lagi cerita Ismail Rumaru, siswa kelas XI asal Maluku. Awalnya ia tak mau bergaul dengan orang Aceh, Nusa Tenggara Timur, dan Kalimantan. Ia memendam prasangka buruk terhadap mereka. Awalnya ia berpikir orang Aceh itu suka membicarakan orang lain dengan bahasanya sendiri atau orang Kalimantan itu keras-keras karena parasnya garang. Tapi setelah suatu hari mereka saling bercerita, ia sadar kalau berbeda itu asyik. Ia akhirnya mengaku salah atas prasangkanya. Ismail bahkan menjadi pengagum logat Aceh.

Ada yang lebih menarik lagi. Soal ekspresi mereka. Aku agak sulit menggambarkannya. Tapi aku merasa yakin, selama dua hari penuh berinteraksi dengan mereka, ekpresi yang terpancar adalah kebahagiaan. Tanpa beban. Tanpa merasa ada yang kurang. Plong. Lepas. Bahagia menjalani semua proses. Beda dengan anak-anak sekolahan formal pada umumnya.

Ai memang mengatakan metode belajar dibuat menyenangkan. Banyak bermain di lapangan. Misalnya ketika belajar tentang demokrasi mata pelajaran Kewarganegaraan, para siswa diajak langsung ke kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah, belajar Bahasa Inggris dengan permainan, dan lain-lain.  Tapi kurasa tak hanya soal metode belajar, tapi pesan apa yang mereka dapatkan dan pahami dari setiap proses yang mereka alami. Itu berperan penting pada bagaimana mereka mengekspresikan diri. 

Kata Ai ada lima konsep utama yang selalu mereka terapkan pada setiap proses di sekolah multikulural ini. Perdamaian, toleransi, terkoneksi, kelas aktif, dan eksplorasi budaya. Aku pikir ekspresi yang dipancarkan para siswa tak lepas dari lima konsep di atas.   

Internalisasi konsep-konsep itu terasa nyata bahkan saat pertama kali aku datang. Menemukan para siswa di saat libur menghabiskan waktu di lab komputer dan perpustakaan. Ada yang lagi membaca. Ada yang sedang mengedit video. Ternyata mereka sedang kegandrungan bikin video blog. Klik di sini untuk melihat salah satu karya mereka.  

Hatiku semakin meleleh ketika berbincang-bincang dengan mereka. “Untuk mengerti satu hal, ternyata banyak caranya. Guru-guru di sini membuatnya menyenangkan,” kata Yohan, siswa dari Flores. Mereka juga mengaku bangga belajar di sini. “Ketemu seluruh orang Indonesia,” kata Aditya Sujana, siswa asal Kalimantan Timur. Mereka tak hanya tahu, tapi juga hidup bersama. Dialog multikulural yang memang salah satu prinsip sekolah ini sungguh terjadi. Toleransi ditanamkan pelan tapi pasti. 

Aku membayangkan, kelak mereka ini akan menjadi para pembuat kebijakan. Yang dalam dirinya telah terpatri sikap menghargai perbedaan. Mudah-mudahan kebijakan-kebijakan yang akan diambil bijaksana, tidak diskriminatif dan mampu menanggapi isu dengan cerdas. Kita akan maju, jauh melambung!  

Tahun ini ada 67 siswa belajar di sini. Tinggal di dalam dua asrama, putra dan putri. Sebenarnya yang mereka sebut sebagai asrama tepatnya adalah rumah. Siswa perempuan tinggal di rumah Ibu Yuyun, orang tua Ai. Disebutlah asrama putri. 

Yang memprihatinkan adalah asrama putra. Ukurannya memang cukup besar untuk ukuran rumah di perkampungan. Tapi umurnya sudah uzur. Penghuninya pun melebihi kapasitas. Tersedia 4 kamar yang masing-masing berukuran 3x4 meter. Rumah ini dihuni 24 siswa. Bisa bayangkan bagaimana mereka tidur. Ada yg di ruang tengah. Ada yang menyulap kamar sedemikian rupa. Ada yang menyulap sudut ruang tengah. Salah satu sulapannya dengan membuat semacam hammock. Tak hanya hemat ruang, itu membuat tubuh mereka bebas dari ciuman nyamuk.

Ketika gempa terjadi di Tasikmalaya Desember kemarin, rumah ini pun jadi korban. Genteng jatuh, tiang patah dan bergeser, serta dinding retak. Salah satu organisasi di Universitas Paramadina pun tergerak mengajak kita untuk membantu membangun asrama putra melalui kitabisa.com. 

Hidup tiga hari di sana, kawan, aku serius, mereka layak mendapatkan lebih dari sebuah bangunan!  Mereka bahkan butuh tempat tidur, karpet, bantal, selimut, tikar. Dan lebih dari itu, kita butuh sekolah ini terus berlanjut. 

Tak ada pungutan apa pun dari siswa. Fasilitas belajar, makan, penginapan, bahkan seragam sekolah disediakan. Sekolah ini hidup dari pemberian donatur tidak tetap. Dari penuturan Ai, seringkali sekolah ini minus. Meminjam dari bank pun dilakukan. Bulan ini saja dari donatur yang konfirm transfer baru senilai 3.6juta. Tanpa keajaiban mustahil sekolah ini bisa bertahan sampai sekarang.

Aku mengajak teman-teman ke sana. Rasakan atmosfirnya. Ada kelapa muda menyambut kalian, bebas petik dan gratis!  

Silakan kontak Irpan Ilmi (081216357010), Kepala Sekolah SMK Bakti Karya, jika ingin bertanya dan/atau memberi bantuan yang relevan.

Ikuti tulisan menarik Martin Rambe lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler