x

Sri Hartini, bupati Klaten. Istimewa

Iklan

umbu pariangu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Aporia Politik Perempuan

Kesimpulan sementaranya, tak ada faktor pembeda secara kelamin terkait potensi melakukan korupsi.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kalau saja Bupati Klaten Sri Hartini tak ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),  duo Sri (Sri Hartini dan Sri Mulyani) kemungkinan akan menjadi simbol 'rejuvenasi politik' perempuan yang memenangkan pilkada di Indonesia (2015-2020) yang dilantik pada 17 Februari 2016 lalu.

 

Sayang, simbol tersebut terlalu cepat digerus ambisi berkuasa (the will to power) yang berkelindan dengan korupsi. Ranting-ranting emansipasi politik yang coba dipelihara untuk mempercantik kebun demokrasi pada akhirnya terancam gugur, karena seolah memperkuat hipotesis: tak ada anastesi kelakuan di kalangan perempuan terhadap korupsi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Sepanjang tahun 2016 menurut temuan Tempo, ada 11 wanita yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Di antaranya Damayanti Wisnu Putranti, Noviyanti, asisten anggota Komisi Hukum DPR I Putu Sudiartana, Direktur PT Berdikari (Persero) Siti Marwah dan Atty Suharti, termasuk Sri Hartini. Ini jumlah yang tidak sedikit di tengah gembar-gembornya promosi kelebihan perempuan seperti kesimpulan riset Bank Dunia (1999) bahwa laki-laki lebih mudah membayar suap ketimbang perempuan.

 

Jangan-jangan, benar hasil kajian Transparancy International (2007) yang tidak percaya bahwa ada korelasi kehadiran perempuan di parlemen dengan pengurangan korupsi.Ruang politik yang keras, di mana perseteruan dan konflik kepentingan diwarnai intrik, manuver 'siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana' mirip simbol setan besar (machiaveli) dalam politik, dan juga di mana relasi politik dibentuk oleh dalil 'take and give', menjadikan para politisi, termasuk politisi perempuan tanpa sadar memandang nilai-nilai tersebut sebagai keniscayaan yang rasional dalam politik.

 

Persisi ketika demokrasi sebagai sistem pemerintahan terkemuka di dunia memfasilitasi ruang keterbukaan politik bagi perempuan dengan gumpalan isu seksi: kebebasan dan Hak Azasi Manusia. Demokrasi secara ontologi membuka kesempatan bagi siapa saja (laki-laki-perempuan, muda-tua, budak-hamba) untuk menjalankan hak partisipasi politiknya. Namun karena jalan untuk merebut posisi politik semakin mahal dan kalkulatif karena membutuhkan mahar, uang survei untuk mengukur elektabilitas kandidat dll, yang terjadi kemudian, hasrat dan modal kapital (baik sosial, budaya, ekonomi) kaum perempuan tanpa disadari 'dikoloni' oleh prinsip kompetisi kekuasaan berbasis pragmatis dan jaringan parokial oleh agen-agen politik partai yang menisbahkan dirinya sebagai 'penguasa'.

 

Kalaupun perempuan ada di struktur parlemen dan eksekutif, itu bukan konsekuensi langsung dari kapabilitasnya, melainkan tak lebih sebagai hasil rekayasa sistem politik yang bertujuan memperluas kapling penguasaan ekonomi dan jaringan predasi, yang dibungkus dengan representasi gender dan afirmatif 30 persen bagi perempuan dalam pemilu.

 

Akibat gesekan ekslusifisme dan komersialisme politik seperti itu, perempuan kemudian memasuki kamar struktur kekuasaan tanpa jubah utuh kesadaran kompetensi moral maupun teknik, karena sudah dilucuti sejak awal di depan pintu sistem politik dari parpol yang korup lewat syarat-syarat penerimaan yang serba-transaksional. Keharusan membayar 'uang pintu' atau 'sewa perahu', yang dirasakan sebagai cara memupuk syahwat kekuasaan, sama sekali tidak akan akan menciptakan adrenalin perempuan untuk merawat integritas politiknya. Sebaliknya sistem politik itu melegalisasinya untuk perlahan-lahan membunuh akal sehat maupun prinsip-prinsip politik ksejaheraan bersama.

 

Kebuntuan (aporia) politik ini memiliki implikasi buruk bagi dinamisasi suara dan perjuangan kepentingan perempuan, karena mereka cepat kehabisan kewarasan untuk memetakan persoalan-persoalan urgen dalam kerangka kepentingan publik. Godaan uang, intensi kapitalisasi posisi politiknya membuatnya tidak lagi berpikir seideal ketika berada di luar sistem kekuasaan.

 

Sebaliknya, politisi laki-laki seakan berumah di atas angin dalam mengendalikan politisi perempuan, karena seluruh pranata dan aturan politik yang didesain dan diciptakan sejak awal memang selalu mencerminkan kepentingan maskulinitas (popularitas, elektoral dan uang serta kekuasaan). Ketika politisi perempuan sudah menyatu dalam jaringan kekuasaan, upaya membangun posisi tawar lewat idealisme visi-misi, apalagi untuk membela kepentingan minoritas, dengan mudah mengalami dehidrasi.

 

Maka kesimpulan sementaranya, tidak ada faktor pembeda secara kelamin terkait potensi melakukan korupsi. Bukan soal laki-laki atau perempuannya, tapi bagaimana membangun sistem politik yang demokratis, sehingga esksistensi perempuan terutama dalam proses rekruitmennya tidak mudah dikapitalisasi untuk kepentingan diri/kelompok tertentu. Selagi sistem politik yang mempredasi modal ekonomi masih terus langgeng di parpol.Selagi parpol masih asyik bermasyuk ria merawat mesin seleksi kadernya dengan menitikberatkan kedekatan subyektif, kapital, popularitas, maka sulit bagi perempuan untuk masuk dalam lingkungan politik dan menjadi politisi penjaga moral.

Oleh: Umbu Pariangu

 

Dosen FISIPOL Undana, Kupang

Ikuti tulisan menarik umbu pariangu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Fotosintesis

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Kamis, 9 Mei 2024 17:19 WIB

Terpopuler

Fotosintesis

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Kamis, 9 Mei 2024 17:19 WIB