x

Tim Densus Anti-Teror 88 melakukan penggeledahan di rumah terduga teroris berinisial S di Jetis Wetan, Pedan, Klaten, Jawa Tengah, 15 Desember 2016. Aksi terorisme pelemparan bom molotov pernah terjadi di wilayah Solo Baru, beberapa waktu lalu. ANTAR

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Jalan Buntu Penanggulangan Teroris Asing ~ Didik N Rahmanto

Di Indonesia, teroris asing telah menjadi ancaman nyata yang perlu segera diwaspadai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Didik Novi Rahmanto

Anggota Satuan Tugas Penindakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme

Kondisi kelompok teroris internasional Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), yang semakin terjepit oleh serangan balik dari pasukan koalisi, ternyata tidak menghentikan kegilaan kelompok ini untuk terus menebarkan ajaran kekerasan atas nama agama ke seluruh dunia. Kelompok ini pun meminta teroris asing (foreign terrorist fighters/FTF) di seluruh dunia untuk terus melancarkan teror.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di Indonesia, teroris asing telah menjadi ancaman nyata yang perlu segera diwaspadai. Data di Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menunjukkan 500-an lebih milisi ISIS asal Indonesia telah kembali ke Tanah Air. Tahun ini saja, setidaknya ada 49 teroris asing yang dijemput petugas dari Bandar Udara Soekarno-Hatta.

Pemerintah sebenarnya tidak tinggal diam. BNPT bekerja sama dengan Imigrasi, Densus 88, dan Kementerian Sosial selalu bersiaga di Bandar Udara Soekarno-Hatta. Berbagai latihan untuk meningkatkan kemampuan aparat dalam memberantas terorisme juga digalakkan.

Terorisme dikategorikan dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Artinya, diperlukan penanganan yang luar biasa pula untuk mengalahkannya. Tapi teroris asing memiliki "kelas" tersendiri. Mereka bukan hanya orang-orang yang telah dicuci otaknya dengan berbagai ajaran kekerasan, tapi juga punya pengalaman tempur di lapangan. Maka, teroris asing memiliki kadar bahaya sendiri.

Kepala BNPT Komisaris Jenderal Suhardi Alius mengatakan warga negara Indonesia yang terlibat dengan teroris asing bukan lagi orang yang sama. Jika mereka kembali ke Tanah Air, anak-anak mereka sudah tidak lagi bermain layang-layang, tapi terbiasa memegang senjata. Maka, penanganan terhadap mereka harus dilakukan secara integratif dan menyeluruh.

Masalahnya, hingga saat ini, pemerintah belum juga mengesahkan draf revisi Undang-Undang Anti-Terorisme, yang telah diajukan sejak tahun lalu. Padahal di dalam revisi tersebut terdapat pasal yang mengatur secara khusus penanganan teroris asing. Saat ini masih dipakai undang-undang dari tahun 2003, sehingga perlu ditingkatkan dengan berbagai tambahan dan perbaikan untuk memaksimalkan dan mengefektifkan penanggulangan terorisme.

Rancangan undang-undang ini akan berfungsi sebagai panduan resmi sekaligus payung hukum bagi aparat keamanan dalam mengambil tindakan yang tepat saat menangani teroris asing dan bekas kombatan. Saat ini, penanganan teroris asing hanya didasarkan pada niat baik untuk menjaga keamanan Indonesia. Dasar ini tentu tidak cukup.

Marcus Felson dan Lawrence E. Cohen (1979) menyatakan, dalam kegiatan-kegiatan rutin, kejahatan hanya akan terjadi jika terdapat tiga komponen di dalam ruang dan waktu yang sama. Tiga komponen itu adalah pelaku memiliki motivasi, target yang sesuai, dan absennya penjaga atau pelindung.

Para teroris asing yang kembali ke Tanah Air ini berpotensi besar menjadi pelaku yang memiliki motivasi yang akan menjadikan masyarakat sebagai target yang sesuai. Paham-paham kekerasan dan kebencian akan mereka sebarkan hingga membuat target menjadi radikal. Jika dua komponen ini bertemu tanpa dibarengi dengan keberadaan aparat keamanan sebagai penjaga, paham itu akan cepat menyebar. Penekanan utama yang diberikan dalam teori di atas tidak hanya terletak pada keberadaan penjaga atau pelindung, tapi juga bagaimana melindungi masyarakat dari segala jenis potensi terorisme.

Peningkatan kewaspadaan terhadap ancaman teroris asing perlu dilakukan karena Indonesia telah masuk dalam peta kelompok teroris. Kondisi ISIS yang semakin terdesak dan berada di ambang kekalahan juga telah memaksa pasukannya kabur ke wilayah-wilayah "aman". Salah satu tujuan utamanya adalah kawasan Asia Tenggara, khususnya Filipina.

Filipina, yang bertetangga dekat dengan Indonesia, telah menjadi "pusat baru" gerakan terorisme. Hal ini diperkuat dengan ditunjuknya Isnilon Tontoni Phapilon, tokoh garis keras kelompok Abu Sayyaf, sebagai pemimpin ISIS di wilayat (provinsi jauh ISIS) ini. Pemerintah Filipina tidak pernah mengantisipasi secara serius meluapnya jumlah teroris asing di wilayahnya. Ketidaksigapan ini dimanfaatkan banyak teroris asing, termasuk dari Indonesia, untuk menjadikan kawasan Mindanao sebagai tempat singgah atau kamp latihan.

Ancaman teroris asing terhadap Indonesia semakin menguat sejak pemimpin ISIS, Aman Abdurrahman, memberikan tiga pilihan sulit untuk milisi asal Indonesia: berjuang bersama ISIS di Irak dan Suriah hingga meregang nyawa, "berjihad" di Indonesia, atau memberikan bantuan dana untuk aksi-aksi jahat mereka. Karena itu, pemerintah tidak seharusnya menunda-nunda pengesahan payung hukum untuk penanganan ancaman ini.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler