x

Sejumlah tersangka Operasi Tangkap Tangan (OTT) pungli di Kementrian Perhubungan tiba di Reskrimum Polda Metro Jaya, Jakarta, 11 Oktober 2016. Dalam OTT kasus pungli perizinan di Kemenhub tersebut, tim Khusus Ditreskrimum dan Ditreskrimsus Polda Metr

Iklan

Tasroh

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Taktik Baru Pemberantasan Pungli

Pungli juga masih meraja di bidang layanan izin mengemudi, sertifikasi tanah, kependudukan, layanan perizinan investasi/bisnis hingga izin-izin lainnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Akhirnya ‘biang kerok’ kekacauan layanan public di bidang perhubungan, 6 pegawai di Kementrian Perhubungan tertangkap tangan melakukan tindakan pungutan liar (pungli) oleh aparat Polda Metri Jaya Jakarta yang langsung mendapat respon berbagai pihak sebagai tindaka ‘cerdas’ dengan teknik baru pemberantasan pungli (Kompas, 12/10/2016). 
 
Pegawai di Kementrian Perhubungan yang terkena OTT itu langsung diperintahkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN & RB), Asman Abnur, untuk segera disanksi, dan jika perlu ‘langsung’ dipecat saja, karena bukan tidak mungkin kasus pungli ini bukan hanya sekali ini saja dilakukan, tetapi dipastikan sudah berlangsung puluhan tahun turun-temurun dari generasi ke generasi. 
 
Presiden Jokowi terlihat amat gusar, marah dan geram menyaksikan OTT di Kemenhub yang konon sudah berlangsung turun-temurun tersebut. Hal ini lantaran, tak hanya para pegawai yang konon ‘hanya’ bergolongan/pangkah IId (setaraf lulusan SMA—red) tetapi mampu menghimpun dana miliaran rupiah sebulan dari tindakan ‘pungli’, juga terbukti masih membudayanya perilaku korup dan culas di kalangan pegawai pemerintahan. Tak ayal, pungli juga kini masih merajai di bidang layanan izin mengemudi, sertifikasi tanah, kependudukan, layanan perizinan investasi/bisnis hingga izin-izin di bidang perhubungan, pertanian, peternakan dan kelautan serta bahkan pungli di layanan agama (haji), bidang pengadilan dan kepolisan ( Koran Tempo , 12/10/2016) 
 
Padahal disaat bersamaan, pemerintah melalui seruan dan peringatan Presiden Jokowi sejak awal memimpin negeri ini, revolusi mental kea rah perbaikan system dan model layanan baru yang berbebas dari KKN harus menjadi agenda utama bagi para penyelenggara Negara di setiap lini birokrasi layanan public. Hal mana lantaran layanan public di Indonesia, meskipun sudah berpuluh aturan dan regulasi terkait kemudahan, kemurahan dan kecepatan layanan public terlahir jauh sebelum Presiden Jokowi terpilih sebagai kepala Negara dan pemerintahan, faktanya tergolong yang paling rumit dalam aplikasi aksi di level birokrasi itu sendiri. 
 
Catatan Komisi Ombusmen RI (2015) tegas merekam fakta bahwa agenda revolusi mental birokrat, bahkan sudah ada ‘wadah kelembagaaanya’ melalui kebijakan dan regulasi di Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, lagi-lagi masih sebatas ‘omong doang’ (omdo) lantaran semakin banyak regulasi yang anti pungli, justru seolah hanya dijadikan ‘penyedap rasa’ para birokrat untuk kian ‘kreatif’ menciptakan celah-celah khusus dengan teknik khusus membuat pintu masuk ‘sripilan’ (meminjam istilan budayawan MH Ainun Nadjib untuk term pungutan liar—red). 
 
Di lain pihak, harus diakui, pemerintah khususnya di era Presiden Jokowi, telah banyak melakukan langkah-langkah khusus dengan teknik khusus untuk memberantas aksi pungli pada semua layanan public yang menjadi tugas pemerintah dan Negara melayani warga Negara dan kebutuhan rakyat banyak di berbagai bidang kehidupan. Namun nampaknya, apa yang sedang dan akan dilakukan pemerintah melalui berbagai regulasi anti pungli layanan public serta peraturan kedisiplinan dan anti KKN khusus untuk para birokrat yang bekerja dan hidup dari layanan public, masih butuh ‘taktik’ baru yang lebih transformative dan tuntas sehingga ke depan aksi-aksi dan berbagai model pungutan yang illegal dan liar dalam semua layanan public di negeri dapat sesuai dengan cita-cita dan agenda pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Pertanyaannya apa teknik baru pemberantasan pungli itu, bagaimana semestinya agenda pemberantasan pungli berjalan luas, tepat, cepat dan tuntas? 
 
 
Butuh Taktik Baru 
 
Menangkap apalagi memberantas pungli secara luas, tepat, cepat dan tuntas sebenarnya mudah dan sederhana, bukan rumit apalagi mustahil seperti yang selama ini diperdebatkan. Pelajaran dari pemerintah Jepang tahun 1980an, ketika Pemerintah Jepang dipimpin oleh PM Yasuhiro Nakasone (1981), bisa menjadi inspirasi pemerintah RI melalui Kementrian PAN dan RB dengan kolaborasi lintas kementrian/lembaga/pemda untuk bergegas melakukan aksi pemberantasan pungli. 
 
Ketika itu, PM Yasuhiro Nakasone, memimpin langsung pembentukan ‘pasukan khusus’ pemberantasan pungutan liar dan illegal ( illegal and rent operation ) dengan teknik baru, yang selama itu belum pernah diterapkan yakni model ‘detektif swasta’ yang merupakan tim dengan personel gabungan dibawah komando langsung perdana menteri dan kementrian terkait. 
 
Pemerintah Jepang sadar bahwa untuk membangun negeri Jepang agar bisa bersaing kuat di berbagai level kompetisi global diperlukan sumber daya aparatur Negara dan pemerintahan yang bersih dan berwibawa serta bekerja professional, anti KKN, khususnya di semua jenjang layanan publik. Diakui, bahwa layanan public yang merupakan salah satu tugas dan fungsi Negara yang ‘wajib’ untuk melayani kebutuhan dan harapan rakyat/public disamping harus digratiskan, juga harus terbebas dari aksi-aksi illegal dan liar, termasuk aneka jenis dan bentuk pungutan di luar aturan. 
 
Sayangnya, hampir semua rezim yang terus berganti secara periodic, aksi pungli layanan publik tak pernah berhenti apalagi lenyap dari layanan public. Setelah diselidiki seksama, ternyata, tim PM Jepang ( Naikaku Souri Daijin ) menemukan fakta bahwa semua aksi itu meskipun banyak dikecam sebagai ‘sumber pungli’, ternyata justru bukanlah pungli sebenarnya, lantaran aneka pungutan oleh birokrat di layanan public itu justru dipayungi oleh regulasi Negara itu sendiri. Misalnya, untuk mengurus izin-izin usaha tertentu, pemerintah menarik dana warga Negara/dunia usaha untuk membayar pajak dan retribusi dan pungutan lainnya. Pun demikian dalam hampir semua layanan public menjadi keniscayaan untuk membudayakan aneka pungutan yang konon semua sudah terbuka, diketahui oleh para pemohon/rakyat serta secara demokratis dinegosiasikan. 
 
Belajar dari kasus Jepang itu, terdapat kemiripan aneka pungli di Indonesia. Menurut pakar birokrasi dari Unibraw, Irfan Islamy (alm), di Indonesia sebenarnya tidak tepat disebut ‘pungutan liar’ karena jika liar tentu tak berlangsung lama dan disepakati semua pihak. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa watak dan budaya laku layanan public pada masyarakat kita cenderung menyuaki ‘jalan pintas’ yang aman dan cepat, soal harga biasanya bisa dinegosiasi. Kebiasaan ini dimanfaatkan oleh oknum birokrat yang memiliki kuasa menjalankan aksi pungutan layanan public untuk ‘berbisnis’ (yang sering disebutnya sebagai ‘sripilan’—red) dengan berbagai dalih, antara lain untuk ‘biaya lelah’, uang jajan, uang rokok dan bakso’. 
 
Kebiasaan itu berkembang dinamis dan bahkan banyak di lembaga publik dijadikan ‘sumber penghasilan’ di luar pendapatan sebagai pegawai pemerintah. Di beberapa layanan public, seperti layanan Pertanahan, Perhubungan, Pajak dan Retribusi serta Layanan Usaha/investasi, bahkan pemerintah (daerah) memasang target Pendapatan Daerah dari bisnis aneka perizinan tersebut. Hal ini diperkuat dengan lahirnya regulasi Negara untuk ‘legalisasi’ aneka pungutan resmi dan biasanya diluar yang resmi selama proses perizinan, regulator membuat aturan ‘khusus’ untuk melanggengkan adanya ‘pungli’ dimaksud. Dengan ‘taktik khusus’ itu pula, berbagai regulasi legalisasi pungutan diciptakan mulai dari pusat hingga daerah. 
 
Maka merespon budaya pungli yang terstruktur dengan basis regulasi Negara itu, memberantas aksi pungli harus dengan taktik baru pertama , yakni berangkat dari hulunya secara tuntas melalui reformasi aturan hukum dan regulasi Keterbukaan Layanan Publik, reformasi regulasi pemerintah (Peraturan Pemerintah) terkait larangan sanksi hukum pungli bagi aparatur Negara/pemerintah dan reformasi regulasi birokrasi. UU No. 14 tentang Keterbukaan Informasi Publik, PP No. 61/2010 tentang Anti Pungli dan PP Np.54/2010 tentang Disiplin PNS harus diperbaharui, karena dalam regulasi tersebut tak hanya tumpang tindih dalam aksi penegakan hukumnya, juga terlalu ‘longgar’ sanski dan penegakkan hukum di mata birokrat layanan publik. Di sisi lain, kinerja Komisi Ombusman yang ditujukan untuk memperbaiki layanan public, belum juga menyaras menjadi ‘tim pasukan khusus’ pemberantan pungli, sehingga pungli kian marak dan sistemik dimana-mana. Kebijakan deregulasi yang menjadi paket kebijakan ekonomi ke-13 Pemerintah, semestinya juga menyasar ke aspek penegakkan hukum di bidang revolusi mental birokrasi agar anti pungli. 
 
Kedua, pembentukan tim operasi pungli secara nasional hingga daerah yang bertugas rutin blusukan secara tertib dan tuntas. Tim operasi harus diberi ‘diskresi’ dengan taktik baru karena tanpa taktik baru mustahil bisa mengendus aksi pungli. Divisi inspektorat jenderal di kementrian atau direktur/deputi pengawasan aksi birokrat serta keterlibatan aparat hukum (Polri, KPK, BPKP) di pusat hingga inspektorat daerah di tiap daerah harus pula diberi mandate khusus aksi operasi pungli dengan parameter laporan yang jelas dan tuntas. Taktik baru diperlukan karena para actor dan oknum pungli di layanan public juga menggunakan taktik jitu mengelabuhi warga dengan membisniskan layanan public dengan harga ‘sama-sam tahu’ yang jika dibiarkan tak hanya merusak citra dan kredibiltas pemerintah/Negara itu sendiri, tetapi juga merugikan keuangan Negara serta merepotkan upaya warga Negara dalam berbagai urusan. 
 
Karena diakui, dikala para actor/oknum pungli kian lincah mengembangkan jejaring ‘pasar’ dengan taktik khusus, aparat penegak disiplin PNS justru tak banyak melakukan inovasi taktik sehingga sering berakhir dengan simpulan penindakan: tak ada pungli, semua pungutan resmi dan sah. Maka punglipun bergelayut menjadi pengres (pungutan resmi) yang kian menyengsarakan rakyat banyak!**
 
Tasroh, S.S..MPA.,MSc
PNS Di Pemkab Banyumas
Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan

Ikuti tulisan menarik Tasroh lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan