Pentingnya Etika Periklanan dan Media Sosial dalam Membangun Kepercayaan di Era Digital

Rabu, 15 Mei 2024 19:54 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Etika periklanan menekankan kejujuran, transparansi, tanggung jawab sosial, privasi, dan kepatuhan hukum. Dengan mengikuti prinsip-prinsip ini pengiklan memastikan bahwa iklan mereka tidak hanya mempromosikan produk dan layanan, tetapi juga melindungi konsumen dari informasi yang menyesatkan.

Etika periklanan menekankan kejujuran, transparansi, tanggung jawab sosial, privasi, dan kepatuhan hukum. Dengan mengikuti prinsip-prinsip ini, pengiklan dapat memastikan bahwa iklan yang mereka buat tidak hanya mempromosikan produk dan layanan secara efektif, tetapi juga melindungi konsumen dari informasi yang menyesatkan dan praktik yang tidak etis. Ini membantu membangun kepercayaan antara konsumen dan pengiklan, serta mendukung praktik bisnis yang berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Iklan superlatif adalah strategi pemasaran yang menggunakan klaim berlebihan untuk menarik perhatian dan meyakinkan konsumen tentang keunggulan produk atau layanan. Meskipun efektif dalam menciptakan citra positif dan menarik minat konsumen, iklan superlatif juga memiliki risiko menyesatkan jika tidak didukung oleh bukti yang kuat. Oleh karena itu, penting bagi pengiklan untuk bertanggung jawab dalam membuat klaim superlatif, memastikan kejujuran, transparansi, dan kepatuhan terhadap etika periklanan. Dengan pendekatan yang tepat, iklan superlatif dapat menjadi alat yang kuat untuk membangun kepercayaan dan loyalitas konsumen, serta memperkuat posisi merek di pasar.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 17 Ayat 1 sebagai berikut:
1)    Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:

a.    Mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b.    Mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c.    Memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
d.    Tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e.    Mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
f.    Melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
Berikut adalah contoh kasus seorang pengiklan yang menggunakan superlatif
 
Contoh kasus pelanggaran pengiklan dalam mempromosikan produknya adalah susu Anlene. Susu Anlene yang dibuat pada tahun 1991 itu dalam mempromosikannya bentuk iklan yang mengandung superlatif terdapat pada kata “No. 1”.  Kata yang mengandung superlatif tersebut berlebihan karena Anlene klaim susu tersebut memiliki manfaat lebih baik dan banyak jika dibandingkan dengan kompetitor yang produksi susu.

Etika media sosial berfokus pada penyebaran informasi yang benar, menghormati privasi, berperilaku sopan, bertanggung jawab atas konten yang diunggah, dan bersikap kritis terhadap informasi yang diterima. Dengan mematuhi etika ini, pengguna media sosial dapat berkontribusi pada terciptanya lingkungan online yang sehat, aman, dan positif. Ini tidak hanya melindungi individu dari penyebaran informasi yang salah dan tindakan yang merugikan, tetapi juga membangun komunitas yang lebih inklusif dan saling mendukung.

Pemilik channel YouTube, Winnzeè, pada Kamis (14/11/2019) telah membuat konten video tentang wawancara seorang reporter tvOne kepada atlet peraih dua medali emas sekaligus pada pertandingan olahraga jenjang tingkat internasional, ASEAN AUTISM GAMES 2018, di GOR Soemantri Brodjonegoro, Jakarta. Konten video yang berdurasi 1 menit 3 detik tersebut berisikan bullying terhadap Dewangga Aji sebagai atlet yang berhasil meraih dua medali emas sekaligus. Sebelumnya repoter tvOne mengucapkan selamat atas perolehan Dewangga. 

Adapun saat diwawancarai, Dewangga Aji hanya menjawab pertanyaan repoter tvOne tersebut dengan kalimat, “Gatau Males Pengen Beli Trek”, dan juga, “Besok Mah Gausah Sekolah, Malu”. Dari kata-kata tersebut telah dibuatkan konten video parodi untuk dijadikan bahan bercandaan oleh dua anak muda ini dan di-upload ke channel YouTube Winnzeè. Konten video yang sudah di-upload tersebut telah mendapatkan komentar kecaman dari para penonton konten video tersebut. 

Melihat dari konten yang diupload ke Channel YouTube Winnzeè, sejumlah netizen mengkritik konten tersebut tidak memiliki mutu baik, justru konten tersebut mengandung hinaan atau ejekan. Ini adalah komentar dari sejumlah netizen, “Autism bukan becandaan. Yang masi sehat aja bersyukur lah ini malah ngarep jadi kek gitu” komentar akun @rakashan8875, “Yang kalian ketawain itu anak yg sudah mengharumkan nama bangsa melalui prestasinya...Harusnya kalian ketawain hidup kalian yg gak guna...” komentar akun @omjo7715, “Pesan yang terkandung ; Yang autis pengen waras, eh yg waras pada pengen autis,, mabok, narkoboy, kokain dll” komentar akun @habibbokerbinsumaith1307.

Artikel ini adalah tugas Tugas Analisis Etika Iklan dan Etika Media Sosial Mata Kuliah Kampanye Promosi Multimedia dengan Dosen Program Studi Produksi Media Politeknik Tempo Rachma Tri Widuri, S.Sos., M.Si.

Bagikan Artikel Ini
img-content
darling siregar

Mahasiswa Produksi Media Politeknik Tempo

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler











Terpopuler di Peristiwa

img-content
img-content
img-content
Lihat semua