x

Iklan

Faiz Abdalla

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Moral Hukum Penonaktifan Ahok

Barangkali yang perlu dipahami bersama, dalam kaidah hukum, sebuah pasal tidaklah berdiri sendiri. Ada filosofi, nilai, serta moral yang dikandungnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Betapa Ahok menjadi magnet perpolitikan di Indonesia saat ini. Sejak menjabat Gubernur DKI, ia tidak henti-hentinya menjadi perbincangan publik. Yang paling menghebohkan, saat pidatonya di kepulauan Seribu beberapa waktu lalu berujung aksi unjuk rasa berjilid-jilid yang konon diikuti jutaan orang. Kasusnya pun sampai ke persidangan. Setiap sidang, polisi harus mensiagakan keamanan ekstra karena di luar tempat sidang, massa baik pendukung maupun kontra turut mengawal persidangan.

Kuatnya magnet Ahok tersebut, oleh Refly Harun, diungkapkan dalam kolomnya “Semua karena Ahok” (Detik, 11 Agustus 2016). Dalam tulisan itu, Refly memberi catatan perihal lahirnya UU No 10/2016 tentang Perubahan Kedua UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Terkumpulnya lebih dari satu juta tanda tangan oleh Teman Ahok yang dibutuhkan untuk maju dalam jalur perseorangan, dinilai Refly, telah mampu menggetarkan partai-partai di Senayan. Melalui regulasi perubahan undang-undang tersebut, syarat calon perseorangan pun diperberat. Semua dukungan harus diverifikasi dengan cara sensus, mencacah satu demi satu jiwa. Sebelumnya cukup dilakukan verifikasi dengan sistem sampling.

Terbaru, keputusan Pemerintah melalui Kemendagri yang mengaktifkan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta turut menuai pro dan kontra di masyarakat. Persoalan bermula dari adanya perbedaan tafsir atas Pasal 83 Ayat (1) UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal itu berbunyi “Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bunyi pasal itu memantik perdebatan serius di antara sejumlah ahli hukum tata negara lantaran kebijakan Pemerintah yang tidak memberhentikan sementara Ahok sesuai ketentuan pasal tersebut kendati saat ini status Ahok adalah terdakwa. Menteri Dalam Negeri melalui pernyataannya di situs resmi Kemendagri menyatakan, Pemerintah menunggu tuntutan resmi jaksa terhadap Ahok sebelum memutuskan memberhentikan sementara Ahok. Bila tuntutannya 5 tahun, akan diberhentikan sementara. Namun bila di bawah 5 tahun, akan tetap menjabat sampai putusan berkekuatan hukum tetap. Artinya, tuntutan jaksalah yang menjadi inti dari tafsir Pemerintah atas bunyi Pasal 83 Ayat (1) tersebut.

Terkait hal itu, Mahfud MD berpandangan, sesuai bunyi Pasal di UU Pemda, Ahok yang kini didakwa dengan dakwaan alternatif, yakni melanggar Pasal 156 a KUHP atau Pasal 156 KUHP, selayaknya diberhentikan sementara. Ancaman Hukuman Pasal 156 a KUHP ialah selama-lamanya 5 tahun. Menurutnya, seseorang kepala daerah yang didakwa melakukan tindak pidana dengan ancaman hukuman paling singkat 5 tahun harus diberhentikan sementara. Ahok yang saat ini dikenai dakwaan Pasal 156 a KUHP memenuhi persyaratan itu karena ancaman hukumannya paling lama 5 tahun. Pemberhentian sementara itu sudah bisa dilakukan begitu Ahok terdakwa, tanpa menunggu tuntutan penuntut umum dibacakan di persidangan (Kumparan, 9 Februari 2017).

Pendapat lain dikemukakan oleh Refly Harun. Ia memiliki tafsir berbeda atas UU No 23/2014. Berangkat dari aturan sebelumnya, yakni UU No 32/2004 tentang Pemda sebelum diubah oleh UU No 12/2008 yang di dalam Pasal 31 Ayat (1) menyebutkan ada empat jenis tindak pidana yang bisa membuat seorang kepala daerah diberhentikan sementara. Empat Kejahatan itu ialah korupsi, terorisme, makar, dan tindak pidana terhadap keamanan Negara. Penodaan agama yang diduga dilakukan Ahok, menurut Refly, tidak termasuk jenis kejahatan yang di dalam UU tersebut (Kompas, 14 Februari 2017).

Selain itu, frasa “selama-lamanya 5 tahun” dalam Pasal 156 a KUHP apakah sama dengan “paling sedikit 5 tahun” dalam Pasal 83 Ayat (1), juga menjadi pertanyaan. Di dalam Pasal 83 UU Pemerintahan Daerah tersebut, dikatakan paling singkat 5 tahun, sementara Ahok diancam paling lama 5 tahun. Menurut Refly, frasa “paling singkat 5 tahun” merujuk ke kategori kejahatan berat, sedangkan frasa “paling lama 5 tahun” merujuk ke kejahatan menengah atau ringan (Detik, 11 Februari 2017).

Adapun dari kacatama berbeda, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Satyo Arinanto, berpendapat bahwa keberadaan pasal-pasal yang mengatur syarat pencalonan kepala daerah dan pemberhentiannya sejatinya memiliki filosofi awal yang mulia, yakni menjadikan kepala daerah sebagai pemimpin yang tidak memiliki cela atau cacat hukum, bersih, dan berintegritas. Dikatakannya, filosofi awal dari adanya Pasal 83 Ayat (1) adalah untuk menjaga supaya kepala daerah tidak cacat hukum. Meski baru didakwa, itu sudah memenuhi persyaratan minimal sebagai kepala daerah yang tersangkut persoalan hukum (Kompas, 14 Februari 2017).

Pendapat terakhir ini, ada baiknya dipertimbangkan oleh Pemerintah. Pendapat tersebut menyiratkan pentingnya moral hukum di atas teks hukum. Pemerintah sudah seharusnya mempertimbangkan moral hukum, tidak sekedar menafsirkan sebuah pasal secara tekstual-positivis. Toh, keputusan tersebut secara sosial-politik ternyata menimbulkan kagaduhan baru dan meninggalkan kesan ada pembelaan Pemerintah terhadap Ahok. Itu yang seharusnya dihindari, kendati harus diakui, perbedaan penafsiran hukum ialah hal yang wajar dan harus dihargai.

Barangkali yang perlu dipahami bersama, dalam kaidah hukum, sebuah pasal tidaklah berdiri sendiri. Ada filosofi, nilai, serta moral yang dikandungnya. Sebuah nilai yang dianggap baik akan dinormakan menjadi sebuah perintah untuk dilakukan. Sebaliknya, nilai yang dianggap buruk akan dinormakan menjadi sebuah larangan untuk dihindari. Itulah mengapa, dalam konstelasi filsafat, filsatat hukum merupakan bagian dari filsafat etika. Karena ada nilai, filosofi, dan moral yang hendak diwujudkan melalui norma atau pasal di dalam peraturan perundangan-undangan. Maka dalam keputusan pengaktifan kembali Ahok tersebut, ada baiknya Pemerintah juga mempertimbangkan moral hukum dari Pasal 83 Ayat (1) tersebut, sebagaimana disampaikan oleh Satyo Arinanto.

Memperhatikan moral hukum sudah seharusnya menjadi prinsip penegakan hukum di negara ini. Tidak sekedar dalam kasus tertentu, namun penegakan hukum secara keseluruhan. Hukum seringkali tidak mampu menjangkau dimensi keadilan dan kemanfaatan, karena filosofi, nilai, serta moral yang terkandung di dalam kaidah hukum tersebut tidak diperhatikan. Padahal, hal itulah yang menjadi ruh dari teks-teks kaidah hukum. Dalam tataran praktis, sering dijumpai teks-teks hukum dipahami tanpa memperhatikan ruhnya. Akibatnya, hukum mengalami degradasi, sekedar menjadi alat justifikasi kepentingan politis semata.

Ikuti tulisan menarik Faiz Abdalla lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu