x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Berharap dari Keajaiban Sastra

Ada banyak jalan menuju perbaikan kesehatan mental, lewat doa, meditasi, dan perenungan, tapi bisa pula dibantu puisi dan novel.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Dapatkah syair Umar Khayyam membantumu mengatasi kesedihan? Sanggupkah drama King Lear membangkitkan kembali semangat hidupmu yang pudar lantaran terjebak dalam demensia? Mampukah novel lainnya memberi penghiburan yang membuatmu melihat kembali adanya cahaya di ujung lorong yang gelap?

Sastra dipercaya oleh sebagian orang dapat berkontribusi dalam memperbaiki dan meningkatkan kesehatan mental. Seperti ditulis Samuel Johnson, penulis abad ke-18 yang pernah menderita depresi berat: “Satu-satunya tujuan menulis ialah memungkinkan pembacanya menikmati hidup dengan lebih baik atau bertahan hidup dengan lebih baik.”

Beberapa pengajar telah menarik karya-karya sastra ke ruang-ruang pengajaran manajemen dan kepemimpinan. Peserta ajar diajak memahami hidup melalui karya fiksi, membaca pikiran dan suasana hati karakter-karakter di dalam novel, melatih kemampuan adaptasi terhadap perubahan lingkungan yang tiba-tiba, dan mengasah kepekaan terhadap apa yang dirasakan orang lain. Inilah bagian dari belajar soft skill yang sangat dibutuhkan bagi siapapun yang terjun dalam bisnis, manajemen, maupun jadi pemimpin masyarakat.

Kini, sejumlah pengajar di University of Warwick, Inggris, mengajak siapa saja yang ingin bergabung dalam program ‘Literature and Mental Health: Reading for Wellbeing’ di situs FutureLearn ini. Gratis. Online. Beberapa penyair, penulis, serta aktor terlibat dalam program ini sebagai fasilitator. Ada Stephen Fry, Ian McKellen, Melvyn Bragg, Mark Haddon (The Curious Incident of the Dog in the Night Time), Ben Okri (The Famished Road), Rachel Kelly (Black Rainbow), serta beberapa nama lain.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Para penulis dan aktor ini akan mengajak peserta mendiskusikan karya mereka, juga karya-karya klasik Jane Austen dan William Shakespeare. Stephen Fry akan membahas kesenangan dalam membaca puisi dan bagaimana puisi telah membantunya melewati masa-masa sulit dalam kehidupannya. Penyair dan novelis kelahiran Nigeria, Ben Okri, akan mengajak peserta mengenali karakter-karakter dalam novelnya maupun kata-kata dalam puisinya.

Program ini akan memberi manfaat bukan hanya bagi peserta tapi juga mereka yang nanti dapat memetik pelajaran dari kajian yang dilakukan sejumlah dokter, yang merancang dan mengikuti kelangsungan program ini. Mereka membagi program ini ke dalam 6 tema yang menarik, sebagai pengetahuan maupun sebagai jalan penyembuhan.

Pertama, stres. Dalam puisi, kata ‘stres’ merujuk kepada penekanan bunyi tertentu dalam baris-baris puisi. Bagaimana pilihan kata, diksi, bunyi membantu kita mengatasi tekanan mental dan emosional?

Kedua, kemasgulan, patah hati. Apakah kemasgulan merupakan kondisi medis? Apa yang dapat diajarkan oleh soneta Phillip Sidney dan Sense and Sensibility-nya Austen kepada kita perihal penderitaan dan pemulihan dari kesedihan hati?

Ketiga, duka cita. Psikolog Elisabeth Kübler-Ross mashur dengan gagasannya tentang lima jenjang kesedihan. Bagaimana Hamlet-nya Shakespeare dan puisi-puisi Wordsworth dan Hardy membantu kita berpikir berbeda mengenai bagaimana kita berduka?

Keempat, trauma. Post-traumatic stress disorder (PTSD) atau shellshock—gangguan psikologis karena ekspose berkepanjangan dengan situasi pertempuran—telah lama dikaitkan dengan pengalaman-pengalaman traumatik tentara yang terjun dalam Perang Dunia 1. Bagaimana kondisi ini dilukiskan dalam puisi pada masa itu? Apakah puisi dan drama menawarkan wawasan ke dalam sumber-sumber lain trauma, termasuk keguguran kandungan dan korban penyerangan?

Kelima, depresi dan bipolar. Dalam memoarnya, Black Rainbow, penulis Rachel Kelly mencantumkan subjudul ‘bagaimana kata-kata menyembuhkan diriku—perjanalanku melewati depresi’. Apa yang dapat kita pelajari dari sastra mengenai tautan antara bipolar disorder dan kreativitas?

Keenam, penuaan dan demensia. King Lear, karya mashur Shakespeare, merupakan salah satu kajian hebat mengenai penuaan. Apakah membaca naskah drama ini dapat membantu kita memahami demensia dengan lebih baik? Mengapa para penderita kehilangan ingatan yang terkait dengan usia masih mampu mengingat kembali puisi-puisi yang pernah mereka pelajari ‘dengan hati’?

Selalu ada jalan untuk belajar tentang kebaikan. ** (Sumber foto ilustrasi: pementasan King Lear/gaietyschoolofacting.wordpress.com)

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu