x

Tabel Deklarasi amnesti pajak sejumlah negara. (CITA)

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Amnesti Pajak, Kepercayaan, Rasa Aman~Heru Narwanta

Peran Presiden Joko Widodo dalam membangun kepercayaan publik terhadap program amnesti pajak sangat sentral.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Heru Narwanta

Bekerja di Direktorat Jenderal Pajak

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di sebuah negara, sekitar 366 ribu orang datang berduyun-duyun dan masing-masing menyerahkan mobil baru seharga Rp 265 juta kepada negaranya. Itulah gambaran capaian periode pertama program amnesti pajak di Indonesia tahun 2016. Hingga 30 September 2016, jumlah uang tebusan amesti pajak mencapai Rp 97,2 triliun dari 366.768 wajib. Sebuah angka yang besar. Bandingkan dengan pendapatan per kapita penduduk Indonesia, yang saat ini masih berkisar Rp 44 juta per tahun.

Angka itu fenomenal, bukan hanya dari besarannya, tapi juga prosesnya. Masyarakat menyetor uang ke negara bukan karena ada tagihan atau paksaan dari kantor pajak, melainkan sukarela menurut hitungan masing-masing. Tulisan ini mencoba mengamati perilaku wajib pajak dalam merespons program amnesti pajak.

Mengapa masyarakat antusias merespons program ini? Ada sederet jawaban atas pertanyaan ini. Salah satunya: kepercayaan. Peran Presiden Joko Widodo dalam membangun kepercayaan publik terhadap program amnesti pajak sangat sentral. Presiden turun langsung bukan hanya pada saat pencanangan program, tetapi juga dalam sosialisasi di berbagai tempat dan daerah bersama Menteri Keuangan dan Direktur Jenderal Pajak. Keberadaan pimpinan dari berbagai unsur-DPR, Kejaksaan Agung, Polri, KPK, PPATK, BI, OJK, dan para menteri-dalam beberapa acara yang berkaitan dengan amnesti pajak bersama Presiden memberi sinyal kepada masyarakat tentang dukungan semua pihak terhadap program ini.

Pada saat yang sama, negara juga menawarkan kepercayaan yang begitu besar kepada masyarakat. Masyarakat diberi kebebasan untuk memilih: mengikuti amnesti pajak atau tidak. Masyarakat dipercaya mengungkap harta apa, mana saja, dan menentukan berapa nilai wajarnya secara sepihak. Direktorat Jenderal Pajak wajib menerima tanpa koreksi. Sekali lagi: tanpa koreksi.

Apa yang kemudian terjadi? Alih-alih memanfaatkan kelonggaran ini secara negatif, masyarakat justru menyambutnya dengan membayar tebusan dalam jumlah yang relatif besar. Ini adalah pengalaman baru tentang perilaku wajib pajak yang selama ini jarang ditemui. Selama ini mereka cenderung enggan membayar pajak. Kasus terbunuhnya pegawai pajak oleh oknum wajib pajak beberapa waktu lalu adalah fakta betapa selama ini tidak mudah meminta wajib pajak membayar pajak.

Kepercayaan timbal balik antara masyarakat dan pemerintah boleh jadi telah menumbuhkan suasana nyaman dan rasa saling menghargai sehingga mendorong kesadaran masyarakat dalam berpajak. Jaminan bahwa tidak akan ada pemeriksaan pajak untuk tahun 2015 dan seterusnya ke belakang merupakan pertimbangan penting bagi masyarakat. Mereka rela membayar tebusan dalam jumlah besar, asalkan ada jaminan bahwa urusan pajaknya di masa lalu tidak lagi dipersoalkan. Masyarakat menginginkan kepastian. Masyarakat menginginkan rasa aman. Lega. Uang tebusan adalah harga untuk memperoleh rasa aman dari permasalahan perpajakan.

Masyarakat menyetor uang ke negara dan kemudian mendapatkan manfaat langsung. Suasana itu tidak dirasakan oleh mereka ketika melaksanakan kewajiban perpajakan selama ini.

Kesuksesan program amnesti pajak periode pertama ini membuktikan apa yang selama ini dinantikan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam meningkatkan kinerja perpajakan: dukungan nyata semua pihak. Selama tiga bulan ini nyata sekali dirasakan dukungan dari semua pihak, pemerintah, ataupun swasta di seluruh Nusantara. Jika dukungan ini diteruskan, kinerja perpajakan Indonesia ke depan akan semakin baik.

Perhatikan perilaku positif masyarakat. Mereka tetap membayar uang tebusan pada angka relatif tinggi, padahal memiliki kesempatan untuk membayar lebih rendah. Ini sebaiknya direspons Direktorat Jenderal Pajak dengan menata ulang persepsi formal petugas pajak terhadap wajib pajak.

Pelajaran berharga yang dapat dipetik adalah masyarakat rela membayar pajak dalam jumlah relatif besar asalkan mereka mendapat imbalan kepastian terbebas dari permasalahan perpajakan. Harus disadari bahwa aspek penting inilah yang justru tidak ada dalam kegiatan perpajakan selama ini.

Masyarakat yang melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) di suatu tahun baru merasa "lega" setelah lima tahun kemudian ketika masa kedaluwarsa tiba. Selama rentang lima tahun itu, dia dibayangi kekhawatiran dapat diperiksa oleh kantor pajak kapan saja. Di samping risiko timbulnya Surat Ketetapan Pajak (SKP) Kurang Bayar, persoalan menyiapkan data dan dokumen tiga-empat tahun sebelumnya untuk tim pemeriksa adalah beban dan ketidaknyamanan bagi wajib pajak.

Jika dapat dirumuskan suatu mekanisme yang memungkinkan wajib pajak segera mendapatkan kepastian (lega, terbebas dari permasalahan perpajakan) tidak lama setelah masa pelaporan SPT, boleh jadi kepatuhan perpajakan masyarakat meningkat tajam. Hal ini perlu pemikiran lebih lanjut. Pada SPT Tahunan 2016 nanti mungkin dapat dimulai dari wajib pajak yang telah mengikuti amnesti pajak karena kewajiban pajak mereka tahun 2015 ke belakang sudah dinyatakan clear.

KUTIPAN

Kepercayaan timbal balik antara masyarakat dan pemerintah boleh jadi telah menumbuhkan suasana nyaman dan rasa saling menghargai.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler