x

Ilustrasi bangunan sekolah rusak. FOTO ANTARA/Musyawir/ss/mes/11.

Iklan

Muhammad Alfisyahrin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Robohnya Sekolah Kami~M Alfisyahrin YAPPIKA

Studi YAPPIKA (2016) menunjukkan adanya kesenjangan antara alokasi anggaran dan kebutuhan pembangunan/rehab ruang kelas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Muhammad Alfisyahrin Divisi Advokasi YAPPIKA

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla merilis daftar pencapaian pemerintah selama dua tahun memimpin. Salah satunya memuat pencapaian dalam infrastruktur pendidikan, yakni telah membangun 14.223 ruang kelas baru dan merenovasi 11.633 ruang kelas. Sayangnya, klaim tersebut menjadi kehilangan konteksnya ketika pemerintah tidak secara terbuka menjelaskan berapa banyak sebenarnya ruang kelas yang perlu dibangun dan direhab sekarang. Juga sekolah mana saja yang menerima alokasi pembangunan dan rehab tersebut.

Studi YAPPIKA (2016) menunjukkan adanya kesenjangan antara alokasi anggaran dan kebutuhan pembangunan/rehab ruang kelas serta buruknya tata kelola yang membuat penentuan dan penyaluran alokasi pembangunan/rehab tidak tepat sasaran. Dalam rentang 2013-2015, pemerintah rata-rata hanya bisa merehab 9.280 ruang kelas SD per tahun. Dengan total 196.708 (18,6 persen) ruang kelas SD yang masih rusak hari ini, diperkirakan butuh waktu 21 tahun untuk merehab semuanya.

Di tingkat SMP, kondisinya tidak jauh berbeda, ada 57.611 (16,62 persen) ruang kelas yang rusak. Akibatnya, sejak 2014, telah jatuh 105 anak korban luka dan 4 anak korban jiwa. Jika pemerintah tetap business as usual, diperkirakan 6,6 juta anak lainnya akan bernasib serupa karena masih belajar di ruang kelas yang rusak dan bisa roboh kapan saja.

Sebanyak 10 persen pemerintah daerah (kabupaten/kota) yang menjadi sampel studi YAPPIKA rata-rata hanya mengalokasikan 0,99 persen dari APBD 2016 untuk pembangunan dan rehabilitasi ruang kelas. Padahal, rata-rata anggaran pendidikan 10 daerah tersebut sudah 30,43 persen. Tapi sebagian besar dari anggaran pendidikan itu tersedot untuk membiayai pegawai struktural dan fungsional.

Dengan membandingkan kebutuhan anggaran untuk pembangunan dan rehab ruang kelas SD dan SMP serta ketersediaannya saat ini, diperkirakan butuh waktu rata-rata 6,3 tahun bagi sepuluh pemerintah daerah tersebut untuk menyelesaikan persoalan sekolah rusak. Situasi paling ekstrem terjadi di Kabupaten Jayapura yang membutuhkan waktu 28,7 tahun. Tapi alokasi anggaran dari pusat yang diharapkan dapat melengkapi alokasi anggaran dari Pemda dan mempercepat waktu penyelesaian persoalan ini justru terus menurun. Dari 0,41 persen APBN 2014 menjadi hanya 0,37 persen dari APBN 2015 dan 0,21 persen dari APBN 2016. Bahkan, pada APBN 2016, dana alokasi khusus (DAK) untuk jenjang pendidikan SMP sama sekali tidak dialokasikan.

Pengecekan lapangan oleh mitra YAPPIKA membuktikan bahwa dua dari lima SD penerima dana rehab di Kabupaten Serang dan tiga SD penerima dana rehab di Kabupaten Bogor kondisinya tidak lebih parah dibanding sekolah lain yang tidak menerima dana. Petunjuk Teknis (Juknis) dan Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) DAK Pendidikan yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan setiap tahunnya terbukti belum bekerja dengan baik di tingkat daerah. Bahkan, menurut ICW (2013), kasus korupsi terbanyak dan dengan nilai kerugian negara terbesar itu terjadi dalam pengelolaan DAK.

Keselamatan anak-anak mesti diprioritaskan. Pemerintah harus mengambil langkah cepat dengan meningkatkan alokasi anggaran, memperbaiki tata kelola pembangunan dan rehab ruang kelas, membangun sistem informasi pembangunan infrastruktur pendidikan, serta mengembangkan sistem pengaduan tentang sekolah rusak agar dapat memberikan respons cepat terhadap kasus di lapangan.

Ikuti tulisan menarik Muhammad Alfisyahrin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler