x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kolaborasi Cina-Jawa dalam Sastra

Sastra China yang ditulis dengan bahasa Jawa, dikemas dalam bentuk Tembang Mocopat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul: Klempakan Cariyos Tionghwa Sik Jin Kwi Ceng Seng

Alih aksara: Dwi Woro Retno Mastuti

Penerbit: Wedatama Widya Sastra

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tebal: ix + 417 halaman

ISBN: 978-979-3258-70-6

 

Perjumpaan antar budaya selalu menghasilkan penjumputan, pencampuran dan bahkan penggabungan budaya. Sejarah budaya Nusantara menunjukkan bukti-bukti adanya perjumpaan antar budaya tersebut.

Salah satu contoh peleburan dua budaya sehingga menghasilkan budaya baru adalah wayang purwa. Wayang purwa menggunakan cerita-cerita dari India namun disajikan dalam cara pandang (worldview) Jawa. Jadilah wayang purwa menjadi sangat Jawa tanpa kehilangan warna Indianya. Namun ada juga penggabungan dimana warna aslinya tetap mewujud secara dominan. Contohnya pencampuran gamelan dengan alat musik barat.

Seperti telah diketahui bahwa salah satu budaya yang berjumpa dengan budaya Nusantara adalah budaya China. Perjumpaan kedua budaya ini telah mengejawantah dalam berbagai bentuk, seperti: batik dan model pakaian, jenis-jenis makanan, gambang kromong dan cokekan. Dalam khasanah tulis, ditemukan berbagai naskah yang merupakan wujud perjumpaan kedua budaya tersebut. Setidaknya ada 119 naskah Cina-Jawa yang tersebar diberbagai perpustakaan dalam dan luar negeri (vii).

Salah satu naskah Cina-Jawa berjudul Klempakan Cariyos Tiongwha, yang isinya adalah kisah tentang Sik Jin Kwi berperang ke barat. Naskah ini ditulis dalam aksara dan Bahasa Jawa dalam bentuk tembang macapat.

Kisah diawali dengan pertemuan di Kerajaan Tong Tya yang dipimpin oleh Raja Li Si Bin. Urutan cerita mengambil model wayang purwa, yaitu jejer di sebuah negeri, diikuti dengan ekskalasi konflik, gara-gara dan kemudian penyelesaian konflik.

Tembang macapat umumnya terdiri dari (1) Maskumambang, (2) Mijil, (3) Kinanti, (4) Sinom, (5) Pangkur, (6) Asmaradana, (7) Dandanggula, (8) Durmo, (9) Gambuh, (10) Megatruh, (11) Pocung. Urutan tembang ini berdasarkan urutan hidup manusia. Hidup manusia dimulai dari kandungan (maskumambang), lahir (mijil), bayi (kinanti), anak-anak dan remaja (sinom), masa muda (pangkur), berjodoh (asmorodono), bekerja dan berkarya (dandanggula), berperhatian kepada sesama (durma), manula (gambuh), meninggal (megatruh) dan akhirnya dipocong untuk dikubur (pocung).

Meski naskah ini tidak disusun berdasarkan urutan tembang seperti diatas, namun aturan-aturan lain (gatra, guru wilangan dan guru lagu) dalam penyusunan cerita dalam bentuk tembang tetap rapi dipertahankan. Agak aneh memang menemukan kata-kata atau nama-nama China dalam tembang macapat. Jadi harus benar-benar berhati-hati saat mencoba menembangkannya.

Dwi Woro Retno Mastuti menyatakan bahwa selain alih aksara, naskah ini juga sudah berhasil di-Indonesia-kan. Sayangnya, karena keterbatasan dana, versi Indonesia dari naskah ini belum bisa diterbitkan. Padahal, tidak semua orang Jawa masih bisa berbahasa Jawa, apalagi mengikuti alur pikir yang dikemas dalam tembang macapat.

Upaya seperti yang dikerjakan oleh Mbak Woro ini perlu didukung. Dengan demikian naskah-naskah yang mempunyai nilai luhur tidak hanya menjadi penghuni rak perpustakaan atau hanya bisa dinikmati segelintir orang yang memang mengkhususkan diri dibidang ini. Semoga ke depan lebih banyak naskah yang dialih-aksara-kan dan dialih-bahasa-kan.

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler