x

Pelajar asal Thailand hampir selesai melukis Topeng Malangan sebagai sarana edukasi dan perkenalan terhadap budaya nusantara di SMA Negeri 2 Malang, Jawa Timur, 20 Januari 2016. TEMPO/Aris Novia Hidayat

Iklan

Akal Sehat

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Revolusi Mental Dalam Perspektif Pendidikan Karakter Bangsa

Ada 4 hal pokok yang perlu diperhatikan dalam membentuk karakter anak bangsa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejak jargon revolusi mental digaungkan kita belum memahami secara baik agenda nyata revolusi mental tersebut. Padahal sebagai sebuah konsep dan strategi pembangunan non fisik (SDM) revolusi mental bukan tidak mungkin dapat menjadikan bangsa ini keluar dari masalah krisis karakter bangsa. Oleh karena itu, semestinya pemerintah memiliki program-program yang jelas, Jangan sampai revolusi mental tinggal slogan semata. Partisipasi masyarakat dari segala lapisan diperlukan karena inisiatif negara saja dalam menafsirkan dan menjalankan revolusi mental tidaklah cukup.

Bung Karno dalam sejarah memang tidak pernah menyebut istilah revolusi mental secara langsung tetapi mengkaitkan semangat jiwa revolusi itu dengan pembangunan SDM yang beliau sebut sebagai Nation and Character Building. Beliau tidak ingin bangsa Indonesia berjiwa inlander, memandang rendah diri sendiri tetapi memandang agung pada bangsa asing sebagai fenomena yang muncul disana sini terutama dikalangan kaum intelektual. Oleh karena itu beliau menilai bangsa ini perlu bebas dari mentalitas kaum terjajah yang sering dihinggapi perasaan rendah diri. Dengan jiwa revolusi 1945 bangsa ini mencapai momentum mental yang memungkinkan kita bergerak maju. Menurut beliau, jiwa revolusi bukanlah revolusi istana atau revolusi pemimpin melainkan revolusi rakyat, oleh sebab itu revolusi tidak boleh “main atas” saja tetapi harus dijalankan dari atas dan bawah”. Kata beliau revolusi kita adalah revolusi yang sekaligus “memborong” beberapa persoalan, Ia adalah revolusi politik, juga revolusi ekonomi dan sosial termasuk tentunya revolusi kebudayaan dan karakter bangsa. (lihat Dibawah Bendera Revolusi,1964 hal. 356-388).

Keperihatinan sekaligus kepedulian Bung Karno terhadap kondisi bangsa saat itu menandakan pentingnya diperhatikan pembangunan karakter bangsa. Dalam konteks bernegara sektor yang menaruh perhatian terkait hal ini adalah dunia pendidikan. Oleh karenanya berbicara revolusi mental tidak bisa kita lepaskan dari persoalan pendidikan yang mencuat di tanah air kita. Apa yang menjadi masalah utama bangsa dan terkait dengan pendidikan karakter di Indonesia?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Meningkatnya kriminalitas, aksi anarkis, perundungan, korupsi dan sejumlah perilaku menyimpang yang dilakukan banyak anak bangsa dari berbagai kalangan di negeri ini merupakan wujud-wujud kelemahan karakter bangsa. Kasus-kasus dan berbagai peristiwa runyam tersebut tidak hanya fenomena puncak gunung es, tetapi sudah menjadi persoalan menggunung. Publik cukup lama mensinyalir adanya degradasi dan memburuknya kualitas akhlak budi pekerti anak didik.

Dalam keterkaitan inilah maka pendidikan karakter bangsa menjadi begitu penting dilakukan agar tujuan pendidikan yang mengembangkan potensi peserta didik sebagaimana dikemukakan dalam UU pendidikan nasional dapat dioptimalkan. Pendidikan karakter tidak mesti diejawantahkan dan dikemas khusus dalam mata pelajaran terpisah tetapi setiap mata pelajaran bisa memiliki keterkaitan dalam pembentukan karakter peserta didik. Dengan demikian semua guru bidang studi haruslah sosok guru terpilih yang memiliki keteladanan dan mampu menjadi sumber inspirasi bagi anak didiknya dalam pembentukan karakter.

Pada zaman sekarang membentuk karakter anak didik amat sulit, tugas guru masa kini sejatinya lebih berat karena demikian banyak pengaruh negatif dari lingkungan sekitar yang berdampak bagi perkembangan anak usia sekolah terutama mereka yang berada di rentang usia kanak-kanak hingga remaja. Pengaruh pemanfaatan teknologi informasi berikut dampak yang menyertai berimplikasi terhadap gaya hidup murid dan turut mempersulit guru dalam upaya menjalankan fungsi pendidikan dan mencapai tujuan pendidikan yang hakiki.

Paling tidak ada 4 hal pokok yang perlu diperhatikan terkait keberhasilan atau kegagalan dalam membentuk karakter anak bangsa. Pertama, kondisi kehidupan rumah tangga dan lingkungan masyarakat. Kerapkali kita terlalu percaya pada dunia persekolahan (pendidikan formal) dalam membentuk kepribadian sang anak, namun seolah lupa dan tidak menyadari bahwa sesungguhnya sebagian besar waktu anak berada di rumah dan lingkungan sekitar. Sejumlah penelitian sosial menunjukkan bahwa para pelaku tindak kriminal kekerasan, perbuatan keji pada umumnya mengalami ketidakharmonisan hidup semasa masih anak-anak hingga beranjak dewasa baik ketika berada di rumah maupun di lingkungannya.

Cara keliru orang tua dalam memperlakukan anak berdampak negatif terhadap pertumbuhan kejiwaan anak. Anak yang diperlakukan orang tuanya secara keras, kasar dan otoriter serta perlakuan tak menyenangkan lainnya bisa ditiru oleh anak ketika berada diluar rumah. Apalagi jika lingkungan sosial anak juga memfasilitasi atau mentolerir perbuatan buruk tersebut berlangsung masif dan permisif, maka kegagalan karakter bangsa tinggal persoalan waktu saja. Pemerintah nyaris tidak memiliki program nyata dan terukur untuk mengedukasi orang tua dalam berinteraksi dengan anak-anaknya dirumah. Ditambah lagi pranata sosial di lingkungan sekitar juga tidak mendukung terbentuknya karakter anak bangsa yang diinginkan.

Kedua, sistem pendidikan di sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan lebih berorientasi pada aspek akademik semata tanpa menyediakan porsi semestinya dalam pengembangan karakter anak didik melalui pendidikan yang bersifat kecakapan insani (soft skills). Paradigma dan cara pandang pemangku kepentingan pendidikan mulai dari pejabat pembuat kebijakan hingga ke tataran praksis pendidikan yakni guru dan tenaga kependidikan telah terbentuk kuat bahwa kualitas seorang anak didik itu identik dengan kepandaian akademiknya. Sehingga segala upaya kegiatan persekolahan mengarah pada kecerdasan intelektual ketimbang mengasah atau mencuatkan berbagai kecerdasan lain (multiple intelligence) termasuk dalam membina akhlak budi pekerti anak didik.

Ketiga, kecakapan guru masih terbatas dalam meningkatkan kualitas soft skills anak didik. Peranan guru dalam sistem pendidikan kita sesungguhnya amat luar biasa penting, akan tetapi perhatian pemerintah terhadap pendidikan guru belum memadai kecuali melihatnya dari peningkatan kesejahteraan guru semata. Dahulu IKIP sebagai lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) yang dtugaskan untuk menyediakan guru berkualitas bukannya dibenahi, diperkuat dan diberdayakan malah dihapuskan oleh pemerintah, kemudian berubah menjadi universitas sebagaimana universitas umum lain. Dengan demikian tampak bahwa penanganan terhadap peningkatan kualitas guru tidak dimiliki pemerintah karena LPTK tidak lagi diwujudkan sebagai institusi penyedia guru yang sistematik dan sistemik bagi kemajuan pendidikan bangsa melainkan direduksi menjadi bagian-bagian terpisah yang bersifat "crash program" dan tidak komprehensif.

Keempat, dengan melihat ketiga masalah diatas tampak bahwa ternyata pelaksanaan pendidikan di Indonesia tidak dijalankan berdasarkan legalitas, data, fakta, konsep dan teori pendidikan yang relevan. Ambil contoh, pada sistem pendidikan nasional (SPN) no. 20 tahun 2003 pasal 3 sudah sangat jelas disana bahwa arah pendidikan kita lebih pada membentuk orang-orang yang berkarakter (pasal itu memuat paling tidak 8 atribut soft skills – beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab – dan hanya 2 atribut hard skills – berilmu dan cakap - dalam memfungsikan tujuan pendidikan) tetapi ketika UU tersebut turun dalam bentuk peraturan menteri/pemerintah hingga ke level implementasinya di lapangan, ternyata lebih mengarah pada kedua atribut hard skills saja. Alhasil, arus utama (mainstream) kegiatan pendidikan di Indonesia lebih menonjolkan pada aspek intelektualitas (pinter) semata ketimbang mentalitas (karakter).

Oleh Aries Musnandar

Penasehat Ikatan Alumni Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Jakarta

Penasehat CIES FEB Universitas Brawijaya, Malang JATIM

Konsultan Senior HRD “Total Excellent Performance” 

 

Ikuti tulisan menarik Akal Sehat lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB