Membaca segerbong sajak yang terwakili satu judul dengan nama penulis terbanyak dari Indonesia seakan melahap gado-gado dengan berbagai sayuran dan rasa pedas- asam-manis dengan selip-sisipan beberapa karya Malaysia, Singapura, Brunei, Hongkong, Taiwan dan Thailand. Maka berasa citarasa menikmati status Facebook yang berseliweran dengan kandungan imaji yang puitis ataupun berkisah. Kemudian teori satra yang diperlukan menguap (usai baca catatan tentang kritik sastra tulisan Subagio Sastrowardoyo dalam buku Menjelang Teori Kritik Susastra Indonesia yang Relevan, Edisi Revisi, 2013. Bandung: Penerbit Angkasa) ke sela-sela kotak komentar yang dengan rasa bangga menilik keberagaman wacana yang ditawarkan tanpa batasan tema bahkan saling meretas bebatas yang memang sudah terbebas saat menuliskan nama pengenal atu pelanggan sebagai pemilik alamat surat elektronik atau e-mail.
Beberapa nama pena memang lazim berenang berselancar di dunia maya yang sudah meretas batas geografi yang maya bahkan penulis yang berlatar kademis puncak pun takmenyia-siakan peristiwa berkumpul dalam antologi karya. Tetapi kembali ke makna sejudul karya saja takmampu memantulkan keperkasaan penyair atau penyajak dalam olah-krida kreatifnya. Bahkan kalau dikatakan pengarang telah mati dan tinggal hadapi karya itu sebagai sosok pun tak luput kesan seliweran status dan nama e-mail beberapa penulis menyeret pada perhatian yang berlebih. Maka nama Dimas terjaring dan tak luput direnggut dengan semena-mena tanpa menoleh ulang.
Dimas Arika Mihardja, Indonesia
Sajak Ibu Pertiwi
“kulihat ibu pertiwi
sedang berduka hati ….”
dadanya diguncang gempa
hatinya dilanda tsunami
“kulihat ibu pertiwi
sedang berduka hati ….
gempaNya mengguncang dada
tsunamiNya melanda hati
“kulihat ibu pertiwi
sedang berduka hati ….”
dada gempaNya mengguncang sesiapa
hati tsunamiNya melanda apa saja
“kulihat ibu pertiwi
sedang berduka hati ….”
Indonesia bau, begitu kita berseru
Indonesia baru, berseteru melulu
“kulihat ibu pertiwi
sedang berduka hati …. “
bau Indonesia berseruseru
baru Indonesia begitu sendu
“kulihat ibu pertiwi
Sedang berduka hati …. “
Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 2005
Dimas Indiana Senja, Indonesia
Sajak satire terkelupas dari larik-larik yang padat Dimas Arika Mihardja. Satire yang ditawarkan Dimas Arika Mihardja memang meledak dalam dada masing-masing. Takheran kebebasan tema antologi puisi ini tetap saja akan mengerucutkan pesan pada hal yang disesaki dalam dada batin masing-masing.
Untuk penulis dari Malaysia tentu saja tak banyak rujukan yang tercatat di dinding Facebook pribadi tetapi dengan rasa gado-gado yang teracak terjaringlah puisi yang mirip gaya ungkap Dimas Arika Mihardja dengan staccatodiksi yang lincah.
Che Fauziah binti Idrus, Malaysia
TIADA LAGI PERSINGGAHAN
Tegar di ranting
sarang masih utuh
meski sedikit carik
usang menyimpan rahsia.
Janganlah camar
mengoyak luka
tampalan robek
reput menanti masa
andai paruhmu meragut
kasar menyusut.
Jika sarangmu gugur
tiada lagi persinggahan
terbanglah ke saujana pandang
mencari di hujung padang.
Kuala Kurau, Perak
27 Mei 2013
Dengan teraan kata binti tentu penyair ini berkelamin wanita dan terasa kelembutan ungkapan sejak pada tajuknya. Permainan diksi yang sangat purna dan taktercoret dalam imaji penutur bahasa Indonesia sungguh memperkaya wawasan dan membuka cakrawala makna yang dulu sama Sutardji Coulzum Bachri dibebaskan dalam kredo. Permainan rima dan aliterasi yang cantik seakan tarian penari tradisional yang mengulas-mengoles gerakan lingkar bersijingkat tanpa kesan terburu-buru. Takheran di masa datang Lentera Sastra akan menjadi incaran tanda kebersamaan yang membongkar batas-batas budaya dan geografi maupun ideology.
Giliran penulis Singapura layak disodorkan dengan cara acak yang lebih terbatas karena perwakilannya yang tak melimpah.
Rohani Din, Singapura
RUMAHMU RUMAHKU
Gah berdiri
Pasak di bumi
Kelambu menutupi
Hiasan bait-bait ayat suci
Disulam berseri
Benang emas berkati-kati
Biar pintu rumahMu dikunci
Setiap saat tetap dikunjungi
Bagai semut mengeruni
Tumpahan gula berkati-kati.
Munajat sesungguh hati
Mohon berkati usia dan rezeki
Dipanjangi jodoh dan silaturrahmi
Pertingkat amalan kentak imani.
Bumbung langit lapang
Panas terik tetapi tak berbahang
Ke wajah rumahMu dipandang
Mengharap hajat tidak kecundang.
Kelambu berganti Kaabah sekeliling dicuci
Ketika jemaah di Arafah berwukuf sehari
Masih mohon keampunan dan amalan diberkati.
6/10/13 TPY
Kembali gaya puisi staccato lebih terpilih bagi penyair yang sarat renungan yang membicarakan rumah yang bermakna apa saja, boleh keluarga boleh tempat singgah ataupun kepercayaan yang dipeluknya dengan pasrah. Permainan bunyi [i] menjadikan nafas puisi terasa cerah riang gembira. Ternyata penyair menemukan kepasrahan yang tandas hingga:
Munajat sesungguh hati
Mohon berkati usia dan rezeki
Dipanjangi jodoh dan silaturrahmi
Pertingkat amalan kentak imani.
Pilihan berikut sampai pada beberapa penulis dalam sebaran yang makin mengerucut jadi satu seperti Brunei:
Abdullah Tahir, Brunei
PusakaJerih Perih
lahan itu kami tinggalkan bersama hati
bersalut senja merah yang kental
terpacak menusuk bumi yang bernama setia
tak pernah kelabu sejak memakan waktu
subur bersama derai air mata dan keringat
membongkar denai-denai sukar
bersama temulang yang ngilunya
membungkus jantung merah
tanda lahan itu telah lahir bersama
tangisan dan darah membasah tanah
di mana kami tanamkan hidup sejati
berpimpin tangan tanda kekuatan
bagi menegakkan pusaka jerih perih
oleh tangan-tangan pemula
dan kamilah yang mengakhirinya
dengan tentangan dan cabaran
demi sebuah kedaulatan
tak akan ada garis pemisah
bernama batu sempadan
dan bumi ini adalah kedaulatan kami
Abdullah Tahir : 25 Disember 2011
Kembali bagi pembaca dari Indonesia disuguhkan diksi-diksi yang mungkin agak sungsang dan terngiang jarang bahkan seperti kredo Sutardji CB yang terasa kata itu hadir dengan maknanya pribadi. Walau begitu terasa sedu-sedan Chairil Anwar yang tersisa saat meneriakkan’ aku binatang jalang dari kumpulan terbuang dan ingin hidup seribu tahun lagi;.Jerit luka Rendra juga terasa pada baris-baris yang menggumpal satu dalam sajak Abdullah Tahir. Maka ada bisikan lirih bagi editor atau penyunting antologi ini untuk mendata daftar kata yang akan sangat bermakna tidak sekedar sebagai senarai atau glossary.
Nama Taiwan sebagai catatan alamat ternyata menyodorkan nama dengan aroma Indonesia begitulah wacana puisi berikut:
Aini Sekar Arum, Taiwan
RELUNG RINDU
ragukah yang terhampar di sisi sunyi
menyelinap di hati mencumbu waktu
gaungkan rasa entah terpatri erat pada asmara
saat janji dua sejoli berikrar semati
tersimpan dalam relung hati hakiki
tak perduli tetap enggan beranjak pergi
walau diluar hujan menari enggan berhenti
ragukah yang terhampar ini kekasih
kini mimpi berputik doa berbunga pinta
tentang terang yang cerlang gemilang
saat pelangi tersenyum menyapa mewarni
kembali alam sunyi dendangkan sepi
tersudut doa jernihkan prasangka
satukan mimpimimpi di pucuk kalbu
memeluk erat dalam diam sang rindu
Taiwan, 10. 01. 2014 @ASA
Gaya sajak atau syair purba memang mencirikan secara umum sebagai puisi yang beberapa saat lalu terdedah sebuah genre puisi esai, jelas puisi model syair begini tak melingkup pada garapan sajak-sajak esai karena tanpa catatan kaki atau referensi.
Sajak ini memang berbicara pada diri di cermin dan tak menyertakan orang luar masuk ke ranahnya. Simak sajak baris liris yang sendu meragu berikut:
ragukah yang terhampar ini kekasih
kini mimpi berputik doa berbunga pinta
tentang terang yang cerlang gemilang
saat pelangi tersenyum menyapa mewarni
Dari gudang pengumpul devisa bagi negeri ini adalah Hongkong terwakili oleh nama pena yang terasa kental warna Jawanya, bahkan judulnya sudah menyaran pada kosa kata dan ejaan diksi Bahasa Jawa.
Lintang Panjer Sore, Hongkong
Kopyah Baru
Hari ini Emak ke pasar
membeli kopyah seharga keringat Bapak
sebagai hadiah kelulusan sekolah
yang tak pernah aku suka
ketika guru sekolah berkopyah berceramah tentang sejarah bangsa
katanya, bangsa ini telah bebas penjajah dari luar
terlihat makmur dari luar
kaya raya dari luar
tapi terkepung musuh dalam tubuh
bikin pemimpin bangsa sering mengaduh
Kopyah pembelian ibu memang bagus
berhiaskan sulaman benang emas buatan
mirip pagar sekolah yang baru didirikan
hasil sumbangan tukang potong rumput
kata tukang kebun
“jika sekolahan tidak diberi pagar
maka anak didik akan liar memakan sekolah luar”
aku jadi teringat dengan poto seorang bapak berkopyah
terbaca namanya, “Sukarno Hatta presiden negara”
menurut teriakkan guru berkopyah
“Sukarno adalah sosok pemimpin yang patut kita banggakan
membawa rakyat menuju satu rumah kemerdekaan
hingga detik ini”
ah, kadang aku ingin menyahut teriaknya
“bagaimana untuk detik berikutnya”
Setahun sudah kopyah baru lekat di kepalaku
guru berkopyah tak lagi mengajar sejarah
kini sejarah lelaki berkopyah mengajariku
tentang bangsa yang berjalan mundur
terus bertempur
bila tak ingin hancur
HVHK2303012
Tak dinyana sajak ini cukup garang dengan tusukan-tusukan protes yang kental karena pengalaman pribadi yang meluruh lengkap erat di jejak bayang-bayang kilatan imaji. Simak kuncian sajaknya yang begitu tegas beringas dan cerdas, sehingga taksangka kalau warna Jawa dapat meradang-terjang:
Setahun sudah kopyah baru lekat di kepalaku
guru berkopyah tak lagi mengajar sejarah
kini sejarah lelaki berkopyah mengajariku
tentang bangsa yang berjalan mundur
terus bertempur
bila tak ingin hancur
Di sini kehebatan antologi yang tanpa tema seragam sehingga asam-pedas-manis seperti rujak di siang bolong menyegarkan kepenatan dan mengusir kantuk kebimbangan. Hongkong wilayah yang menyimpan mesiu perlawan budaya karena sikap keterbukaan induk semang yang memberikan harga resmi libur sehari pada pekerja yang tak sekedar dianggap babu.(Maaf saya menggunakan diksi yang mungkin menyakitkan!)
Selaras dengan garis batas budaya serumpun, Thailand dapat dijadikan penutup salam Nusantara, walau sudah sejak lama persamaan budaya atas dasar kepercayaan agama menyerupa di wilayah yang sekarang lebih dipenuhi dengan ikon dan penanda budaya Islam maupun Kristen. Sisa peradabaann yang terukir pada peninggalan rumah ibadat atau candi kentara bahwa pada zamannya kepercayaan itu sungguh merasuk pada sanubari warga bangsa Nusantara.Mahroso Doloh, Thailand
Darah Membasah Bumi Fathon
-25 Oktober di Tak Bai,
Narathiwat Thailand Selatan.
mata hari dua puluh liama oktober
kembali membawa gerimis anakanak melayu
ketika sansurya kemerdekaan
berkumpul memeriksa keadaan
bertumpuk mencari keadilan
yang telah hanyut tergelam di tangan-tangan penjajah
lalu ada yang bertanya :
apakah maksud kemakmuran saudara?
apakah arti peace di sisi saudara?
oh… anak melayu semua bersaksi
ada yang jaya ada yang dihina
ada yang bersenjata, ada yang berluka
ada yang menginjak ada yang diinjak
ada yang diskotek ada yang dipenjara
saudara berkata :
kami punya maksud baik buat anda
lalu ada yang bertanya :
apakah darah merah membasah bumi
berlapis-lapisan tanah di atas truk itu
melempar-lempar macam binatang ternak
apakah itu maksud baik saudara?
kenapa maksud baik dilakukan
tetapi makin tambah anak-anak kehilangan ayah
anak-anak tidak berpendidikan yang merata
kaum Adam diternakan di rumah-rumah besi hitam itu
kaum Hawa diperkosa oleh kaki tangan pemerintah
kenapa bisa terjadi dengan meksud baik saudara?
ayo, sansurya sebangsa dan setanah air
saat ini kita masih terperangkat lingkaran penjajah
kesedihan, ketidak pendulian, anak-anak kosong pendidikan
ayo, sansurya yang tidak mau lagi dijajah
gerimis dua puluh lima Oktober sudah berulang kali
kini sudah saatnya Revolusi kebangsaan!!!
mari kita berjanji!!
aku warga negara Fathoni Darus Salam
ku tumpahkan darahku, badanku dan hatiku
bertahan melawan keadilan di bumi tercinta
belajar bersungguh-sungguh
membukakan mata dan tidak mendiam lagi
untuk tidak tersesat oleh tipu-tipuan pengganas
yang menari-nari depan juri sendiri
gunakan semua kekuatan otak dan
semua kekuatan fisik kembalikan kemerdekaan
menjadi pabrik-pabrik sansurya yang cemerlang
sansurya menyambungkan perjuangan dan menghapuskan penindasan
yang akan mewarnakan serambi mekah
yang bertatih-tatih dengan Kitab dan Sunnah
demi masa depan Fathoni Darus Salam
yang bahagia dan sejahtera
Purwokerto Indonesia, 25 Oktober 2013
Sajak ini jadi gemerlap memuisi dengan beberapa keberanian setingkat Chairil Anwar mendedahkan wacana kata yang terasa membahana. Simak kata-kata berikut: sansurya kemerdekaan, hanyut tergelam, kaum Adam diternakan di rumah-rumah besi hitam itu, dengan meksud baik saudara, terperangkat lingkaran penjajah, anak-anak kosong pendidikan, Revolusi kebangsaan, tidak mendiam lagi, tidak tersesat oleh tipu-tipuan pengganas, menari-nari depan juri sendiri, pabrik-pabrik sansurya yang cemerlang serta sansurya menyambungkan perjuangan dan menghapuskan penindasan.
Keberanian Mahroso Doloh menggunnakan diksi sungsang tapi meradang menjadikan sajak bernuansa protes ini makin memikat, boleh jadi ini titisan Chairil Anwar kelahiran Thailand.
Bagi nama-nama Indonesia yang tercatat cukup lazim berselancar maupun penggagas kegiatan penerbitan buku (seperti Muhammad Lefand,Jay Wijayanti, Helin Soepentul ,Gampang Prawoto, Daladi Ahmad, Ayu Cipta, dan Sri Wintala Achmad untuk menyebut beberapa nama) mohon maaf tak ada niatan menyisihkan pada daftar isi saja tetapi pada lapak lain akan dicoba untuk membahasnya dengan lintasan referensi yang lebih memadai dan tak terbatas tenggat yang mengejar waktu penerbitan.
Salam Nusantara!
Bogor, 21 April 2014
Ikuti tulisan menarik Lentera Sastra lainnya di sini.