Begini Momok Lembaga Sensor di Mata Mereka
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBLembaga sensor dan bentuk pembungkaman terhadap ide-ide masyarakat Indonesia dalam karyanya.
Nia Dinata: Wartawan harus Bantu Awasi Lembaga Sensor Film!
“16 tahun saya bergelut di dunia perfilman, Lembaga Sensor Film sekarang ini lebih mengerikan.”
Kalimat itu meluncur dari mulut sutradara, penulis naskah, dan produser film Nia Dinata ketika menyampaikan kekecewaannya terhadap Lembaga Sensor Film (LSF) di hadapan para peserta Diskusi Media yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) Jumat petang (30/92016) di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta Pusat. Menurutnya LSF semakin membatasi sutradara-sutradara untuk mengekspresikan ide dan imaginasi ke dalam film-film mereka.
Celakanya, tutur Sutradara Ca Bau Kan (2002), Arisan! (2004) ini, atas alasan-alasan yang tidak terlalu jelas ukurannya, LSF menyensor bukan saja soal bagaimana pemain harus berpakaian, tetapi juga values yang ingin disampaikan dalam film.
Nia melanjutkan, bahwa untuk memperoleh Surat Tanda Lulus Sensor (STLS) pembuat film harus melewati urusan administrasi yang sangat kompleks, dari mulai mengisi formulir permohonan penyensoran, mendapatkan bukti pendaftaran penyensoran yang terdiri dari 3 lembar, dan seterusnya. Jika dalam film mengandung konten yang dianggap kurang sesuai, maka LSF akan memanggil pembuat film untuk berdiskusi dan beraudiensi.
“Karena yang mengisi LSF adalah orang-orang yang perspektifnya sangat konservatif, negosiasinya bisa sangat alot dan malah menghilangkan adegan-adegan yang justru penting dan terkait dengan values yang ingin kami sampaikan,” tutur pembuat film drama musikalIni Kisah Tiga Dara (2016) yang baru selesai diputar di bioskop-bioskop Jakarta. Pada film terbarunya inilah Nia mengalami “pemotongan” adegan yang merusak nilai atau ide yang menurutnya sangat penting.
“Pada kesempatan inilah saya ingin curcol agar teman-teman wartawan membantu membongkar kondisi LSF sekarang,” ajak Nia pada peserta diskusi yang bertema Sensor Mengalir sampai Jauh ini.
Demi dunia perfilman Indonesia yang lebih maju, Nia Dinata mendorong jurnalis melihat lebih dekat keberadaan LSF. Baginya, indikator yang paling mudah dilihat dari ketidakjelasan kerja-kerja LSF adalah website yang tidak pernah update dan difungsikan untuk memberi informasi dan komunikasi terkait perfilman dan mekanisme penyensoran.
Karena itu pula, Nia beranggapan peran jurnalis dan media untuk mengabarkan kepada publik terkait fungsi komisi-komisi dalam LSF yang tidak jelas menjadi sangat dibutuhkan. Terlebih Komisi I LSF yang langsung menangani konten film dengan 5 anggotanya yang sangat konservatif dan 2 perempuan yang cukup progresif, tetapi ketika mengambil keputusan selalu kalah jumlah.
Apabila tidak ada upaya pengawasan dan perbaikan LSF, maka yang terjadi adalah swa-sensor di kalangan sutradara atau produser dengan membuat film yang “aman-aman” saja agar bisa ditonton di bioskop-bioskop komersial untuk kemudian bisa ditayangkan di TV. Sementara film-film yang berkualitas tidak bisa dinikmati publik Indonesia secara luas karena para pembuat film memilih membawanya ke festival-festival film internasional di luar, bioskop-bioskop indie, atau diarahkan untuk online atau digital.
Okky Madasari: Sastra Melawan Sensor
Pada kesempatan yang sama novelis Okky Madasari menuturkan pengalamannya menghadapi penyensoran terutama pada dua karyanya,Maryam (2012) yang dianugerahi Penghargaan Sastra Khatulistiwa dan Pasung Jiwa (2013). Oleh editor penerbit ternama, salah satu adegan yang penting pada Maryam diminta untuk dihilangkan.
Sementara pada Pasung Jiwa negosiasi yang sangat keras dengan penerbit besar, yang juga sama mencetak Maryam, harus ditempuh Okky karena novel ini mengambil lakon transgender. “Seminggu setelah terbit, novel ditarik dari peredaran. Beberapa adegan yang menyebutkan habib dan teriakan Allahu Akbar diminta untuk diubah. Sebab, penerbit tidak mau mengambil risiko diancam oleh kelompok atas nama agama yang intoleran,” kisahnya.
Namun begitu, Okky menyesalkan karena penerbit ini “kalah” dan harus membayar kelompok intoleran atas nama agama yang aksi-aksinya kerap menghalalkan kekerasan. Dari peristiwa-peristiwa serupa berakibat pada swa-sensor dilakukan penerbit yang besar sekalipun.
“Bagaimana mungkin tunduk pada sensor, sementara selama ini karya-karya yang saya buat merupakan bentuk perlawanan terhadap maraknya tekanan dan represi baik dari kelompok masyarakat yang intoleran maupun aparat?” protes pengarang yang dikenal komitmennya dalam menyuarakan kelompok rentan bersandarkan pada prinsip hak asasi manusia.
Dalam diskusi untuk merayakan Freedom Week kerjasama SEJUK dengan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) ini Okky yang beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris dan Jerman menegaskan perlawanannya pada sensor ketika ia menggelar sebuah festival sastra internasional di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Dalam penyelenggaraan ASEAN Literary Festival (ALF), Mei lalu, yang mendapatkan ancaman dan tuntutan pembubaran ini, Okky sebagai Direktur Program-nya dengan berbagai macam upaya tetap gigih untuk menggelar tema-tema sensitif yang ia anggap harus diperjuangkan: LGBT, pembantaian ’65 dan Papua.
“Dalam melawan sensor yang waktu itu pelakunya adalah FPI dan polisi, adalah sesuatu yang mungkin buat saya yang punya akses ke kekuasaan di pemerintahan dan media agar mereka menekan balik para pelaku sehingga ALF dapat terus berjalan, meski dengan situasi yang kurang kondusif lagi,” ungkapnya dengan nada masygul.
“Tetapi,” lanjutnya, “bagaimana dengan mereka kelompok rentan atau para mahasiswa di daerah-daerah yang terus-menerus dilanggar kebebasannya menggelar kegiatan karena tidak punya akses ke kekuasaan?”
Damar Juniarto: Bahkan jurnalis bisa jadi korban
Koordinator Regional SAFENET Damar Juniarto memulai presentasi dengan pernyataan, “Harusnya tidak ada sensor!”
Di era demokrasi yang diberkahi revolusi teknologi dan informasi melalui internet, mestinya menjadi surga bagi kebebasan. Sensor tidak punya tempat. Tetapi dalam kenyataannya, Damar menegaskan, internet menjadi ruang kontestasi. Internet menghadirkan demokrasi digital yang memungkinkan kebebasan, sebaliknya jika dikuasai rezim yang totaliter seperti Cina, bisa menjadi digital otoritarianism.
Damar yang membawakan materi diskusi berjudul Sensor Ada & Berlipat Ganda menunjukkan bahwa dalam konteks Indonesia ruang kontestasi di internet lebih banyak dikuasai kelompok intoleran. Negara juga mengakomodir aspirasi mereka dengan menerbitkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Traksasi Elektronik (UU ITE).
“UU ITE menyasar banyak konten seperti pornografi, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, penodaan agama, dan pengancaman,” urainya. Sehingga di era digital aturan ini dalam penerapannya mengebiri demokrasi itu sendiri.
Korban UU ITE pun tidak sedikit dan dari berbagai kalangan. Sebagian besar adalah kelompok rentan.
“Sejak diberlakukan, dari tahun 2008 sampai September 2016, terdapat 200 netizen yang dijerat UU ITE,” ungkap Damar mengacu pada data pemantauan SAFENET. Hasil pemantauan ini melaporkan juga bahwa terdapat kecenderungan yang berlipat sejak 2008 – 2015 jumlah warga negara yang dikriminalisasi.
Oleh sebab itulah pria yang juga pernah diadukan ke polisi ini, karena salah satu tulisannya di dunia maya, menunjukkan kepada peserta diskusi dan publik secara luas bahwa lewat aturan ini jurnalis pun menjadi target kriminalisasi. Kasus ini menimpa Pemimpin Redaksi media online Nias Bangkit Donny Iswandono lantaran pemberitaannya yang mengkritik penguasa. Ia dilaporkan ke polisi karena artikelnya, “Segera! Periksa,Tangkap dan Adili Bupati Nias Selatan” (2013).
Kendati demikian, Damar yang tahun ini bersama beberapa aktivis menginisiasi – sekaligus juga didapuk menjadi pemuka – Gema Demokrasi, sebuah gerakan nasional yang berupa jaringan aktivis dan lembaga yang memperjuangkan hak-hak dan kebebasan berkumpul, beropini dan berekspresi, menggarisbawahi bahwa fakta yang dipaparkan dalam presentasinya bukan diniatkan untuk menciptakan pesimisme. Sebaliknya, ia ingin menggugah banyak pihak menjadi lebih sadar untuk melawan sensor, terlebih yang wujudnya kriminalisasi dan represi oleh aparat.
Maka dari itulah, sambung Damar, tidak ada cara lain: harus melawan ketidakadilan (intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok rentan), dengan memaksimalkan ruang digital dengan memproduksi secara demonstratif gagasan progresif dan kritik yang disertai dengan data-data dan fakta. Sedangkan ruang-ruang non-digital diisi dengan membangun jaringan yang solid, termasuk bersinergi dengan Tim Pembela Kebebasan Berekspresi, sebuah wadah para advokat dari berbagai wilayah yang 18 September lalu dideklarasikan.
“Jangan takut! Kita harus saling bekerjasama merebut ruang-ruang digital maupun non-digital dengan lebih berani!” tandasnya. (Thowik SEJUK)
journalist, momsky, writer, bathroom singer, traveler.
0 Pengikut
Sebanyak Rp451,98 Miliar Dana Repatriasi Warga Kalbar
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBAlumni YSEALI Gelar Green Amplifier Camp
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler