x

Iklan

Urban Marjinal

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Tidak Sekadar Berbeda, Tapi Bervisi Kuat Seperti Bung Karno

Rata-rata dari para elite politik negeri ini menggunakan strategi asal beda (popular) dalam meraih dukungan publik. Tapi kalau tak punya Visi Kuat?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tahun 2012 dan 2014 menjadi saksi, bagaimana sebagian besar masyarakat di DKI Jakarta dan Indonesia menginginkan pemimpin yang “berbeda”. “Berbeda” dalam persepsi masyarakat di sini lebih pada pembawaan atau karakter yang terlihat. Pemimpin yang disukai masyarakat pada masa sebelum 2012 umumnya terlihat gagah, bergaya elitis (berjarak dari massa rakyat), tapi pandai berpidato. Secara umum karakter pemimpin tipe masa lalu ini diwakili oleh SBY (dan juga Prabowo). Sangat disayangkan memang, pada era ini masyarakat Indonesia masih belum terlalu mempedulikan tentang “visi”, kalaupun ada masih sangat terbatas pada yang dicitrakan di permukaan.   

Pada tahun 2012, di momentum politik Pilkada DKI Jakarta, pasangan Jokowi-Ahok secara mengejutkan berhasil mengalahkan pasangan Fauzi Bowo – Priyanto. Jokowi, seperti diketahui, melejit dari Walikota Solo karena pembawaannya yang benar-benar berbeda dari tipikal SBY maupun Prabowo. 

Jokowi jelas tidak segagah SBY atau Prabowo, tidak elitis, gemar blusukan (karenanya tidak berjarak dari massa), dan sama sekali tak pandai berpidato. Kalaupun terdapat “visi” yang agak jelas dari Jokowi, yang diingat masyarakat, itu hanyalah aksi pencitraannya dengan mobil Esemka- yang menyimbolkan Jokowi berkeinginan membangkitkan industri otomotif karya anak bangsa. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam Pilkada DKI 2012, masyarakat Jakarta hanya melihat sosok Jokowi tanpa mempedulikan siapapun wakilnya. Saat itu Ahok adalah mantan Bupati Belitung Timur, yang menjadi politisi kutu loncat dengan ambisi menjadi gubernur di manapun tempat yang memungkinkan.

Pada tahun 2014, melihat performa Jokowi selama 1,5 tahun sebagai Gubernur DKI yang cukup konsisten dengan pembawaan “berbeda”, masyarakat yang memilihnya pada 2012 semakin bulat mempercayakan Jokowi untuk memimpin Indonesia sebagai Presiden Ke-7. PDI Perjuangan sebagai partai tempat Jokowi berasal pada awalnya agak berat mengusungnya, tapi karena mayoritas dalam PDI Perjuangan berhasil meyakinkan Megawati Soekarnoputeri bahwa Jokowi adalah penerus “visi” Sukarno tentang Pancasila, Trisakti, Revolusi Mental, dsb. 

Benar saja, dipasangkan dengan siapapun sebagai wakilnya, Jokowi tetap menang melawan Prabowo. Saat itu JK yang merupakan wakil Jokowi jelas bukan sosok politisi yang berprospek karena sudah pernah kalah telak saat nyapres di 2009, dan dikenal juga sebagai politisi yang gemar memanfaatkan kekuasaannya untuk memperbesar bisnis keluarganya.

Setelah menduduki kursi Presiden, Jokowi yang kesannya “tidak gagah, tidak elitis, dan tidak pandai berpidato” ini pada satu tahun awal pemerintahannya gagap menterjemahkan “visi” besar yang terinspirasi dari Bung Karno. Gagap terjemahkan "vsi" tersebut karena di deretan jajaran pembantunya di Kabinet tidak terdapat sosok yang mampu menterjemahkan “visi” Bung Karno. 

Pemerintahan berjalan secara biasa saja, tidak istimewa sama sekali. Masyarakat Indonesia saat itu mulai sadar, bahwa Jokowi ternyata tidak sekapabel seperti harapan mereka. 

Visi semacam mobil Esemka yang menjadi brand saat masih menjadi Walikota Solo, yang masyarakat ingat, ternyata benar-benar hanya pencitraan tanpa ada tindak lanjut yang jelas setelah Jokowi jadi Presiden. 

Baru setelah di tahun kedua masuk ke Kabinet sosok seperti Rizal Ramli mantan menteri di era Gus Dur, yang dikenal luas sejak lama sebagai ekonom nasionalis progresif, “visi” pemerintahan Jokowi menjadi lebih tegas mendekati cita-cita Bung Karno. Meskipun oleh elit dianggap gaduh, tapi masyarakat Indonesia yang semakin cerdas sebenarnya terus mengikuti dengan seksama jalannya pemerintahan --yang selama ini tidak begitu mereka pedulikan. Gaduh bagi elit, tapi bagi rakyat justru menunjukkan itulah Revolusi Mental sedang berlangsung.

Cukup mengejutkan memang, pada akhir tahun kedua pemerintahannya Jokowi malah memecat Rizal Ramli dari Kabinet. Ada yang bilang ini karena Rizal Ramli berani menghentikan reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta, yang membuat marah para taipan perusahaan pengembang penyumbang biaya kampanye Jokowi di 2014. Ada juga yang bilang bahwa ini karena Jokowi memerlukan utang segar dari Bank Dunia untuk menambal defisit anggaran, dan sosok yang paling tepat untuk mewujudkannya adalah Sri Mulyani yang juga pejabat Bank Dunia. 

Karena berbeda “visi” ekonomi, Sri Mulyani kabarnya meminta agar Rizal Ramli keluar dari Kabinet bila Jokowi ingin dirinya bergabung. Jokowi sendiri, pada rapat pertama Kabinet pasca pemecatan Rizal Ramli, menyatakan bahwa “visi” menteri tidak boleh berbeda dari “visi” presiden. Bila dimaksudkan menyasar Rizal Ramli, sindiran ini seakan menegaskan bahwa sebenarnya Jokowi memiliki “visi” yang berbeda dari Rizal Ramli. Tetapi mau apa lagi, yang terjadi telah menjadi sejarah.

Ingatan dan pengalaman masyarakat mulai menguat. Masyarakat Indonesia sudah terlanjur menjadi saksi, bagaimana Rizal Ramli: berani melawan kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat yang dikeluarkan oleh sesama koleganya di Kabinet atau Pemda (seperti dalam kasus Ahok dan Reklamasi Pulau G yang merugikan nelayan Teluk Jakarta); berani melawan kongkalikong pejabat sekaligus pengusaha yang menyasar proyek-proyek pemerintahan; berhasil menghentikan upaya percepatan perpanjangan kontrak Freeport (perusahaan tambang Amerika Serikat yang besar di masa Orde Baru, identik dengan kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, penyuapan, dan wanprestasi) yang juga berlatar belakang kongkalikong pejabat-pengusaha; berhasil mengubah model pengembangan Blok Masela dari paradigma lama (sedot-ekspor) menjadi paradigma baru yang sesuai Trisakti (sehingga Rizal Ramli dianggap rakyat Maluku sebagai pahlawan mereka); berhasil membangkitkan euphoria masyarakat terhadap destinasi-destinasi pariwisata di luar Bali (seperti misalnya di Danau Toba dan Labuan Bajo yang meraih sukses besar); dan lain-lain.

Masyarakat telah menyaksikan dengan jelas, bahwa apa-apa yang dilakukan Rizal Ramli di Pemerintahan Jokowi tersebut tidak lain merupakan upaya menjabarkan “visi” Trisakti, Nawacita, Pancasila, Revolusi Mental, dll milik Bung Karno. 

Masyarakat kemudian akan bertanya-tanya, apakah dengan pemecatan Rizal Ramli ini berarti Jokowi tidak lagi berupaya meneruskan “visi-visi” Bung Karno?  Seperti yang telah dinyatakan secara berulang-ulang oleh PDI Perjuangan saat mencapreskan Jokowi (bahwa Jokowi merupakan anak ideologis Bung Karno, bahwa Jokowi akan melaksanakan “visi” Trisakti, Nawacita, Pancasila, Revolusi Mental, dsb)? 

Masyarakat sepertinya sudah menemukan jawabannya. Apalagi setelah mereka merasakan bagaimana ketimpangan ekonomi semakin buruk di era Jokowi, harga-harga kebutuhan pokok mereka terus tinggi, sementara gaji riil tidak naik, dan lapangan kerja yang tercipta sangat terbatas. 

Kini, pelan namun pasti, masyarakat jadi paham, bahwa untuk menjadi pemimpin tidak cukup hanya memiliki pembawaan yang “berbeda”, tapi ternyata “bervisi” lemah. Sehingga kemungkinan besar untuk momentum-momentum politik berikutnya, seperti Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019, masyarakat akan mencari pemimpin yang “berbeda” dan juga ”bervisi” kuat seperti Bung Karno.

Rizal Ramli, selain “bervisi” sekuat Bung Karno, ternyata juga memiliki pembawaan yang “berbeda” seperti Jokowi dan bahkan seperti Bung Karno. Rizal Ramli sejak lama terkenal di berbagai kalangan sebagai sosok yang sangat egaliter, yang anti terhadap budaya feodalisme, sehingga dirinya disayangi oleh kalangan aktivis, kelas pekerja dan rakyat kecil lainnya. 

Masyarakat umumnya melihat perangai Rizal Ramli sangat keras dan sering berbicara blak-blakan –mirip Bung Karno- terutama kepada elit pejabat atau pengusaha yang berseberangan dengan “visinya”, namun bila berkomunikasi dengan rakyat Rizal Ramli selalu lemah lembut. Kerendahan hati adalah pembawaannya yang tidak pernah berubah sejak dirinya masih menjadi pimpinan aktivis mahasiswa di tahun 1978 melawan Orde Baru. Meskipun tidak ramai terdengar melakukan blusukan seperti Jokowi, kedekatan dengan massa rakyat, anti-elitis, adalah karakter Rizal Ramli yang mirip dengan karakter Jokowi dan Bung Karno. Sedangkan empati pribadi yang tinggi terhadap orang kecil, adalah sifat yang juga mirip dengan Jokowi dan Bung Karno. Salah satu contohnya: selama menjadi Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli tidak pernah mengambil gaji bulanannya dan menginstrusikan agar gajinya tersebut dibagikan kepada staf dan keamanan di kantor Kemenko. Hanya dalam hal keahlian berpidato Rizal Ramli jelas di atas Jokowi --walau mungkin belum sekelas SBY dan Prabowo, apalagi Bung Karno.      

Kini sekalangan masyarakat di DKI Jakarta yang telah tercerdaskan, memaksa Rizal Ramli agar mau maju bertarung di Pilkada DKI tahun 2017. Dukungan alamiah ini mengalir datang dari tokoh-tokoh masyarakat lintas agama dan penggiat kemanusiaan, juga datang dari puluhan organisasi yang mencakup: serikat buruh terbesar, serikat-serikat nelayan, serikat lingkungan hidup, serikat korban penggusuran, serikat pedagang, serikat mahasiswa, serikat pemuda, serikat keagamaan, serikat adat, serikat lintas profesi, dan serikat ketua RT dan RW se-DKI. Perlu diketahui bahwa sebagian di antara para pendukung ini dulunya adalah pendukung Jokowi di 2012 dan 2014. Sebagian lagi bahkan adalah penentang keras Jokowi sejak 2014. 

Sangat unik, sosok Rizal Ramli ternyata mampu menggaet dukungan dari dua kubu yang berseberangan di pemerintahan. Karena itu ada pendapat yang mengatakan, bahwa bila memang Megawati mendambakan terciptanya persatuan nasional di bawah “visi” Pancasila, jawabannya tak lain adalah dengan memajukan Rizal Ramli sebagai kandidat dari PDI Perjuangan di Pilkada DKI 2017. Apalagi saat ini masyarakat wong cilik, kaum marhaen, yang menjadi alasan keberadaan organisasi PDI Perjuangan juga sudah berhimpun mendukung Rizal Ramli. 

Que sera sera ...

Ikuti tulisan menarik Urban Marjinal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan