x

Guru mengajar anak-anak tunanetra dalam kelas bahasa Inggris dengan menggunakan musik dan lagu di sekolah di West Bank, Hebron, 2 Maret 2016. REUTERS/Ammar Awad

Iklan

Solihin Agyl

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

English By Movie, Terbukanya Jalan karena Pengalaman

Model pengajaran dan pembelajaran bahasa Inggris dengan mengoptimalkan penggunaan klip-klip film; menarik dan tak terlupakan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Solihin Agyl

 

“Pengalaman tidak pernah hadir sia-sia” (William Soerya Jaya).  

----------------------------------------------------------

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Jangan pernah remehkan pengalaman, betapa pun sederhananya pengalaman itu. Suatu saat kelak, ia bisa menjadi pembuka jalan. Saat SMA, saya pernah merasakan momen paling membanggakan: waktu nilai bahasa Inggris saya, secara kebetulan, terbaik pada ujian umum sekolah.

Karena diumumkan, seluruh sekolah riuh sebab saya bukan pelajar berprestasi. Bahkan,pelajar terbaiknya, seorang siswi, karena penasaran, terus menelusuri nama saya,hanya ingin bertemu langsung dengan siswa yang “menggagalkan”nya meraih nilai tertinggi untuk semua mata pelajaran di sekolah.   

Sebenarnya, mendapat nilai tertinggi dan menjadi orang “terkenal” di sekolah karena bahasa Inggris bukan pengalaman pertama saya.  Sebelumnya, saat di SMP, semua kawan sekelas mengenal saya sebagai “jagoan” bahasa Inggris. Ketenaran itu akhirnya merembet juga ke telinga siswa-siswa lain di sekolah. Bahkan pernah di kelas 3, saat ujian semester, guru bahasa Inggris kami harus mendudukkan saya di kursi guru di depan kelas agar siswa yang lain tidak bisa dengan leluasa “mengintip” hasil kerja saya.   

Saya semakin getol belajar bahasa Inggris. Saat di SMA itu, saya hobi nonton film-film Hollywood di bioskop. Waktu itu saya berpikir sederhana: film-film itu menawarkan banyak hal tentang bahasa Inggris:  kosa kata, ekspresi alami, cara pengucapan dan fungsi-fungsi penggunaan ekspresi tertentu plus konteks dan bahkan pengenalan budaya.  

Maka, setiap kali menonton film, terutama saat uang di kantong agak berlebih, saya selalu menonton film yang sama sebanyak dua kali. Tontonan pertama adalah khusus untuk memahami alur cerita, dan tontonan kedua adalah momen untuk menyelami kata, frase dan bahkan kalimat yang digunakan dalam dialog-dialog di film itu. Sampai sekarang pun, karena begitu kuatnya pengaruh visualisasi di film itu, saya bisa mengingat dengan baik ekspresi-ekspresi yang saya anggap penting dan menarik dari beberapa film itu sekaligus dengan adegan-adegannya,

Belakangan, sebagai pengajar, saya bergabung dalam sebuah komunitas yang anggotanya adalah para dosen, peneliti, penulis, guru dan pengajar bahasa Inggris dari seluruh dunia. Kebetulan, komunitas itu dibidani oleh tiga warna negara Indonesia yang sudah memiliki reputasi internasional, salah satunya adalah Willy Renandya: seorang dosen di NIE (National Institute of Education).

Dalam sebuah postingan di komunitas tersebut di media sosial, pak Willy menceritakan pertemuannya dengan seorang siswa di sela kunjungannya ke sebuah negara di Asia Tenggara untuk sebuah workshop internasional.Diceritakannya lebih lanjut, siswa itu menggunakan bahasa Inggris secara alami dengan sangat baik.Padahal, pak Willy tahu siswa itu tak memiliki dukungan yang memadai dari lingkungannya—baik rumah maupun sekolah—khususnya bagi perkembangan dan kemampuanbahasa asingnya.

Setelah didalami, anak tersebut ternyata suka sekali menonton film berbahasa Inggris melalui video di rumah. Inilah yang kemudian, menurut pak Willy, disebut sebagai Extensive Viewing.

Extensive Viewing adalah melihat atau menonton secara seksama serta terus menerus. Kegiatan inilah, menurut pak Willy lebih lanjut, yang memberikan banyak contoh bagi siswa itu tentang kalimat-kalimat yang biasa digunakan sehari-hari oleh penutur asli bahasa Inggris. Dari film pula anak tersebut belajar dan mengembangkan kemampuan bahasa asing-nya secara mandiri.

Extensive Viewing pula yang membawa saya kembali pada pengalaman di masa remaja itu. Cerita pak Willy itu menginspirasi saya. Kini sebagai pengajar bahasa Inggris, saya mulai rajin mengumpulkan film-film Hollywood dari internet untuk saya olah menjadi sebuah kurikulum  pembelajaran bahasa Inggris yang saya beri nama English By Movie*.

Program English by Movie sebenarnya sebuah impian lama. Dan, saya bertekad untuk segera mewujudkannya menjadi sebuah program pembelajaran di lembaga saya, yang pada gilirannya akan saya bagi pada lembaga-lembaga lain yang berkenan. Sekali lagi, cerita pak Willy berhasil memecut semangat saya. Bagaimana tidak, seorang anak yang berasal dari sebuah negara yang relatif baru merdeka dan tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari lingkungannya, tapi karena ia mengalami proses Extensive Viewing dan paparan yang cukup terhadap bahasa Inggris, ia bisa begitu mahirnya berkomunikasi dalam bahasa asing itu. Dalam hati saya bergumam: bila anak itu bisa, berarti siswa saya pasti juga akan bisa bila saya memperkenalkan cara ini (Extensive Viewing) dalam pembelajaran bahasa Inggris.    

Dalam prakteknya, karena saya bekerja secara mandiri, saya mengimplimentasikannya sambil menyusun ulang dan memperbaiki kurikulum yang sudah saya persiapkan. Proses terus berjalan. Target ambisius saya adalah: English By Movie ini harus dipersiapkan dengan 30 model strategi pembelajaran yang berbeda, di 30 kelas yang berbeda dengan 30 level (tingkat kemahiran) yang berbeda pula. Yang tidak kalah pentingnya adalah; setelah kelas, saya membuat catatan sistematis yang akan saya bagikan pada guru-guru yang mungkin tertarik untuk mengaplikasi hal yang sama di kelas mereka masing-masing.

Lalu, seperti apakah kurikulum itu diterapkan di dalam kelas?. Secara garis besar, model pembelajaran ini adalah penggabungan dari beberapa metodologi komunikatif bahasa Inggris. Yang menarik, metodologi ini digabung secara seksama melalui Bloom’s Taxonomy yang sudah mengalami perbaikan (revisi) dan mengoptimalkan pendekatan learner-centered.

 

Tunggu saja berita dari saya berikutnya. J

 

-------------------------------------------------------------------------

*Istilah ini pertama kali didapat oleh penulis dari Fauzy Chusni yang saat itu menjadi Kepala Cabang YPIA—sebuah lembaga bahasa Inggris di Surabaya. Dalam prakteknya, tentu saja kami menerapkan strategi yang berbeda.           

 

Ikuti tulisan menarik Solihin Agyl lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler