x

Iklan

Ranang Aji SP

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Satria dalam Lakon Dunia

Serat Tripama, karangan Mangkunagara IV ( 1809-1889 ) -tiga satria dalam zaman dan cerita yang berbeda muncul dalam satu sikap; pengabdian dan loyalitas.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dalam serat Tripama, karangan Mangkunagara IV ( 1809-1889 ) -tiga satria dalam zaman dan cerita yang berbeda muncul dalam satu sikap; pengabdian dan loyalitas. Patih Suwanda, Kumbakarna dan Surya Putra. ketiganya pemilik sikap itu. Dalam masing-masing cerita, ketiganya gugur dalam sebuah misi pembelaan. Bukan sekedar pembelaan yang membuta, tentu saja. Mereka membela hati nurani.  Dengan kesadaran.

Menyebut hati nurani, mungkin terlalu absurd kedengarannya, namun apapun ia adalah sumber dari segala alasan untuk rela mati dari seorang yang menyebut dirinya seorang satria.

Patih Suwanda, misalnya, memiliki tiga prinsip sebagai satria yang mengabdi pada raja dan negaranya; 'Berguna, Berani dan Berhasil'. Sebagai seorang yang sudah mengabdi, seorang satria harus memiliki fungsi dan berguna bagi negaranya. Keberanian dan keberhasilan adalah laku takdir sampai pada kematian. Kita juga bisa melihat bagaimana Kumbakarna dan Surya Putra terikat pada prinsip yang sama. Loyalitas dan mengabdi pada raja, pada negaranya. Dan itu adalah hati nurani.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di masa modern, sikap kesatriaan adalah model yang dikemas oleh revolusi industri  sejak 1760-an sebagai barang dagangan. Untung rugi sama artinya dengan nilai pertukaran barang semata. Sikap satria menjadi beku dan hanya bersifat fetish pada sebagian kecil dalam masyarakat modern. Ketika kita melihat korupsi, misalnya, atau para politisi berlaku sebagai komprador yang menjual negerinya sendiri -kita mencatatnya, ia bukan ksatria . Seorang Amien Rais atau Megawati atau Prabowo atau Jokowi atau politisi lain yang berputar pada retorika, ia bukan satria. Mereka dituntut bukti, bukan sekedar kata-kata.

Satria adalah sikap. Keteguhan pada prinsip-prinsip kebenaran hati nurani. Hidup sebagai moral di setiap waktu dan ruang. Hidup dalam relung kemanusiaan di dalam manusia. Satria adalah pemimpin yang mampu melawan hasratnya sendiri. Ada pengorbanan, ada kesetiaan, seperti halnya Ibrahim as yang teruji oleh tuhannya. Atau seperti Muhammad SAW nabi orang Islam, Umar bin Khatab, Sang Khalifah di masa lalu -dan mungkin juga seperti juga Jose Mujica, presiden yang rela sederhana untuk rakyatnya di Uruguay di abad 21 ini.

Mereka, persis dimana posisinya mengujinya sebagai satria sejati. Ada kekuasaan, ada kekayaan yang bisa dengan mudah didapatkan. Tetapi, mereka abaikan, mereka memilih memberi arti sesungguhnya menjadi seorang politisi, pemimpin bagi rakyatnya. Dengan keteladanan. Dan itu pengorbanan.

Menjadi satria, mungkin tak harus beragama, seperti Jose Mujica membutikkan. Ia hanya butuh hati nurani yang bersih sebagai manusia. Tetapi, dengam agama seharusnya menjadi lebih baik jalannya.

Seorang satria, dan mungkin yang kita maksud adalah para pemimpin -seharusnya kita melihat pada Muhammad SAW, Umar bin Khatab dan Jose Mujica sebagai satria sejati.[] ilustrasisumber: iwanmuljono.blogspot

Ikuti tulisan menarik Ranang Aji SP lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB