x

Iklan

Rahmat Thayib

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Politik 'Cuci Tangan' Kasus HAM Berat

Politik “cuci tangan” ala Trimedya amat berbahaya. Jika setiap penguasa melemparkan kesalahan kepada pemerintah sebelumnya bisa gawat urusannya

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pernyataan Ketua Bidang Hukum, HAM dan Perundang-undangan DPP PDIP Trimedya Panjaitan terkait menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tergolong tendesius. Trimedya menyebut ada 7 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang diwariskan kepada pemerintah Jokowi.

Tak ada pernyataan politisi yang tidak memiliki motif. Lantas, motif apa yang melatarbelakangi pernyataan  Trimedya ini? Tak lain dan tak bukan Trimedya ingin “mencuci tangan” Jokowi jika kelak pemerintah saat ini tidak dapat menuntaskan 7 kasus besar ini. Logika pikir yang hendak dibangun adalah: “jika pemerintah SBY saja tidak sanggup, wajar jika Jokowi pun tidak dapat maksimal”.

Dugaan ini kian kental karena penyataan Trimedya disampaikan dalam acara peluncuran buku “Dua Tahun Pemerintahan Jokowi-JK Menegakkan Keadilan dan Kebhinekaan” di kawasan Cikini, Jakarta, Rabu (14/12/2016).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Penggiringan opini ini tentu amat disayangkan. Trimedya seolah mengabaikan logika transisi kekuasaan. Ketika kekuasaan berganti maka penguasa yang baru secara otomatis memikul beban pemerintahan secara utuh. Segenap yang baik dilanjutkan, dan segala yang kurang baik dibenahi. Tidak ada alasan untuk memilah-milah. Tidak dapat hanya yang baik-baik semata dari warisan masa silam ditelikung sebagai prestasi pemerintah masa kini. Apalagi dengan ujug-ujug menyalahkan pemerintah masa lalu.

Politik “cuci tangan” ala Trimedya ini amat berbahaya. Jika setiap penguasa  bertamengkan kelemahan dengan menyalahkan pemerintah sebelumnya bisa gawat urusannya. Bayangkan jika SBY menyalahkan Megawati, Megawati menyalahkan Gus Dur, Gus Dur menyalahkan Habibie dan selanjutnya. Masalah tidak akan selesai. Alih-alih pemerintah Indonesia akan menjadi pemerintah yang salah-menyalahkan.

Pembenaran semacam ini tidak akan mencuci tangan pemerintah. Tetapi malah mengesankan pemerintah selayak bocah nakal yang mengklaim segala kegemilangan adalah miliknya, tetapi segenap kesalahan adalah dosa orang lain. Sepanjang sejarah ilmu kepemimpinan, tidak pernah dianjurkan karakter pemimpin semacam ini. Pembenaran itu justru akan menggerus karakter seorang pemimpin sejati. Apakah itu yang Trimedya inginkan?

Moment Untuk Jokowi

Perlu ditekankan bahwa 7 kasus yang Trimedya sebutkan tidak seluruhnya tidak tuntas.  Misalnya, kasus Trisakti, kasus tragedi Semanggi I dan Semanggi II, serta kasus penghilangan aktivis dan penembakan misterius. Kasus ini sudah masuk meja hijau di era pemerintahan Gus Dur sampai Megawati Sukarnoputri. Sementara kasus Timor Timor telah melalui pengadilan adhoc. Pengadilan telah memvonis bersalah kepada para pelaku kasus-kasus pelanggaran HAM berat itu.

Ketika SBY menjabat sebagai presiden RI ke-6, ruang untuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat juga dibuka. Namun, betapa pun pengadilan telah berupaya menjatuhkan putusan seadil-adilnya, tentu tidak segenap khalayak bisa sepakat. Ada yang ingin membukanya kembali. Ini adalah wajar, selama sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. Pranata hukum pada pemerintahan presiden manapun amat terbuka akan hal ini.

Tanpa mengurangi rasa hormat, Trimedya sebagai politisi dari parpol pendukung pemerintah pun harus paham akan langkah tindak Jokowi. Ketika pada keluarga korban menuntut hukuman bagi pelanggaran HAM berat, Jokowi malah menawarkan wacana rekonsiliasi.

Padahal Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) dan para pengiat HAM di tanah air sudah sejak lama menolak gagasan ini. Lantas mengapa Jokowi mewacanakannya kembali? Hati-hati. Jangan sampai muncul persepsi pemerintah saat ini tidak mau ambil pusing, atau ingin cepat saja, tetapi mengabaikan aspirasi, hak, dan pengharapan dari korban pelanggar HAM tersebut. Lantas, di mana Trimedya saat kebijakan "salah kaprah" ini dicuatkan oleh pemerintah?

Betapapun, pada era Jokowi ini semestinya memang daya dorongnya lebih kuat untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat. Pasalnya, beberapa tokoh yang berada di lingkar kekuasaan saat ini ada yang namanya disebut-sebut terkait 7 kasus yang dikemukan oleh Trimedya itu.

Artinya, ini adalah moment yang tepat untuk menunjukan keberpihakan pemerintah, sekaligus meng-clear-kan nama baik tokoh-tokoh tersebut. Jangan sampai nanti pemerintah dituding melindungi para pelaku pelanggar HAM berat. Langkah-langkah ini yang perlu dikongkritkan oleh pemerintah. Bukan bertindakn instans dengan mengkambing-hitamkan pemerintah masa lalu sebagaimana yang terkesan dari pernyataan Trimedya.

Mencegah Kasus HAM Berat

Last but not least, Trimedya pun semestinya memahami bahwa penegakan HAM tidak semata-mata penyelesaian kasus. Mencegah kasus-kasus pelanggaran HAM berat jauh lebih penting. Point ke 2 ini amat diperhatikan oleh SBY.

Ketika masih menjabat Menko Polkam, SBY sudah menjadi garda terdepan dalam penyelesaian konflik yang berdarah-darah.  Mulai dari Aceh, Insiden Atambua, Maluku, separatisme Papua, koflik Poso sampai kerusuhan Sampit menjadi saksi cetak tangan SBY dalam merawat ke-Indonesia dalam bingkai perdamaian.

Konflik RI-GAM yang menurut Kontras kental aroma pelanggaran HAM berat itu dapat selesai melalui perjanjian Helsinki selepas SBY dilantik menjadi presiden RI. Gerakan OPM di Papua pun kian teredam setelah SBY menekankan pembangunan Papua yang bernafaskan otonomi khusus, serta sesuai dan sejalan dengan karakter lokalitas tanah Cenderawasih. Tentu saja tak ada gading yang tak retak. Tetapi tidak sekalipun, SBY tercatat menyalahkan pemerintah masa silam atas warisan kasus-kasus yang dituding belum lagi tuntas itu.

Ikuti tulisan menarik Rahmat Thayib lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu