x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Napas Baru Agatha Christie

Tidak keliru Sophie Hannah dipilih untuk menulis kisah-kisah baru Hercule Poirot.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Empat puluh tahun setelah kematian Agatha Christie, Sophie Hannah diberi izin oleh pemegang hak atas karya-karya Christie untuk ‘mengenakan sepatu’ penulis kisah-kisah misteri ini. Karya pertama Hannah yang mengatasnamakan Christie, Monogram Murders, sudah terbit dua tahun lalu dan mendapat sambutan meriah dari pecinta Christie. Tahun ini, cerita kedua Hannah dengan judul Closed Casket terbit berbarengan dengan peringatan ulang tahun Christie—andaikan ia masih hidup—ke 126. Versi Indonesianya: Peti Tertutup.

Napas baru yang diembuskan Hannah ini memang sanggup mengobati kerinduan pecinta Christie akan cerita-cerita baru tentang kecerdikan Hercule Poirot dalam menyingkapkan misteri di balik peristiwa pembunuhan. Sembari menunggu cerita baru ditulis, cerita-cerita lama terus diadaptasi ke layar televisi. Di antaranya, Ordeal by Innocence, yang ditulis Christie pada 1950an. Lalu Death Comes as the End dan The ABC Murders. Tapi, yang mungkin juga sangat dinanti-nanti ialah difilmkannya kisah hidup Agatha Christie ke layar lebar. Pemerannya kalau bukan Emma Stone (The Amazing Spider-Man), ya Alicia Vikander (Jason Bourne, 2016).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sembari menanti film-film Poirot maupun kisah hidup penciptanya sampai di sini, membaca kembali kisah-kisah lama Poirot bisa lumayan menghibur. Salah satunya kisah mashur Murder on the Orient Express, yang diterbitkan di Inggris 1 Januari 1934.

Sedikit pengingat: Sekembalinya dari menangani kasus penting di Timur Tengah, Hercule Poirot menumpang kereta Orient Express di Konstantinopel. Seluruh gerbong terisi penuh. Malam itu, sekitar 20 menit menjelang pukul 1 malam, Poirot dibangunkan oleh suara derau yang keras. Sepertinya, suara itu berasal dari kompartemen sebelah yang ditempati oleh Tuan Ratchett. Ia tenang-tenang saja dan kembali tidur setelah mengetahui kondektur mengetuk kompartemen itu dan memperoleh jawaban dari dalam….…. Namun, ketika terbangun pagi harinya, Poirot mendapati Ratchett sudah tidak bernyawa. Ratchett ditikam 12 kali saat terlelap dalam tidurnya. Siapa pelakunya?

Bila dilihat dari sudut pandang zaman sekarang, yang bertumpu pada kemajuan teknologi untuk mengukap kejahatan, cara Poirot mengendus pelaku pembunuhan barangkali terasa kuno. Ia tidak memanfaatkan sehelai rambut yang tertinggal, misalnya, untuk mengetahui DNA si pelaku. Christie, melalui Poirot, lebih memilih untuk memasuki wilayah-dalam pada diri manusia, yakni motif. Ia mengonstruksi ulang metoda pembunuhan yang dipakai dan mencari pemecahan masalah yang tepat untuk kasusnya.

Christie biasanya bergerak lamban dalam membawa pembacanya, menebarkan fakta-fakta di halaman demi halaman novelnya. Dari fakta-fakta itulah Poirot mencari rangkaiannya dengan menekankan penggunaan ‘sel-sel kelabu’. Analisis psikologis, bagi Poirot, merupakan cara yang tepat untuk mengikuti jejak si pembunuh. Motif. Motif.

Motif pula yang menuntun Poirot untuk mengikuti jejak pembunuhan 10 orang yang berada di sebuah pulau terpisah. Mereka tewas satu per satu. Poirot mesti menemukan pelakunya. Orang ke sepuluh? Sayangnya, orang ke sepuluh itupun tewas—bukan karena bunuh diri, melainkan juga terbunuh. Membaca kembali karya-karya ‘Queen of Crime’ ini; rasa tegangnya masih tetap mencekam. Sementara, karya Hannah betul-betul mengobati kerinduan akan kisah-kisah baru Poirot. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Hanya Satu

Oleh: Maesa Mae

Kamis, 25 April 2024 13:27 WIB