x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menimbang Buku

Makna sebuah buku berpulang kepada pembacanya: ia yang membaca, ia yang memaknai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

“Marilah kita ingat: Satu buku, satu pena, satu anak, dan satu guru dapat mengubah dunia.”

--Malala Yousafzal

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pepatah lama berbunyi: “Jangan menilai buku dari sampulnya.” Jika bukan dari sampulnya, lantas apa yang digunakan untuk menimbang sebuah buku? Kemashuran penulisnya, ketebalan halamannya, kerumitan materinya, kecanggihan ekspresi tulisannya, atau kejernihan pengungkapannya? Ataukah semua itu?

Dengan melihat judul, penulis, atau desain sampulnya saja, orang mungkin saja berharap memperoleh buku yang menyenangkan untuk dibaca. Tapi menyenangkan itu relatif, setiap orang barangkali punya ukuran yang berbeda-beda. Lantaran itu, diperlukan cara lain yang cukup obyektif untuk menimbang sebuah buku. Misalnya, dari pokok pikirannya, orisinalitas gagasannya, kedalaman risetnya, keluasan referensinya, cara penyajiannya, keutuhannya sebagai buku, hingga kualitas desain, tata letak, dan cetaknya. Bahkan, juga ejaannya dan apakah banyak salah ketik—yang menandakan ketidakrapian editornya.

Boleh dibilang, sebuah buku (non-fiksi) adalah paparan panjang untuk menopang tesis yang diajukan penulis, sebagai argumen panjang untuk meyakinkan pembaca perihal sebuah gagasan. Dalam karyanya, Capital In the Twenty-First Century, ekonom Prancis Thomas Piketty mengusung tesis baru bahwa ‘kesenjangan ekonomi yang semakin lebar merupakan buah kontradiksi inti kapitalisme yang bersifat logis dan fundamental’. Untuk mempertahankan tesisnya ini, Piketty menulis Capital hingga setebal hampir 700 halaman. Bila tidak menarik, banyak orang akan berhenti membaca di tengah jalan; begitu pula, bila pembacanya tidak punya daya tahan yang memadai.

Gagasan bagus juga bisa kandas lantaran penyajian yang membingungkan, alih-alih menguarkan aura yang mendongkrak semangat. Pembaca mungkin menemui kesulitan memahami uraian penulis karena penyajiannya tidak runtut, melompat-lompat, berulang, dan tumpang tindih. Pembaca kerap menuntut kejernihan penjelasan, khususnya untuk topik-topik yang rumit, dan kejernihan itu antara lain diwujudkan dalam keruntutan pikiran. Penyunting naskah berperan besar dalam ‘meluruskan’ tulisan dengan kategori serupa itu.

 Bukan tidak mungkin gagasan pokok tidak tereksplorasi dengan baik, sehingga banyak hal penting dari ide itu yang luput disajikan. Ketergesaan dalam menyelesaikan naskah kerap menjadi faktor yang menyebabkan butir-butir penting tidak tertampung, bukan karena keterbatasan jumlah halaman. Lubang-lubang dalam eksplorasi yang terburu-buru karena ‘kejar terbit’ menyebabkan argumen yang terbangun tidak cukup kukuh untuk menopang gagasan yang ditawarkan penulis.

Bahasa pengungkapan menjadi unsur penting lain, dalam hal tertentu bahkan sangat membantu menyegarkan ide yang rumit atau menyulap gagasan sederhana menjadi narasi yang mengasyikkan untuk dibaca. Tantangan yang dihadapi penulis ialah ‘menjadikan gagasan yang rumit mudah dimengerti’ sehingga sebuah buku dapat dibaca oleh semakin banyak orang. A Brief History of Time karya astrofisikawan Stephen Hawking adalah contoh yang bagus untuk buku yang membahas tema kompleks dengan cara yang relatif mudah dimengerti oleh orang awam. Ekspresi bahasa lazimnya lebih dari itu, bukan sekedar jernih untuk dibaca. Ekspresi bahasa merupakan peluang penulis untuk membangun suasana, memberi penekanan pada hal tertentu, membangkitkan minat pembacanya—sekalipun itu bukan karya fiksi.

Sudah jamak bahwa buku yang bahasanya kompleks memang membatasi jumlah pembaca yang mampu memahaminya, namun ini tidak serta merta berarti bahwa buku itu buruk. Kurang laku, mungkin, meskipun dalam sejarah penerbitan banyak buku yang rumit dan tebal ternyata laku keras, salah satu penyebabnya adalah karena banyak orang ingin memiliki dan menyimpannya, bukan untuk dibaca.

Banyak buku bagus yang hanya dapat dicerna oleh pembaca yang memang berkecimpung di dalam isu yang diangkat penulisnya. Being and Time atau Sein und Zeit dalam bahasa Jerman, karya terpenting Martin Heidegger yang sangat memengaruhi pemikiran filsafat abad ke-20, bukanlah kitab yang mudah dicerna. Naskah asli relativitas sulit dibaca oleh awam, tapi beruntung Albert Einstein menulis versi populernya dengan harapan teorinya dapat dibaca dan dipahami oleh khalayak yang lebih luas daripada komunitas ilmiah.

Menimbang salah eja, salah ketik, atau cetakan yang buram memang lebih mudah ketimbang menimbang bobot intelektual kandungannya. Pembaca buku punya penekanan masing-masing dalam menilai sebuah buku. Pengetahuan, pengalaman, latar belakang kehidupan, interaksinya dengan berbagai pemikiran, bahkan yang bersifat temporal seperti suasana hati dapat memengaruhi penilaiannya terhadap sebuah karya.

Pada akhirnya setiap pembaca menilai dari sudut pandang masing masing: apakah buku itu bermanfat, bernilai, dan memiliki arti bagi dirinya. Sebuah buku barangkali bermakna karena sanggup mencerahkan pikiran dan hati pembacanya atau membuat dirinya bangkit dari keterpurukan atau menginspirasinya untuk mulai menjalankan bisnis tertentu. Sebuah buku bisa pula berharga karena di dalamnya tersimpan ingatan dan kenangan bagi pembacanya. Satu-satunya hal terpenting dalam sebuah buku ialah maknanya bagi diri Anda, dan itu bisa saja berbeda dengan maknanya bagi pembaca lain. (Foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB