x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Belajar Dermawan dari Cina Solo

Teladan dari dr. Lo Siauw Ging, dokter dermawan dari Solo.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: dr. Lo – Sang Maestro Kehidupan

Penulis: Nadjibah Yahya dan Aviaddina Ramadhani

Tahun Terbit: 2016

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penerbit:Metagraf                                                                                                       

Tebal: xii + 188

ISBN: 978-602-73871-3-3

 

Latar belakang etnis tak menghalangi seseorang untuk bermanfaat bagi orang lain. Lo Siauw Ging, atau lebih dikenal dengan nama dr. Lo adalah contohnya. Sebagai seorang keturunan Tionghoa, ia telah membuktikan bahwa dirinya berguna bagi orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Sebagai seorang dokter beliau telah menolong banyak pasien yang membutuhkan layanan kesehatan, tetapi tidak mampu untuk membayarnya. Pertolongan dr. Lo dilakukan di klinik tempat praktik di rumahnya, dan juga di rumah sakit dimana beliau berdinas. Pertolongan yang beliau berikan tidak sebatas menggratiskan pasiennya, tetapi membiayai pengobatan lanjutan di rumah sakit apabila si pasien harus mendapatkan perawatan yang tidak bisa dilakukan di kliniknya.

Kisah seorang pelajar yang kakinya patah karena terlindas kereta api adalah salah satu contoh dedikasi dr. Lo dalam menolong seseorang. Anak keluarga kurang mampu ini harus diamputasi segera, sementara orangtuanya belum ada di rumah sakit. Dr. Lo tak mau menunggu karena si pasien sudah kehilangan banyak darah. Ia siap digugat untuk keputusannya mengamputasi si anak. Beliau menanggung biaya perawatan, mencarikan kaki palsu saat sudah sembuh dan membiayai kursus menjahit si anak supaya punya bekal hidup ke depan.

Beliau juga tak pandang bulu dalam menolong orang. Seorang preman yang sering memalaknya, tetap diperlakukan sebagai seorang pasien. Preman yang selalu datang ke tempat kliniknya untuk meminta uang itu terkena sakit hipertiroid. Ia menggratiskan biaya periksa dan obat. Alasannya, kalau untuk hidup saja ia harus memalak orang, berarti dia tidak memiliki uang untuk biaya berobat. Bahkan dr. Lo membiayai perawatan lanjutan bagi si preman di rumah sakit, termasuk biaya saat si preman masuk ICU.

Mengapa dr. Lo bisa menjadi seorang dokter dermawan? Buku ini menjelaskan bahwa kondisi ayahnya yang sakit dan tidak mendapatkan perawatan yang memadai, karena perawatan medis sangat mahal, adalah pemicu utama mengapa dr. Lo ingin menjadi seorang ahli medis dan menyediakan layanan medis yang bisa dijangkau oleh masyarakat umum. Peristiwa kedua yang memicu dr. Lo menjadi seorang dermawan adalah saat beliau sakit dan sempat koma selama 5 hari. Dr. Lo terlibat dalam penanganan wabah demam kuning (weil desase) di Gunung Kidul. Akibatnya ia tertular penyakit ini. Mengalami situasi tak berdaya karena penyakit, membuat dr. Lo berjanji: “Jika akhirnya keajaiban Tuhan datang dan ia kembali sehat seperti sedia kala, ia akan benar-benar mengabdikan dirinya untuk masyarakat” (hal. 22).

Hal ketiga yang membuatnya menjadi dermawan adalah nasihat ayahnya. Ayahnya –seorang pedagang tembakau di Magelang, mengatakan bahwa kalau jadi dokter jangan jadi pedagang (hal. 14). Nasihat ayahnya ini selalu diingat oleh beliau dalam menjalankan profesinya sebagai dokter. Beliau tak mau “memperdagangkan” profesinya sebagai dokter.

Hal keempat yang membuat dr. Lo menjadi dokter dermawan adalah karena mentornya. Ia bekerja dengan dr. Oen, seorang dokter dermawan lainnya di kota Solo. Melalui keteladanan yang ditunjukkan oleh dr. Oen – senior sekaligus sahabatnya, dr. Lo menjadi semakin mantab menempuh jalan kedermawanan. Dr. Oenlan yang menjadi model baginya untuk mengabdi di dunia kesehatan.

Bagaimana dr. Lo membiayai kedermawanannya? Selain dari penghasilannya sendiri sebagai dokter, dr. Lo menggunakan kedermawanan orang lain yang dipercayakan kepadanya. Ia menerima siapa saja yang mau mempercayainya menggunakan uangnya untuk menolong sesama.  Syaratnya hanya satu, yaitu si penderma tak boleh disebut namanya. Dalam menerima kepercayaan orang lain, dr. Lo tidak pilih kasih. Meski dr. Lo adalah seorang keturunan Tionghoa, namun ia tidak membatasi donaturnya hanya dari kalangan keturunan Tionghoa saja. Bahkan salah satu donator besarnya adalah seorang muslim pribumi.

Dr. Lo bukanlah dokter biasa. Sebagai seorang dokter yang tertarik pada kesehatan masyarakat, beliau sering terlibat dalam peristiwa-peristiwa wabah penyakit dan kecelakaan besar. Ia adalah anggota tim penanggulangan wabah penyakit demam kuning (weil dease) di Gunung Kidul di awal kariernya sebagai dokter. Ia juga menjadi bagian tim penanggulangan wabah pes di Boyolali. Saat terjadi kecelakaan pesawat Lion Air di Solo, dr. Lo mengambil inisiatif membuka RS. Kasih Ibu, dimana beliau menjadi direktur untuk menerima korban.

Ia adalah juga seorang cendekiawan. Beliaulah yang menemukan pertama kali kasus demam berdarah dengue di Solo. Meski penemuannya ini tidak terpublikasi secara ilmiah, namun banyak pihak yang mengakuinya. Sebagai seorang dokter dengan pendidikan kedokteran lama, beliau masih mengandalkan pemeriksaan fisik daripada tergantung kepada pemeriksaan laboratorium. Diagnosanya dengan berdasarkan pemeriksaan fisik sering terbukti lebih akurat daripada mengandalkan informasi dari data laboratorium. Sebab seringkali gejala awal penyakit belum terdeteksi secara lab, namun sudah bisa dikenali dari ciri fisik. Meski tetap menggunakan metode lama dalam melakukan diagnosis, dr. Lo tetap belajar teori-teori dan penemuan-penemuan baru di dunia kedokteran dengan cara membaca buku dan jurnal.

Karya lain dr. Lo di dunia kesehatan adalah kiprahnya sebagai direktur rumah sakit. Dua rumah sakit swasta di Solo telah merasakan karyanya sebagai seorang direktur. Ia telah membesarkan Rumah Sakit Dr. Oen dari sebuah klinik menjadi rumah sakit swasta terbesar (saat itu) di Kota Solo. Selepas dari Rumah Sakit dr. Oen, beliau mengelola sebuah rumah sakit bersalin “Kasih Ibu” dan mengembangkannya menjadi sebuah rumah sakit umum.

Buku ini juga mengungkap sisi spiritualitas dr. Lo. Meski beliau tidak mau terikat oleh salah satu agama, namun beliau sangat percaya pada Tuhan. Kepercayaannya kepada Tuhan yang Maha Penolong itu diwujudkan dengan berupaya terus berbuat baik untuk sesama. Kepercayaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi pondasi kuat untuk bertahan dengan prinsipnya sampai sekarang (hal. 166). Ia juga tidak menjadi takut dalam menghadapi kehidupan. Sebab semua sudah diatur oleh Yang Di Atas.

Sisi lain yang diungkap oleh buku ini adalah tentang nasionalisme dr. Lo. Beliau menolak tawaran untuk hidup di luar negeri. Ia tetap memilih mengabdi sebagai dokter di Kota Solo. Rasa nasionalismenya ditunjukkan saat terjadi kerusuhan anti Cina di Kota Solo. Alih-alih meninggalkan kota atau bersembunyi di dalam rumah, dr. Lo malah tetap membuka praktik di rumahnya. Ia beralasan saat kerusuhan pasti banyak layanan dokter yang tutup. Bagaimana dengan pasien yang memerlukan pertolongan dokter? Alasan itulah yang membuat beliau tetap membuka praktik tanpa memperdulikan keselamatannya sebagai seorang keturunan Tionghoa. Malah para tetangga yang khawatir dengan keselamatan beliau. Maka secara bergiliran para tetangga menjaga rumah dan praktik dr. Lo selama kerusuhan terjadi.

Buku ini ditulis dengan sangat baik. Para penulisnya yang memiliki kedekatan dengan sang tokoh membuat detail-detail peristiwa bisa digambarkan dengan sangat hidup. Kalimat-kalimat yang digunakan mengalir nikmat. Pilihan untuk tidak terikat secara kronologis dalam bertutur menjadi nilai tambah buku ini.

Sebagai sebuah buku yang tidak didasarkan kepada wawancara langsung dengan dr. Lo, maka buku ini belumlah lengkap mengungkap semua sisi kehidupannya. Misalnya, peranan dr. Lo di RS dr. Oen hanya mendapatkan porsi sedikit jika dibanding dengan kiprah beliau di RS. Kasih Ibu. Padahal peran beliau dalam mengembangkan RS dr. Oen sangatlah besar.

Hal lain yang tak terungkap dalam buku ini adalah pergumulan-pergumulan pribadi dr. Lo sebagai manusia biasa. Buku ini banyak mengungkap kehidupan dr. Lo sebagai seorang pribadi yang sempurna. Padahal pergumulan-pergumulan itulah yang bisa menjadi teladan bagi para pembaca untuk mencapai kualitas seperti dr. Lo.

Dr. Lo memang menolak pengalaman hidupnya ditulis.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler