x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Ayah Rumi dan Petikan Maarif

Maarif, karya Bahauddin Walad—ayah Jalaluddin Rumi, berabad-abad terabaikan dan baru beberapa dekade belakangan diperhatikan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 
"Di dalam segala sesuatu dan di setiap manusia tersimpan misteri ilahiah."
--Bahauddin Walad

 

Untuk memelajari siapa Bahauddin Walad (1152-1231 M), dua sarjana Barat—Coleman Barks dan John Moyne—menjadikan Maarif, karya Bahauddin, sebagai titik tolak. Hasilnya ialah sebuah buku yang mereka beri judul The Drowned Book, yang memuat karya Bahauddin disertai pengantar mereka.

Judul The Drowned Book mengacu kepada kisah percakapan antara Jalaluddin Rumi dan guru dan penasihat spiritualya, Sham al-Tabriz.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Suatu ketika Jalaluddin Rumi duduk di samping sebuah sumber air di Konya dan berbicara kepada murid-muridnya. Buku catatan Bahauddin Walad terbuka di atas langkan. Mendadak Sham Tabriz mengambil buku catatan itu dan mencemplungkannya ke dalam air.

“Mengapa engkau lakukan hal itu?” tanya Rumi mengajukan protes. Buku catatan Bahauddin Walad yang dicelupkan Sham Tabriz itu merupakan satu-satunya salinan yang masih ada.

Menanggapi protes Rumi, Tabriz ganti berbicara. “Kinilah saat bagimu untuk menghidupkan apa yang sudah engkau baca dan engkau bicarakan,” jawab Tabriz. “Tapi, jika kau inginkan, kita bisa mendapatkan kembali buku itu. Buku itu akan benar-benar kering. Mau tahu?”

Tabriz mengangkat buku catatan Bahauddin dari dalam air. “Lihatlah, kering!”

Maarif versi bahasa Persia yang jadi rujukan Barks dan Moyne terdiri atas 2 jilid yang mencakup 914 halaman. Rumi, menurut Barks dan Moyne, sangat mungkin telah membaca seluruh isi Maarif, karena sebuah cerita menyebutkan bahwa Rumi telah menceritakan kembali karya ayahnya sepanjang malam.

Mengapa Maarif dipandang penting? Ada baiknya mengutip pandangan Henry Corbin. Ia berkata: “Koleksi wejangan-wejangan mistis dari syeikh yang dimuliakan Bahauddin, Maarif, tidak dapat diabaikan jika kita ingin memahami doktrin spiritual puteranya.” Barks dan Moyne mengasumsikan bahwa Maarif adalah sahabat tetap Rumi sejak ayahnya wafat hingga ia bertemu Shams—sebuah periode sepanjang 13 tahun. Hingga kemudian Rumi mulai merumuskan pandangannya sendiri.

Hanya ada sedikit salinan Maarif pada abad ke-13, ditambah yang ada dalam ingatan Rumi. Karya Bahauddin itu tidak pernah diterbitkan untuk umum, hanya beredar di antara individu-individu. Sejak itu, manuskrip Maarif jauh dari pengetahuan siapapun, tersimpan di perpustaaan dan tidak diperhatikan selama berabad-abad. Menurut Barks dan Moyne, ada sebuah terjemahan dalam bahasa Jerman tapi sudah tidak dicetak lagi, sementara A.J. Arberry memasukkan 20 entri dari Maarif ke dalam karyanya, Aspects of Islamic Civilization as Depicted in the Original Texts.

Bahauddin berusaha meraih pengetahuan mengenai Tuhan, pengetahuan yang datang dari cahaya yang asali dan diberikan kepada manusia. Ia berusaha meraih tataran individu dengan ketakberhinggaan terkurung dalam dirinya, ketika seseorang merasa bagaikan mengapung di gelombang samudra dan bergerak bersamanya. Berikut ini beberapa baris dari Maarif yang diterjemahkan dari The Drowned Book (terbit 2007).

 

MASIH TUMBUH

Di dalam dan di luar tubuhku aku melihat aliran dingin yang jernih di samping bunga-bunga, dan sesudah aku mati, jasadku akan menemukan jalan kembali ke bunga-bunga itu dan udara lembut di sekelilingnya. Benih-benih jiwa kita datang dari yang tak terlihat, dan inilah kita, masih tetap tumbuh. Kita luruh dan menjadi benih. Kita mati. Benih-benih baru masuk ke dalam tanah yang tak terlihat, bersama air masing-masing menumbuhkan silsilahnya sendiri yang unik. Tuhan memelihara kelanjutan ini.

Quran (64:14) mengingatkan kita bahwa mungkin saja ada musuh di antara mereka yang dekat dengan kita. Berhati-hatilah, dan ingatlah bahwa ketika engkau memaafkan dan melupakan penghinaan mereka, engkau membiarkan keanggunan melarutkan kebencian.

 

SIAGA MALAM

Kegelapan telah dianugerahkan sebagai pakaian-malam untuk tidur beristirahat (25:47). Ingatlah bagaimana manusia tersusun dari air dan debu untuk darah dan daging dengan resin berminyak yang dipanaskan di atas api untuk membuat kerangka. Kemudian jiwa, cahaya ilahi, ditiupkan ke dalam bentuk manusia. Kini, kerja membantu tubuh kita menjadi cahaya murni. Yang seperti ini mungkin terlihat bagai tidak terjadi. Namun di dalam kepompong setiap jumput lumpur yang dilunakkan cacing menjadi sutra. Karena kita memperoleh cahaya, setiap bagian diri kita berubah jadi sutra.

Kita membuat malam sebuah kegelapan, namun kita membawa cahaya bersinar dari kegelapan itu. Dengan cara yang sama, gundukan makammu akan berbunga dengan kebangkitan. Sufi dan mereka yang berada di jalan hati menggunakan kegelapan untuk memasukinya. Sepanjang siaga-malam, alam semesta adalah milik mereka (40:16). Di saat semua raja dan sultan serta penasihat terpelajar mereka tidur, setiap orang tidak bekerja, kecuali mereka yang terjaga di dalam kehadiran ilahiah.

 

PAPAN ROTI DI ATAS MEJA

Seseorang tanpa kasih sayang kepada siapapun tidak akan bermurah hati kepada dirinya sendiri. Jika engkau menjalankan keadilan yang kejam terhadap orang asing, engkau akan melakukan hal yang sama atau lebih buruk kepada dirimu sendiri. Setiap lalai bermakna tindakan yang berbalik. Engkau akan temukan dirimu terbebani oleh apa yang secara harfiah tak mampu engkau pikul. Engkau tidak cukup kuat. Kutukan pengembaraan tanpa keriangan ataupun tujuan akan menyertaimu selama bertahun-tahun hingga engkau menemukan bahwa itu adalah pemberhentian-pertamamu, buaian palung.

Seekor kuda tersesat ke dalam sebuah gua yang dipenuhi singa. Engkau bergerak lebih dalam menuju hasratmu akan seks, demi seni dan kesehatan. Akan datang suatu waktu ketika kehidupanmu kosong (76:1), namun benar-benar ada suatu waktu ketika manusia tidak dipedulikan? Selama ribuan tahun kita tidak mempunyai identitas, namun kita berusaha agar sampai pada momen yang menakjubkan ini, rentang-hidup yang amat sadar ini. Siapa yang memberikan kita kegelisahan untuk mengetahui dan menjadi seperti itu?

Di dalam kehangatan rahim engkau adalah gumpalan basah yang tengah dimatangkan bagi meja perjamuan panjang dunia. Engkau tidak dapat mengindra proses itu, ketrampilan yang membawamu kepada momen yang semerbak dan indah ini. Nampan roti tidak mengetahui sebanyak pembuat roti atau bahkan tidak sebanyak yang duduk di meja.

Engkau telah diberi persepsi yang engkau miliki dan kemauan untu berserah diri—bukan untuk dikendalikan, melainkan lebih untuk beribadah bersama dan berdoa. Inilah batas-batas untuk mengakui, sama pasti dan sama jelasnya dengan fakta bahwa obyek-obyek inorganik seperti batu dan kepingan logam tak dapat melihat. Begitulah engkau hidup dengan spirit dan makhluk yang hidup di dalam spirit. Engkau tak bisa melihat mereka atau mengetahui keadaan dan tujuan mereka.

Kita mengetahui begitu sedikit, dan kita dianugerahi pemberian namun kita berbuat sesuatu yang sepantasnya. Kita bangkit dari debu, menghidupkan kesukaran dan kejayaan kita yang pendek, untuk kemudian kita lebur kembali ke debu. Ini kebodohan belaka, dan kesombongan iblis-debu, yang mempertanyakan keadilan Tuhan, atau pikiran sehat, atau keharuan yang abadi. Bersyukurlah atas apapun yang engkau rasakan sebagai penghinaan atau penistaan, atau bahkan bencana yang dungu. Bersyukurlah bahwa kehadiran ilahi adalah pengetahuan yang melampaui ketidakmengertian kita, dan bahwa pengetahuan itu menumbuhsuburkan segalanya. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

11 jam lalu

Terpopuler