"Ada banyak nasihat berperilaku hidup yang baik bisa kita teladani dari tokoh tokoh wayang", ujar Pak Narto semangat. Saya yang tidak begitu antusias diam saja pura pura manggut. Saya masih ingat sekali bagaimana kecintaan Pak Narto dengan wayang kulit. Sepulang kerja, sering Pak Narto nyinden dengan aksen Jawa kental. Mengasikkan mendengarnya bernyanyi dengan langgam Jawa yang datar panjang berulang ulang.
Hari ini, 33 tahun kemudian, wayang kulit sebagai kekayaan budaya bangsa hendak dilarang tampil di tempat dia lahir. Wayang kulit yang begitu bernilai kaya seni adi luhung hendak dikuburkan ke dalam sumur gelap. Kaum puritan agama merasa jijik melihat wayang kulit. Pemahaman sempit mereka memandang wayang kulit produk budaya yang melanggar nilai Islam. Haram seperti pesan spanduk spanduk yang bertebaran itu.
Sebagai putra Batak yang pernah menonton wayang kulit, saya merasa sedih dan miris sekali melihat spanduk dungu itu. Sebuah produk budaya adi luhung yang lahir pada abad ke 8 saat Dinasti Syailendra membangun Candi Borubudur hendak diberangus dan digantikan oleh budaya asing yang diklaim sebagai budaya surgawi. Di luar dari budaya surgawi itu berarti haram. Tidak boleh hidup. Harus dimusnahkan.
Kaum puritan atau radikal ini hendak menjadi penafsir tunggal mana boleh dan mana tidak boleh sebuah budaya ditampilkan. Kaum puritan pemurnian agama ini hendak menjadikan Indonesia hanya boleh punya budaya sesuai alirannya saja. Memonopoli budaya. Lamat lamat saya mendengar nasihat Pak Narto kembali. Nasihat ucapan Semar yang membuat bocah kecil seperi saya hanya bisa melongo karena dalamnya pengertian akan hakikat hidup dari nasihat Sang Guru Semar.
Inilah filosofi Jawa yang dilakonkan Semar dalam tontonan wayang kulit itu yang pernah saya dengar dari Pak Sunarto. Urip iku Urup. Hidup itu merupakan nyala jiwa. Hidup itu hendaknya memberi manfaat bagi setiap orang disekitar kita. Memayu hayuning bawana, ambrasta dur hangkara. Harus dan wajib hukumnya mengusahakan keselamatan, kebahagiaan, dan kesejahteraan, serta memberantas sifat angkara murka, serakah, dan tamak.
Sura dira jaya jayaningrat, leburing dening pangastuti.
(Segala sifat keras hati, picik, dan angkara murka hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar).
Ngluruk tanpa bala, menang tanpa ngasorake, sakti tanpa aji-aji, sugih tanpa bandha.
(Berjuang tanpa perlu membawa massa, menang tanpa merendahkan/mempermalukan. Berwibawa tanpa mengandalkan kekuasaan/kekuatan/kekayaan/keturunan. Kaya tanpa didasari hal-hal yang bersifat materi).
Datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan.
(Jangan gampang sakit hati manakala musibah/hasutan menimpa diri. Jangan sedih manakala kehilangan sesuatu).
Pertanyaannya, di mana salah dan dosa dari wayang kulit yang berlimpah nasihat kebijakan akan hakikat hidup ini? Entahlah kawan, rasanya semakin gila dunia ini. Ya... dunia ini semakin gila, segila pesan adu domba spanduk spanduk bodoh itu. Tapi tenanglah kau kawan. Jangan naik tensimu. Jangan lepas kendali emosimu.
Ingatlah nasihat Semar ini "Sura dira jaya jayaningrat, leburing dening pangastuti". Segala sifat keras hati, picik, dan angkara murka hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut hati, dan sabar. Mantap bukan?
Pakk..pakkk..pakkk...bemmn...bemmn bemmm.....
Bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap katon lir kincanging alis, risang maweh gandrung, sabarang kadulu wukir moyag-mayig saking tyas baliwur ong..
Wa wééé wong tuwa jé dièrèd-èrèd ah èh èh Hé hih hih hih bêgêgêg ugêg ugêg sadulita humêl humêl, hééé é, hé hé hè hè toblas toblas, hé ééé
Salam,
Indonesian Kaya Budaya
Birgaldo Sinaga
#PeriplusCompetition