x

Iklan

Solihin Agyl

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sholat dan Membangun Karakter

Mungkin belum banyak yang percaya bahwa sholat dan membangun karakter positif sangat erat hubungannya. Bacalah artikel ini untuk mengetahui lebih jauh.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sholat dan Membangun Karakter

Oleh: Solihin Agyl

 

Pernahkah terpikirkan selain perintah wajib yang disematkan, sholat sebenarnya adalah media / perangkat kerja yang berfungsi untuk membangun karakter setiap pribadi yang mendirikannya?. Coba perhatikan makna pada ayat Al-Qur’an berikut: “Innassholaata Tanha ‘Anil Fakhsyaai Wal Munkar” (Q.S. 29:45); Sesungguhnya sholat mencegah perbuatan keji dan mungkar.

Jadi, bila sholat didirikan dengan baik; mengikuti tata cara yang benar mulai dari sebelum sholat itu dikerjakan, banyak karakter positif yang akan terbentuk. Dan pada gilirannya, berbagai macam perilaku yang tidak membangun (negatif) bisa dihindari.

Benarkah sesederhana itu? Ya, memang begitu. Sebagai media, sholat mestinya sama dengan program olah raga atau diet (pola makan) yang teratur. Bila program-program kesehatan itu dilakukan dengan baik dan rutin serta mengikuti panduan-panduan yang dibenarkan, maka kesehatan raga dan jiwa adalah sebuah keniscayaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Lupakan orang yang sholat tapi masih saja berperilaku dan berkarakter buruk karena menurut Dr. Bilal Philips—cendekiawan muslim asal Kanada, kini tinggal di Qatar—sholat bagi orang-orang itu hanyalah “mindless routine” saja: rutinitas yang kosong belaka, yang penting gugur kewajiban, tanpa sebuah refleksi, tanpa upaya untuk melihat kembali apa yang sudah diperbuat selama ini. Dan, yang lebih parah lagi, tanpa usaha yang keras untuk mengingat sang pencipta; menyadari sepenuhnya dengan siapa dia sedang berhadapan / berdialog setiap kali sholat dikerjakannya. Dengan begitu, sholat tidak lebih dari sekedar aktifitas pergerakan badan, disertai komat-kamit yang tak memiliki makna.

Sholat memang hanya sebuah media. Namun, ia bisa menjadi satu-satunya alat yang sangat praktis dan ekonomis serta bisa diandalkan untuk membangun karakter yang baik, karena sholat sejatinya memiliki basis sistem manajemen (diri) yang efektif dengan intensitas rutinitas dan substansi kegiatan yang sangat kuat.

Secara empiris, tidak sedikitorang yang memberikan testimoni bahwa dengan sholat yang baik (khusyu’ dan mengikuti tata cara yang dibenarkan) banyak manfaat yang mereka alami dan rasakan. Selain untuk membangun karakter tadi, juga untuk mendapatkan ketenangan jiwa. Berikut beberapa karakter baik yang bisa dibangun melalui sholat.

Pertama, sholat bisa membentuk kedisiplinan. Tak ada media dan strategi yang bisa diandalkan untuk membentuk kedisiplinan se-sistematis sholat. Bila Rhenald Kasali mengisahkan kedisiplinan para ksatria Samurai dalam bukunya: “Self-Driving: Menjadi Driver atau Passenger?” (2015), sebenarnya ia hanya sedang menceritakan sebuah kelompok yang memiliki prinsip kuat berupa self-discipline (disiplin diri) yang mereka pegang teguh secara turun temurun. Guru besar ekonomi dan manajemen UI ini tidak sedang mengetengahkan sebuah media / strategi bagaimana kedisiplinan bisa dibentuk. Dalam konteks inilah sholat bisa hadir sebagai tawaran.

Bila sholat wajib lima waktu saja dilakukan dengan baik (dilakukan dengan khusyu’, tepat waktu dan berjamaah), seseorang bahkan bisa menyaingi kedisiplinan para Samurai yang sudah memulai tanggung jawabnya sejak bangun pagi. Sebagai contoh, sholat Shubuh adalah ritual yang dilakukan pagi sekali. Bahkan kalau mau, ritual sholat lainnya bisa dilakukan beberapa jam sebelum itu, yaitu sholat Tahajud (dilakukan setelah bangun tidur di malam hari antara pukul 12 malam sampai sebelum waktu Shubuh tiba).

Bahkan lagi, bila seseorang ingin menantang dirinya sendiri untuk melatih kedisplinannya, ada sekitar 15-an sholat (sunnah) yang bisa dilakukan secara rutin.

Prinsip yang kuat berupa disiplin diri, fokus dan menjunjung tinggi nilai-nilai kehormatan—seperti yang dijelaskan oleh Rhenald Kasali melalui kisah Samurai dalam bukunya itu—sebenarnya sudah ada dalam semangat dan ruh sholat. Bagaimana mungkin kedisplinan tidak terbentuk bila jadwal-jadwal sholat itu dilakukan secara rutin, teratur dan ajeg?       

Kedua, senada dengan pendapat Dr. Bilal, sholat bisa dijadikan media untuk introspeksi diri, mengevaluasi segala tindakan yang sudah dilakukan dan memperkuat tekad untuk memperbaiki diri. Hal tersebut, menurut Zhuge Liang—penasehat 3 kerajaan di jaman Sam Kok sekitar 18 abad yang lalu—hanya bisa didapatkan melalui ketenangan dan keheningan. Dan, sifat dasar sholat adalah ketenangan dan keheningan itu. Bahkan, sholat tidak bisa dianggap sempurna (baik dan benar) tanpa adanya ketenangan dan keheningan.

Coba saja Anda rutin mendirikan sholat-sholat malam seperti sholat Tahajud dan sejenisnya. Lalu, rasakan sensasi keheningan, ketenangan dan kenyamanan dalam mengevaluasi dan mengintrospeksi diri serta melihat kembali apa yang menjadi visi dan misi hidup kita.        

Ketiga, sholat bisa dijadikan media untuk memotivasi diri. Dalam penelitiannya yang melibatkan sekitar 500 orang, Richard St. John pernah mengatakan: “most successful people keep pushing themselves”; orang yang sukses selalu menjaga motivasi diri. Berbagai cara bisa mereka lakukan untuk menjaga, memantik dan menghidupkan  semangat itu. Di sinilah sholat hadir sebagai salah satu strateginya.

Biasanya, bila waktu sholat tiba, seseorang yang akan menjalankannya hampir pasti didera rasa malas yang amat berat, bahkantak jarang rasa kesia-siaan pun muncul (seperti pertanyaan: untuk apa sih sholat ini?, keuntungan apa yang aku akan dapatkan dengan sholat ini?). Bila dalam sholat saja—yang frekuensi rutinitasnya sangat rapat antara sholat yang satu dan sholat berikutnya, dan pada saat yang sama tak pernah diketahui manfaat langsung apa yang akan didapat darinya—kita mampu memotivasi diri untuk melaksanakannya tepat waktu, dan bahkan berjama’ah, bukan tidak mungkin kita akan terbiasa memotivasi diri untuk melakukan kegiatan-kegiatan lainnya.

Artinya, nilai positif dari sholat (pahala, masuk surga, dekat dengan Tuhan) bila jujur diakui, sebenarnya hanya terjadi di alam persepsi saja. Dengan kata lain, para pelaku sholat tidak pernah tahu manfaat langsung yang akan mereka peroleh persis setelah sholat selesai dilakukan. Oleh karenanya, bila untuk kegiatan yang “tak bermanfaat langsung” seperti itu kita bisa memotivasi diri untuk segera melakukannya, seharusnya kita lebih mampu memotivasi diri untuk melakukan hal-hal yang memberikan manfaat langsung.

 Keempat, sholat adalah media untuk melatih fokus. Dalam sholat, istilah ini dikenal dengan khusyu’. Sholat adalah media yang sangat baik, mudah, praktis serta efisien untuk melatih kekhusyu’an (fokus) itu. Sholat sebenarnya sudah “tersedia” dalam bentuk gerakan dan bacaan dari satu langkah ke langkah berikutnya secara tertib. Langkah-langkah itulah yang, kalau disadari, sebenarnya memberi jalan keluar bagi kita untuk fokus (khusyu’). Maka, setiap mengerjakan sholat, lakukan saja langkah ini:fokuslah pada setiap satu gerakan dan satu bacaan saja, lalu nikmati prosesnya, dan begitu seterusnya. Cara ini bisa kita lakukan untuk kegiatan lain dalam kehidupan sehari-hari; fokus pada satu langkah saja, nikmati prosesnya dan begitu seterusnya. Dengan kata lain, hanya fokus melakukan langkah yang paling kecil dan paling sederhana, dan begitu seterusnya sampai akhir / sampai tujuan yang diinginkan tercapai.  

Kelima, sholat adalah media untuk melatih keikhlasan / ketulusan. Bayangkan saja ini: Anda melakukan sholat di malam buta, tanpa siapapun yang menemani kecuali temaram lampu serta semilir angin malam. Sulit diterima akal sehat bahwa seseorang mau melakukan kegiatan itu tanpa keikhlasan. Sedikit saja Anda tidak ikhlas / tulus melakukannya, pasti Anda lebih memilih selimut hangat membungkus tubuh di atas tempat tidur yang nyaman. Bila sholat malam—bersama dengan segala godaannya itu—Anda sering lakukan dengan keikhlasan / ketulusan, maka mudah bagi Anda mengatur keikhlasan—bersamaan dengan kemampuan memotivasi diri—untuk, misalnya, sholat tepat waktu dan / atau berjamaah di masjid.

Keenam, sholat adalah media untuk melatih Punctuality / Kebiasaan tepat waktu. Perintah Rasulullah SAW pun sangat jelas dan tegas tentang ketepatan-waktu ini: “Assholatu ‘alaa Waqtihaa” Sholatlah tepat pada waktunya. Mental “tepat waktu” akan terbentuk dengan baik bila dengan kemauan keras sholat dikerjakan persis setelah kumandang adzan dilantunkan.

Banyak sekali manfaat bila mental “tepat waktu” itu terbangun dengan baik. Misalnya, pekerjaan-pekerjaan penting meski tak mendesak bisa cepat selesai dikerjakan. Dengan begitu, kita segera bisa melakukan hal-hal lain yang dianggap perlu. Lebih lagi, dengan mental “tepat waktu” pekerjaan lain bisa diselesaikan lebih awal bahkan jauh dari tenggat waktu yang ditentukan.

Ketujuh, sholat bisa membentuk karakter kooperatif. Ini berkaitan dengan team-work. Artinya, orang yang biasa sholat berjamaah memiliki kebiasaan hidup mengutamakan kepentingan bersama. Ini juga menyangkut komunikasi untuk kepentingan kelompok yang lebih besar, belajar komunikasi persuasif untuk mengajak orang lain melakukan kegiatan baik secara bersama. Dengan kata lain, orang yang biasa mendirikan sholat berjamaah mampu bekerja dengan baik dalam tim / team-work.Bagaimana itu bisa terjadi? Karena ia terbiasa mengutamakan kepentingan bersama melalui kebiasan sholat berjamaah itu.

Bahkan bila dia sedang tidak bisa mengikuti jamaah di masjid tersebut—karena terlambat, misalnya—dia tetap bisa berjamaah dengan cara menunggu kesempatan datangnya orang lain (dalam ilmu Fiqih ini disebut dengan ma’mum masbuk), dan diajaknya untuk berjamaah. Di sinilah, kemampuan komunikasi dan berbicara secara persuasif bisa dilatih secara praktis.

Semua karakter positif di atas sangat bisa dilatih melalui sholat yang dilakukan dengan baik dan benar (khusu’, tepat waktu dan berjamaah). Karena sholat memiliki intensitas rutinitas yang tertib. Menurut konsep Mielinisasi—salah satunya diperkenalkan oleh Daniel Coyle dengan “deep practice”-nya—bahwa sel saraf otak akan membentuk Myelin (bungkus, Mielinisasi = pembungkusan) bila terjadi pengulangan (berpikir, bergerak). Semakin sering pengulangan terjadi maka mielinisasi semakin kuat. Dengan begitu, karakter-karakter positif tersebut di atas semakin melekat pada setiap pribadi yang mengerjakan sholat dengan baik dan benar, rutin dan disiplin.

 

Ikuti tulisan menarik Solihin Agyl lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler