x

Iklan

Fikri Angga Reksa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Apakah Saya Orang yang Mudah Terpengaruh Propaganda?

Tulisan ini merupakan refleksi dari seni pertunjukan kontroversial bertajuk #makanmayit karya Tontey.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pagi ini (Senin, 27 Februari 2017) ketika saya sedang menyimak linimasa penganugerahan Piala Oscar, saya terusik oleh kicauan @falla_adinda. Ia mengungkapkan kritiknya terhadap seniman Natasha Gabriella Tontey yang menggelar pertunjukan seni kontroversial di Kemang beberapa waktu lalu. Judul pertunjukkannya pun bagi saya sarat polemik: Makan Mayit. Kemudian saya menyadari ternyata hashtag #makanmayit sudah bertengger di posisi kedua trending tropic persis di bawah #oscars. Dari informasi-informasi yang bertebaran di Twiiter tersebut, saya mengetahui seluk beluk prosesi acara hingga sekilas profil tentang seniman yang dikenal dengan sebutan Tontey itu. Saya mencoba untuk berpikiran terbuka dan memahami pesan yang ingin disampaikan Tontey.

Siapa Tontey?

Saya baru pertama kali mendengar nama Tontey. Saya juga tidak pernah menyaksikan karya Tontey yang meliputi seni fotografi, instalasi, desain grafis, dan medium lainnya. Dari komentar yang beredar, Tontey disebut-sebut sebagai seniman hipster dan memiliki pemikiran yang out of the box. Namun, berdasarkan info yang saya peroleh dari portal vice.com, Tontey memang kerap kali menggelar pertunjukan seni yang nyeleneh.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sepak terjangnya di dunia seni terbilang cukup moncer. Ia pernah meramaikan pameran seni dan berkolaborasi dengan seniman Australia. Selain itu, seniman muda ini pernah mengikuti program residensi seniman di Distrik Koganecho, Kota Yokohama, Jepang pada 2015. Akhir Januari lalu, Tontey menghelat pertunjukan bertajuk Little Shop of Horrors. Konsep yang diusung antara lain berkaitan dengan kanibalisme, makhluk astral, propaganda, dan hal-hal ganjil lainnya. Yang membikin pertunjukan ini kontroversial tentu saja prosesi makan mayit.

Kontroversi

Prosesi makan mayit ini dihadiri oleh para undangan, beberapa di antaranya Keenan Pearce dan Kartika Jahja. Dari foto yang beredar, saya merasa suasana seni pertunjukan ini mirip kelompok penganut aliran sesat dalam film The Invitation (2015). Sangat kelam dan janggal. Para undangan #makanmayit mengenakan dresscode serbaputih duduk berhadap-hadapan di meja persegi panjang. Sementara, Tontey berada di ujung tengah meja terlihat memakai kostum a la biarawati.  Hidangan untuk tamu, disajikan di atas boneka bayi yang dilubangi bagian perut dan otaknya. Masing-masing tamu mencicipi hidangan yang konon katanya dicampuri dengan darah segar, ekstrak keringat bayi, dan Air Susu Ibu (ASI) murni.

Tidak hanya itu, hidangan dibentuk menyerupai bayi merah yang menyerupai janin saat keguguran. Saya sendiri belum memastikan kebenaran makanan dari bahan-bahan yang sangat tidak patut untuk konsumsi massal seperti itu. Namun yang jelas, bagi saya itu sangat menjijikkan. Hal ini pula yang menjadi fokus protes keras dari para netizen, terutama ibu-ibu. Aksi seni ini dianggap tidak sensitif terhadap ibu-ibu yang pernah mengalami keguguran. Prosesi ini dinilai merusak kesucian makna dari kelahiran bayi. Selain itu, aksi Tontey dianggap telah membangkitkan rasa traumatis bagi para orangtua yang menginginkan kehadiran anak. Lebih jauh, aksi ini juga menyeret isu agama karena berkaitan dengan ASI yang dianggap sakral. Sebab, dalam ajaran Islam juga dikenal terminologi saudara sepersusuan.

Sayangnya, akun Instagram Tontey telah dikunci, sehingga saya tidak bisa mengetahui lebih lanjut respon dari Tontey mengenai kontroversi tersebut. Beberapa menyebutkan bahwa Tontey hanyalah seorang pencari perhatian yang tidak bersedia mempertanggugjawabkan karya yang menuai kemarahan banyak orang.

Refleksi

Berdasarkan artikel yang saya baca dari Vice.com, Tontey menuturkan bahwa pertunjukan yang dilakukan adalah seni yang bertujuan untuk eksperimentasi sosial. Tontey ingin mengetahui respon dari para undangannya ketika menyantap hidangan-hidangan tak lazim itu. Ia berusaha menyelidiki dan memaparkan bagaimana ide dari ketakutan-ketakutan bisa dimanifestasi untuk kemudian dimanfaatkan untuk mempengaruhi pemikiran orang lain. Bahkan, ketakutan-ketakutan itu sengaja dibuat untuk meraih kekuasaan. Tontey memberi contoh mengenai komunisme yang menghantui masyarakat Indonesia sampai sekarang. Padahal, ide-ide tersebut sengaja digunakan pemerintah orde baru sebagai bahan propaganda. Dari pemahamannya tersebut, Tontey berusaha merekonstruksi perspektif seseorang tentang kanibal.

Meskipun saya tidak melihat pertunjukan itu secara lengkap, saya sangat terusik dengan Makan Mayit ini. Bukan lantaran kontroversi dan sensasi yang ditimbulkan. Tetapi, karya ini membawa saya kepada perenungan-perenungan yang lebih dalam. Merasa jijik dan ingin muntah itu sudah pasti. Tapi sebagai penikmat seni, saya menyadari betul karya-karya janggal seperti ini akan menuai kontroversi. Saya pernah melihat karya-karya seni yang aneh bahkan cenderung absurd tapi dianggap sebagai maestro. Bedanya, karya Tontey ini entah bagaimana menegur kembali kegelisahan-kegelisahan yang saya alami.

Pada akhirnya, karya Tontey membuat saya bertanya kembali, apakah saya orang yang mudah terbawa arus propaganda? Mengingat ketika pertama kali melihat karya seni ini saya turut jengkel dan merasa marah. Padahal belum tentu apa yang disajikan Tontey dan dituturkan oleh orang-orang yang kontra terhadap Tontey bukan cerita yang sebetulnya. Saya merasa mudah terbawa arus tanpa melakukan mendengarkan terlebih dahulu pendapat dari pencipta seni pertunjukan tersebut. Dalam hal ini, saya menjadi bagian masyarakat yang mudah terprovokasi.

Pemikiran saya semakin terbuka ketika membaca pemaparan Kartika Jahja dari portal berita mengenai motivasi kehadirannya di acara tersebut. Aktivis sekaligus punggawa band Tika and The Dissidents ini mengaku tertarik datang di acara Tontey karena tertarik dengan ide tentang bagaiamana propaganda itu dibentuk. Ia turut berpartisipasi di acara tersebut dengan kesadaran penuh. Ketika proses #makanmayit Ia mengetahui bahwa makanan yang disajikan tersebut bukanlah daging manusia, tetapi makanan vegetarian. Hanya saja Kartika tetap merasa aneh lantaran kesan yang dihadirkan mulai dari wadah makan, musik, dan suasana yang dihadirkan sangat kental dengan nuansa kanibal. Hal ini menggambarkan betapa mudahnya manusia itu dipengaruhi oleh propaganda. 

Saya malah berpikir, bisa jadi netizen menjadi bagian dari eksperimentasi sosial yang dilakukan oleh Tontey.

 

Ikuti tulisan menarik Fikri Angga Reksa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

2 hari lalu

Kisah Naluri

Oleh: Wahyu Kurniawan

Selasa, 23 April 2024 22:29 WIB