x

Iklan

Kukuh Giaji

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Salawaku dan Mereka yang Tidak Pernah Diberikan Kepastian

Resensi Film ‘Salawaku’ oleh Kukuh Giaji – Spoilers Alert !

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

SIAPA yang mengenal Pritagita Arianegara? Namanya belumlah dikenal publik maka wajar apabila Salawaku sempat ditolak oleh salah satu jaringan gedung bioskop Tanah Air pada pertengahan 2015 silam. Beruntungnya, sederet penghargaan menghampiri film panjang ini, sebut saja pemutaran perdananya di Tokyo International Film Festival (TIFF) 2016 dan dinominasikan untuk kategori Asian Future. Tidak sampai disitu, film perdana Pritagita Arianegara ini menorehkan banyak prestasi di Indonesia dengan memenangkan Piala Dewantara sebagai Film Panjang Bioskop Terbaik 2016 dalam Apresiasi Film Indonesia (AFI) serta mendapatkan delapan nominasi di Festival Film Indonesia 2016 (FFI) dengan membawa pulang tiga Piala Citra untuk kategori Pemeran Anak Terbaik, Pemeran Pendukung Wanita Terbaik dan Pengarah Sinematografi Terbaik.

Lantas bagaimana kisah Salawaku menjadi begitu spesial hingga dapat memborong banyak penghargaan?

Film ini menceritakan tentang pertemuan dan pelarian dua manusia, yaitu Salawaku (Elko Kastanya) dan Saras (Karina Salim). Perbedaan usia, kepentingan dan sifat membawa mereka dalam satu buah ekspedisi panjang menuju Piru untuk menemukan kakak Salawaku, Binaiya (Raihaanun) yang mengasingkan diri. Dalam perjalanan tanpa arah itu bertemulah mereka dengan kakak angkat Salawaku, Kawanua (JFlow Matulessy) yang akhirnya menjadi penunjuk arah mereka untuk sampai ke Piru. Ternyata di balik kebaikan itu tersimpan polemik di hati Kawanua dan kegundahan yang berkecamuk di pikiran Saras, sementara diam-diam Salawaku menjadi pribadi yang belajar bahwa hidup itu tidaklah melulu sederhana.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sebagai sebuah film drama dengan cerita ala kadarnya, Pritagita Arianegara ternyata mampu membawa Salawaku menjadi film yang jauh dari kata kesan biasa. Pertama, dilihat dari penempatan cerita yang mengambil lokasi di Pulau Seram, Maluku. Kedua, menempatkan unsur-unsur budaya lokal dalam penceritaan, berupa makanan khas ataupun budaya adat istiadat serta penggunaan bahasa. Ketiga dan yang paling penting adalah bagaimana lanskap indah Maluku dapat tertangkap sempurna di tangan Faozan Rizal tanpa cela di tengah-tengah banyak film serupa yang hanya mampu sekedar menampilkan keagungan alam nusantara tanpa sepercik makna di dalamnya.

Mereka yang ditinggalkan

Salawaku dimulai dengan kisah seorang bocah lelaki bernama Salawaku yang ditinggalkan oleh kakak perempuannya, Binaiya. Desas desus beredar kalau kakaknya telah melakukan hal terlarang di kampung. Berbekal tekad dan nekat, ia akhinya memutuskan mencuri kapal untuk mencari kakaknya di Piru. Di perjalanan ia menemukan seorang perempuan terdampar di pulau tak berpenghuni. Kasihan, ditolonglah perempuan yang bernama Saras itu. Diam-diam Saras menyimpan keresahan mengenai kenyataan pahit hidupnya: Kekasihnya belum siap untuk menikahi dirinya. Baik Salawaku dan Saras ternyata adalah dua manusia yang telah ditinggalkan.

Umumnya - polemik drama seperti ini sudah lazim ditemukan dalam film-film Indonesia apabila kita hanya mau mempersoalkan cinta saja. Namun Salawaku ternyata lebih dari itu ketika karakter Kawanua terangkat ke permukaan.  Sebagai road movie sudah sewajarnya apabila kita akan menemukan kejutan hingga intrik di tengah-tengah perjalanan tiga insan ini menuju Piru.

Kawanua dengan mencenangkan menjadi sosok yang meninggalkan Binaiya karena ketidaksiapannya menghadapi ‘Upu Latu’ untuk mengakui perbuatan tidak senonohnya. Ia merupakan putera dari orang yang dihormati satu kampung sehingga enggan untuk mengaku bahwa Binaiya tengah mengandung anaknya. Kompleksitas ini membawa Saras menjadi tokoh tritagonis untuk menengahkan perseteruan antara Salawaku – Binaiya – dan Kawanua. Sementara di benaknya, konflik mereka bertiga serupa dengan apa yang kini tengah dihadapinya.

Melalui sebuah voice over dan barisan pesan singkat kita akan tahu betapa Saras menanti untuk dipersunting oleh kekasih yang ternyata belum punya nyali dengan dalih ‘tidak siap’. 

Tubuh wanita dan superioritas laki-laki

Ada dua hal yang perlu diingatkan disini : Kita kini tidak lagi akan berbicara semata soal cinta tetapi bagaimana akhirnya Salawaku menjadi film yang menyadarkan betapa rapuhnya posisi wanita atas tubuhnya sendiri dan kuasa laki-laki atas itu begitu besar.

Kenapa saya bisa bilang demikian? Sungguh mudah dijelaskan : lelaki hanya menanam benih sementara wanita yang menuainya selama sembilan bulan. Secara alamiah itulah yang terjadi, embel-embel ‘wanita ada bekasnya sementara lelaki tidak ada’ juga kerap dibercandakan banyak pihak. Begitu menyenangkan bukan menjadi seorang lelaki? Mereka bisa dengan mudah lepas dari tanggung jawab seperti yang dilakukan Kawanua dan kekasih Saras sementara yang menanggung pilu adalah wanita seperti Binaiya (mengasingkan diri untuk menghindari malu) dan Saras (terpaksa menggugurkan kandungannya). Superioritas laki-laki dan bagaimana ketidakberdayaan wanita atas dirinya sendiri jelas dipertontonkan disini.

Sejak awal film, kita dapat melihat atensi pembuat film hendak memberitahukan kedekatan antara Binaiya dengan Tuhan. Kedekatan itu tergambarkan dari adegan ia membawa rosario kemana saja. Ada sekuen yang menampilkan bagaimana Binaiya menatap rosario dengan penuh penyesalan. Dari gambar-gambar tersebut, kita dapat mengangkap realita bagaimana iman pun tidak dapat menahan gejolak nafsu manusia. Penyesalan selalu datang terlambat.

Berlawanan dengan itu, Saras di satu sisi merupakan seorang wanita modern yang hingga akhir film tidak terkuak mengenai keimanannya. Film ini memang bukan menyoal iman tetapi lebih kepada menempatkan dua tokoh sentral dengan karakter berbeda namun memiliki satu persamaan: wanita.

Menurut saya selaku penonton, Pritagita Arianegara di film inimemang ingin mempertunjukkan bagaimana fenomena ‘kehamilan tidak terduga’ ini nyata dapat terjadi dimana saja. Bahkan jauh di dalam sudut Pulau Maluku yang jauh dari hingar bingar kehidupan modern pun aktivitas seksual tanpa ikatan pernikahan dapat terjadi selama dua insan manusia tengah dimabuk cinta.

Baik Saras maupun Binaiya tidaklah punya banyak pilihan selain menunggu, menunggu dan terus menunggu. Masalahnya ‘sampai kapan?’. Berbeda dengan Binaiya yang diakhir film memiliki kepastian terhadap kelanjutan nasibnya, Saras masih terus mempertanyakan bagaimana akhir kisahnya akan berakhir.

Pada akhirnya, film Salawaku sebenarnya memiliki sentral cerita pada karakter Saras yang kebetulan tengah mencari jawaban untuk hidupnya sendiri lalu menjadikan Sawalaku sebagai sampan yang membawanya terombang-ambing di lautan untuk menemukan kembali jati dirinya. Karena memang “Hidup itu cuman tentang meninggalkan dan ditinggalkan”.

Ikuti tulisan menarik Kukuh Giaji lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu