Tubuh kecil itu menerabas badai dengan kaki sedikit terpincang- pincang. Ada duri kecil yang mendekam di dalam kulit telapak kakinya, tapi ia tak menyurutkan kaki untuk melangkah. Ia hanya membawa rangsel kecil dipunggung. Matanya tajam menatap langit yang penuh mendung menggelantung. Badai itu hanyalah satu rintangan dari ribuan ujian yang akan ia hadapi diperjalanan.Ya sang pengelana itu sedang mencari jawaban dari sebuah pertanyaan kecil tapi membuat orang orang dinegerinya itu heboh. “Ia bertanya apa itu penistaan agama?”. Bila ia bertanya pada teman-teman, ulama, rohaniwan, politisi, pejabat. Semua menjawab beda. Maka untuk mampu menjawab secara tepat tentang pertanyaan itu Sang Pengelana melakukan perjalanan keliling dunia.
Perjalanan yang ditempuh Sang Pengelana itu lama, memakan waktu,berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Ia terus bertanya pada orang-orang yang ditemuinya. Tidak ada jawaban yang memuaskan. Ketika kakinya yang pincang karena duri yang ada di kulit kakinya semakin membengkak, ia berhenti sejenak. Ia istirahat di suatu lembah ngarai, menyaksikan alam mempesona yang memukau.
Sejenak ia melupakan kesakitannya,melupakan pertanyaan-pertanyaan yang berkecamuk dalam bathinnya. Senyumnya mengembang merasakan semilir angin yang membelainya. Ia merasakan panorama di depan matanya itu, sungguh mentakjubkan. Ia meneliti segenap benda, baik makhluk hidup, maupun benda mati. Panorama itu indah karena keragaman benda yang ia temui, semuanya tidak ada yang sama. Tapi dari keberbedaan itu muncullah kembali sebuah jawaban kecil tentang arti sebuah agama bagi manusia. Ketika mengingat kembali tentang agama sang pengelana itu kembali menampakkan muka kusam. Setiap agama mengajarkan tentang cinta kasih, mengajarkan tentang kedamaian, tapi lihat bagaimana bumi terus berperang karena agama. Kata-kata nista seperti sebuah palu godam bagi penganut fanatik, tidak boleh ada satupun manusia yang boleh menista agama. Karena agama itu adalah suci, bekal menuju surga. Mereka menganggap jika tidak beragama berarti kafir, kafir itu dekat dengan pintu neraka. Sejenak kembali sang Pengelana menegarkan pandangan ke lembah. Di tempat ini benda-benda dan alam saling mengisi, saling melengkapi tanpa sekat, kenapa manusia beragama mesti membatasi diri hanya bergaul akrab dengan kaum yang seiman dalam penyeragaman dan paksaan. Orkestra dalam musik itu tampak indah ketika alat –alat yang digunakan ditiup, digesek, dipikul, disentuh dalam sebuah komposisi. Yang berbeda itu menjadi indah ketika diharmonisasi dalam sebuah fungsi sesuai dengan rasa dan biramanya. Saling mengisi, saling melengkapi itu pertunjukan mentakjubkan. Sang Pengelana heran mengapa banyak manusia merasa berhak menyeragamkan pikiran, memaksakan keimanan, mendoktrin manusia lain untuk sependapat. Bukankah akan percuma karena setiap otak manusia memang diciptakan berbeda, begitu juga pemikiran dan cara pandang manusia memandang sesuatu.
Di Negerinya Sang Pengelana merasa capek dengan ulah para Ulama, rohaniwan, Pemangku kekuasaan, mereka yang merasa mayoritas yang mencoba menindas pikiran minoritas. Mungkin bukan hanya negerinya, mungkin negeri lain juga sama. Negerinya meski sedang gaduh masih lebih toleran dari negeri-negeri lain yang pernah ia singgahi, ia hanya khawatir negaranya akan mengikuti negeri lain yang menganggap perbedaan itu suatu bencana.
Sang Pengelana masih punya waktu untuk merenung dan berkontemplasi. Ia seperti kembali ingat ketika ia mendengar cerita dari kakek neneknya dulu. Kejahatan memang ada dalam setiap zaman, tapi di zaman dahulu para tetua adat, Ulama dan Rohaniwan, jauh lebih bijaksana dalam memandang hidup.Apalagi saat berbicara tentang Keimanan, kepercayaan dan keyakinan pada Yang Maha Tunggal. Mereka menyerap suara alam, mendengarkan angin lembah, merasakan perubahan alam dengan menghargai adat istiadat, ritual-ritual, gotongroyong, tanpa sekat.
Sekarang manusia lebih mudah terprovokasi hanya dengan cuitan-cuitan di media sosial, merasa lebih pintar dari orang lain hanya dengan bekal ilmu seadanya. Dengan baju yang sengaja ditonjolkan untuk menunjukkan jati diri dan identitas kekhusukan. Mereka bisa hapal ayat-ayat tapi tidak memahami esensinya. Bisa menulis panjang tentang tafsir tapi tidak memahami filosofinya. Berteriak-teriak seakan-akan dunia dalam genggamannya, dan yakin Sang Maha Pencipta akan melihat betapa ia telah khusuk berdoa dengan melihat tanda ditubuhnya,baju yang ia kenakan dan pancaran wajahnya yang garang memerangi orang yang menista agama.
Tapi tahukah Tuhan, agama, keimanan itu tidak perlu pembelaan. Tanpa berkatapun Tuhan tahu yang manusia pikirkan. Tanpa dibelapun Tuhan sudah tahu apa yang harus dilakukan-Nya. Mengapa manusia perlu menjajah manusia lain hanya untuk meyakinkan bahwa merekalah yang terbenar. Apakah sebegitu lemahnya sampai agama dan Tuhan harus dibela.
Sang Pengelana berkata:”Untuk itulah aku mengembara, mencari jawaban, mengapa manusia beragama mudah marah hanya karena kata nista. Semakin manusia punya ilmu seharusnya manusia semakin sepi kata-kata, semakin diam, tapi semakin banyak bertindak bukan lewat mulut tapi dengan perbuatan baik, beramal dan melakukan kebaikan-kebaikan. Semakin berilmu manusia akan semakin merunduk dan menghargai bahwa setiap manusia itu berbeda. Dalam keberbedaan itulah kekayaan jiwa manusia teruji. Angin, badai, putingbeliung tak akan menyurutkan langkah hanya karena satu kata.”
Dalam sebuah mimpinya sang Pengelana seperti mendengar bisikan “Lihatlah lembah ngarai itu, jika manusia bisa seperti lembah ngarai itu alangkah indahnya bumi ini, tidak akan ada pertikaian melainkan sebuah harmoni, orkestrasi mentakjubkan, bisakah kau mewujudkannya?”Tergeragap Sang Pengelana Bangun dari tidurnya. Ia masih terngiang dengan kata-kata itu. Bisakah manusia hidup dalam harmoni keberbedaan?rasanya itu sebuah utopia, di negerinya ia ibaratkan seperti mencari jarum dalam jerami, atau menggarami lautan, sebuah kemustahilan, meski bagi Tuhan tidak ada yang mustahil.
Damai di Bumi damai di Hati. Salam damai buat para pembaca.
Jakarta, Februari 2017
Ikuti tulisan menarik Pakde Djoko lainnya di sini.