x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jurus Dasar Mengulas Buku

Ketika mengulas sebuah buku, saya lebih condong menyebutnya sebagai berbagi pengalaman membaca.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Menulis ulasan sebuah buku bukanlah pekerjaan mudah, sebab sebagai pembaca saya harus cukup mampu memberi apresiasi yang adil terhadap karya penulis—bukan sekedar ‘Saya tidak suka, berat’ atau ‘Kalimatnya bertele-tele’. Lantaran inilah, tatkala hendak menulis resensi atau ulasan sebuah buku, saya kerap dibayang-bayangi rasa jengah: “Kok berani-beraninya saya menulis ulasan tentang buku ini?”

Misalnya saja, ketika di hadapan saya ada buku The Undivided Past yang ditulis David Cannadine—sebuah karya yang ditulis dengan riset ekstensif dan mendalam. Namun kemudian saya berpikir bahwa saya tidak punya niat mencari kekurangan dan kesalahan buku itu. Yang saya inginkan adalah berbagi pengalaman dalam membaca sebuah karya hebat yang berbicara tentang keberagaman pengalaman manusia dan mengapa sejarawan lebih banyak menulis mengenai konflik ketimbang perdamaian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya percaya, melalui pendekatan pengalaman membaca, setiap orang bisa saja membuahkan hasil ulasan yang berbeda. Mengapa? Karena dalam hal keluasan dan kedalaman pengetahuan, sejarah hidup dan pengalaman, nilai-nilai yang dipegang, kemampuan berpikir dan mencerna tulisan, maupun respons emosionalitas tiap-tiap orang niscaya berbeda-beda. Dari sebuah buku yang sama dapat lahir puluhan ulasan yang berbeda—di sinilah letak penting pengalaman membaca dalam memberi warna terhadap suatu ulasan buku.

Kendati begitu, secara umum ada beberapa patokan yang lazim dipakai dalam mengulas sebuah karya, kali ini saya ingin berbicara dalam konteks karya bukan fiksi. Bisa saja buku sejarah, memoar, perjalanan, ataupun psikologi. Patokan inilah yang menuntun saya dalam menulis ulasan sebuah buku.

Pertama, mengetahui tema dan topik yang didiskusikan penulis dalam buku tersebut. Secara individual, masing-masing orang mungkin punya kecondongan yang berlainan mengenai tema dan topik yang ingin diulas. Sebagian orang mungkin menyukai tema politik, sejarah, biografi, sedangkan orang lain mungkin menyenangi isu bisnis dan manajemen—misalnya, media sosial untuk pemasaran produk.

Kedua, memahami sudut pandang yang dipakai penulis dalam mendiskusikan topik tersebut. Topik yang sama dapat dilihat dari sudut pandang berbeda-beda, bergantung keinginan penulisnya. Mohammad Hatta adalah figur yang banyak ditulis. Ada yang menulis tentang masa mudanya, tentang kecintaannya kepada buku dan ilmu pengetahuan, atau tentang kejujurannya. Lewat pemahaman mengenai sudut pandang, kita dapat memahami bingkai yang membatasi perspektif penulisnya.

Ketiga, dengan memakai sudut pandang pilihannya, apa pendapat atau tesis penulis mengenai topik tersebut. Tesis penulis merupakan hal penting sebab inilah alasan mengapa sebuah buku ditulis. Ketika menulis tentang peristiwa 1965, Ben Anderson dan Ruth McVey mengajukan tesis bahwa peristiwa ini merupakan konflik internal Angkatan Darat. Tesis ini berbeda dengan pandangan resmi pemerintah Indonesia. Karya sarjana Amerika itu memperkaya pemahaman betapa kompleks peristiwa berdarah tersebut.

Keempat, untuk mendukung sebuah tesis, penulis memerlukan materi penulisan yang harus diriset, tulisan lain yang dirujuk, wawancara dengan narasumber, maupun dokumen-dokumen lain—termasuk surat, foto, penerbitan media cetak—sebagai bukti. Riset yang luas dan mendalam amat dihargai, tapi jika penulis tak mampu memakainya untuk mendukung argumennya, kerja keras itu terkesan kurang bermanfaat. Saat membaca, saya jadi tahu sejauh mana intensitas penulis dalam melakukan riset—sendiri maupun dibantu orang lain.

Kelima, saya berusaha membandingkan buku yang tengah saya ulas dengan buku serupa, karena cara ini dapat memerkaya pengetahuan pembaca mengenai isu tertentu. Pembaca dapat memeroleh informasi atau pemahaman bahwa ada beberapa buku karya penulis lain yang membahas tema yang sama. Masing-masing penulis bisa saja memandang tema yang sama dari perspektif yang berbeda-beda. Satu sama lain mungkin saja saling melengkapi atau bertentangan. Buku tentang Soeharto, umpamanya, relatif banyak. Di antaranya Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (otobiografi), The Smiling General, maupun Soeharto di Bawah Militerisme Jepang.

Keenam, melalui komparasi seperti itu, saya dapat berbagi pemahaman dengan pembaca mengenai nilai kebaruan yang ditawarkan buku yang sedang diulas. Mungkin penulis buku menawarkan temuan dan bukti baru, bahan-bahan baru, mengajukan tesis baru, melihat sebuah peristiwa dari sudut pandang baru dibanding yang sudah ada, atau penulis melakukan penelitian dengan memakai metode lain.

Ketujuh, bagi saya, yang juga jadi pertimbangan ialah gaya penulisan atau penyajian. Penulis buku patut diapresiasi bila ia mampu menyajikan karyanya dengan ritme dan gaya menulis yang mendorong pembaca untuk menyelesaikan bacaannya hingga halaman terakhir. Di tangan Harry Poeze, sejarah Tan Malaka tersaji dengan begitu hidup, bernuansa, tanpa kehilangan sedikitpun nilai akademisnya. Sebagai pembaca, kita terbawa antusiasme Poeze.

Mengingat berbagai pertimbangan tadi, bagi saya, mengulas sebuah buku bukanlah pekerjaan ringan. Saya tidak bisa menulis ulasan buku sekali jadi karena khawatir berlaku tidak cukup adil dalam memberi apresiasi terhadap penulis yang telah berikhtiar keras untuk melahirkan sebuah karya. Saya percaya, sebuah buku yang ditulis dengan ikhtiar yang sungguh-sungguh akan membukakan horison baru bagi khalayak pembacanya, termasuk saya. (Foto: tempo.co) ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler