x

Patrialis Akbar. TEMPO/Seto Wardhana

Iklan

umbu pariangu

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Patrialis dan Patrimonial Politik

Para politisi kita semakin tidak memiliki kekebalan tergadap godaan pragmatisme atau suap.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Patrialis Akbar, anggota Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (26/1) lalu sungguh memalukan. Kasus tersebut ibarat guntingan dalam lipatan. Selain menggunting kredibilitas MK, juga melukai citra politik, mengingat Patrialis adalah hakim yang direkrut dari unsur partai politik pada 2013 lalu. 

Ini memperuncing tesis bahwa bahwa para politisi (di eksekutif, legislatif, dan yudikatif dari pusat hingga daerah) kita semakin tidak memiliki kekebalan tergadap godaan pragmatisme atau suap. Makanya, indeks persepsi korupsi Indonesia di 2016 hanya beradas di peringkat 90 (skor 37), hanya naik satu poin dari tahun 2015, membuat Presiden tak happy. David Robertson (1976) dalam teori kemenonjolannya (the silence theory) pernah mengatakan parpol yang mengalami disorientasi fungsi dimungkinkan karena ia berada dalam posisi yang telah dapat diraih karena pernyataan-pernyataannya di waktu lalu dalam mempertahankan kekuasaan.

Kekuasaan dalam definisi target politik partai memiliki basis dan instrumen yang beragam mulai dari aktivitas propaganda, advokasi, merebut pemilih setia, mengakses kursi politik sebagai partitur utama memobilisasi modal dan materi kekuasaan ke segenap level kekuasaan. Memang dalam perspektif moral politik, prognesis partai merupakan instrumen sakral memperjuangkan kepentingan publik (bonum commune). Sayangnya dalam epistemologi kekuasaan, intensi ini lebih merupakan fatamorgana politik yang merenggut esensialitas kekuasaan terutama dalam mempertaruhkan opsi kuriositas: melayani, berkorban dan memberi diri bagi tegaknya kepentingan rakyat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tidak salah jika politik kita masih kental dengan cita rasa patrimonial. Patrimonial berasal dari istilah patrimonium yang artinya hak milik. Sebuah konsep politik yang berbasis pada kuasa untuk memiliki karena kekuasaan. Ketiadaan korelasi antara penyejahteraan rakyat dan politik berbasis demokrasi selama ini antara lain karena watak patrimonial para elite kita yang terlampau bernafsu memiliki aset dan kekayaan negara, dengan cara-cara yang kotor dan tak adil.

Survei lembaga riset Lingkaran Survei Indonesia (LSI) sudah lama menyitirburuknya citra politisi.Di tahun 2011 misalnya, hanya 23,4 persen yang menganggap positif citra politisi, sisanya, 51,3 persen menilai buruk atau sangat buruk dan 25,3 persen memilih tidak tahu atau tidak menjawab. Padahal tahun 2005, 44,2 persen responden menilai kerja politisi masih relatif baik.

Sebelumnya, survey tahun 2011 terhadap kelompok muda muslim Indonesia (15–25 tahun) menunjukkan hal sama. Tak satu pun tertarik menjadi politikus. Mereka lebih memimpikan menjadi ayah/ibu yang baik (30 persen), wirausahawan (13 persen), PNS atau tentara (13 persen), orang kaya (8 persen), pemimpin (7 persen), ilmuwan (5 persen), artis (4 persen), dan orang terkenal (2 persen). Berkaca dengan kinerja politisi yang makin suram, data tersebut tentu masih relevan hingga kini.

Rendahnya citra politisi diperparah lemahnya integritas dan komitmen kebangsaan politisi. Berbagai kasus korupsi dengan sadar dan terjadi dari pusat sampai daerah yang menghunjam para petinggi dan penguasa (Gubernur, Bupati/Walikota beserta jajaran birokrasinya) dengan modus korupsi sistemik memberikan sinyal: politisi kita telah lama terborgol dalam rantai politik patrimonial. Demokrasi akhirnya potensial melahirkan politisi persekot, perjudian jabatan, regulasi hingga “cinta segitiga” yang semuanya melacurkan kedaulatan rakyat.  

Jika politik sebagai panggilan, ia akan terikat adagium Laozi (dalam Daodejing, 2007:46): barang siapa menyadari cukup itu cukup, ia selamanya akan berkecukupan meskipun harus kehilangan jabatan. Sayangnya politik kini jadi panglima yang me-romusha- hukum, nilai-nilai kepantasan, temasuk agama.

Sejak abad pertengahan saat kerajaan-kerajaan di Eropa dibawah kekuasaan Vatikan Gereja Katolik dan kemudian disusul di Amerika Latin selama 30 tahun sampaiera sekarang seperti terjadi di Irak, Iran ataupun Turki, agama sudah dijadikan tameng untuk mempropagandakan peringai politik intimidasi, pecah belah dan kekerasan yang mengorbankan hak-hak rakyat kecil. 

Jim Wallis dalam The Soul of Politics (1994) dan God’s Politics (2005) mencoba menjawab dekadensi moral politis tadi dengan formula politik kemanusiaan: kejujuran, antikekerasan, kesederhanaan, kontemplatif serta tunduk pada nilai-nilai moral, agama. Nilai-nilai ini harus menjadi roh bagi politisi dengan menjadikan politik selaku ruang kontemplatif membangkitkan hasrat melayani dengan tanggung jawab asketikal pada rakyat sekaligus Tuhan.

Minimal dua hal didapatkan. Pertama, solidaritas moral dan kemanusiaan politisi terwujud dengan selalu konsisten melawan godaan nafsu (3 ta: harta, tahta dan wanita). Kedua, kerja politisi diaktualisasikan sepenuhnya bagi “keberlebihan” rakyat sebagai wujud pemenuhan panggilan demokrasi. Ini selaras kata Vo Key:  semua omongan tentang demokrasi tidak ada faedahnya kecuali jika berbagai pandangan masyarakat mendapat tempat dalam penyusunan kebijakan (Erickson & McIver,1988:12).

 

Oleh: Umbu TW Pariangu

Dosen FISIPOL Universitas Nusa Cendana, Kupang. 

Ikuti tulisan menarik umbu pariangu lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Fotosintesis

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Kamis, 9 Mei 2024 17:19 WIB

Terpopuler

Fotosintesis

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Kamis, 9 Mei 2024 17:19 WIB