x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Aroma Metafisis dalam Geometri

Sejak peradaban kuno, geometri dipahami melampui kalkulasi matematis.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Di masa teknologi GPS yang begitu modern seperti sekarang, geometri menjadi bagian hidup sehari-hari manusia: membukan wilayah dan kota baru, membikin meja, menata ruang tamu, merancang bangunan, dan menentukan koordinat di permukaan bumi. Di dalam geometri terhimpun dua kata dalam bahasa Yunani: geo (bumi) dan metron (mengukur), namun dengan pemaknaan yang melampaui arti harfiahnya.

Sesungguhnyalah, jejak-jejak pengetahuan geometri sudah tertera sejak masa yang sangat lampau. Orang-orang Mesir kuno memanfaatkan pengetahuan geometrinya untuk mendirikan piramida. Nenek moyang kota membangun Borobudur dengan memperhitungkan betul aspek geometri. Bangsa Maya pun begitu. Yunani kuno, Sumeria, peradaban Lembah Indus, maupun bangsa Phoenix.

Di masa itu, geometri diperlukan bukan hanya untuk mencapai tataran estetika tertentu, menghitung kekuatan struktur, tapi juga merangkum ke dalamnya kedalaman metafisis. Bagi peradaban lampau (dan untuk sebagian masih bertahan hingga kini, seperti piramida), geometri bahkan begitu ‘sakral’ dalam pengertian diperhitungkan karena keyakinan tertentu dan mengandung kedalaman metafisis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pemahaman mengenai geometri sakral, begitu istilah yang kerap dipakai, menjadi dasar untuk menghitung struktur-struktur relijius, seperti kuil, masjid, gereja, altar, candi. Dan juga penempatan bangunan penting di area tertentu—novel The Lost Symbol karya Dan Brown mengeksplorasi tentang hal ini. Penerapan pengetahuan geometri ini tidak lepas dari ajaran yang diberikan melalui alam: bentuk daun, tepi pantai yang berulang-ulang, bunga, hingga harmoni matematis pada planet dan galaksi.

Geometri sakral dapat dipahami sebagai pandangan-dunia bahwa segala sesuatu memiliki pola-pola tertentu yang melibatkan ruang, waktu, maupun bentuk. Ada aroma spiritualitas dan filosofis di dalamnya. Pola-pola serupa dapat dijumpai di alam: pada daun, tepi laut, tata surya, begitu banyak. Lebah madu menyusun sel-sel heksagonal untuk menyangga madunya. Bentuk-bentuk fraktal yang dapat dijumpai pada awan dan pantai membuat sebagian orang bertanya: apakah ini kebetulan semata?

Dalam geometri sakral, makna-makna simbolis dan sakral diatribusikan kepada bentuk-bentuk geometri tertentu, rasio, serta proporsi geometri tertentu. Desain arsitektur Mesir—Babilonia dan Lembah Sungai Indus, India, Yunani, maupun Romawi memperhatikan betul aspek ini. Hubungan antara angka, proporsi, serta bentuk dikenal sangat baik bahkan oleh orang-orang kuno sebelum era kejayaan Yunani dan Romawi. Orang-orang Mesir kuno menganggap angka-angka tertentu sebagai ‘sakral’, misalnya angka 1, 2, 3, 4, 7 dan kelipatannya maupun penjumlahannya.

Studi tentang anatonomi manusia juga menunjukkan bahwa bentuk, ukuran, dan proporsi tubuh manusia memperhatikan betul aspek geometri sehingga terlihat indah, kokoh, harmonis, dan tepat secara fungsional. Gambar tubuh manusia karya Leonardo da Vinci, Manusia Vitruvian (1490), merupakan hasil studi ilmuwan-seniman ini mengenai anatomi: betapa penciptaan manusia mempertimbangkan betul aspek geometri. Da Vinci ‘menemukan kembali’ proporsi dalam tubuh manusia dan mengungkapkannya kepada kita.

Studi yang dilakukan Peter Lu dari Harvard University menunjukkan bahwa ilmuwan Muslim pada abad 9 hingga 12 Masehi telah menyumbangkan banyak gagasan penting dalam geometri. Desain arsitektur mereka mencerminkan kemajuan pemikiran karena memakai prinsip-prinsip yang canggih, dan menurut Peter Lu baru dipahami oleh manusia modern kira-kira 20-30 tahun yang lalu.

Geometri dan rasio matematis, harmoni dan proporsi juga ditemukan dalam musik, cahaya, maupun kosmologi. Astronom Johannes Kepler (1571-1630) meyakini bahwa alam semesta dirancang dengan memperhitungkan prinsip-prinsip geometri. Geometri adalah bagian dari kehidupan manusia—dan orang-orang seperti da Vinci, Kepler, maupun al-Khawarizmi dan Thabit Ibn Qurra, yang mempelajari secara khusus rasio-rasio, telah memahami bahwa alam semesta bekerja menurut prinsip-prinsip geometris tertentu.

Bagaimana jika prinsip-prinsip geometri—rasio, proporsi, letak, arah, dan sebagainya—tidak diterapkan di alam? Cobalah bayangkan bila keempat jari Anda, selain ibu jari, memiliki panjang yang sama, lalu kepalkan jari-jemari itu: apa yang terjadi? Bagaimana jika ruas jari-jari Anda bukan tiga, tapi empat? (Foto: Jejak peradaban Maya; sumber: wikipedia) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler