x

Iklan

ahyar ros

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menyelamatkan Desa Kita

Sejak program dana desa digulirkan, pemerintah lebih terfokus pada penyediaan regulasi dan kepastian dana sebesar Rp 20,76 triliun.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejak program dana desa digulirkan, pemerintah lebih terfokus pada penyediaan regulasi dan kepastian dana sebesar Rp 20,76 triliun yang disalurkan ke sekitar  74.00 desa. Dalam satu sisi pemerintah kurang memperdulikan sejumlah unsur penting, diantaranya memastikan akuntabiltas sosial berjalan agar penyimpangan anggaran dapat diminimalisir sedini mungkin dan perpecahan sosial. Keterlibatan organisasi masyarakat sipil dalam pembangunan desa menjadi peran utamakan mengembangan desa.

Pada tahun 1979, ketika rezim orde baru mengarahkan Negara untuk membangun kesepakatan penyeragaman pemerintah desa dengan pencirian dual structure menjadi single strucrure, maka akibat yang dihadapi adalah bagaimana memformulasikan kohesitivitas sosial yang mampu mempertahankan pencirian struktur sosial budaya sebelumnya.

Namun, kenyataannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Norma apapun nilai kepatuhan terhadap adat solidaritas ekonomi, kolektivitas, dan musyawarah yang menghiasi tata kelola sumber daya manusia maupun alam menjadi taruhannya. Nilai-nilai yang mempresentasikan peradaban masyarakat desa menjadi sirna, tergantikan dengan kepatuhan terhadap kekuasaan (politik dan ekonomi), solidaritas pragmatisme, indivulitas, dan voting sebagai pilihan pengganti.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Al-hasil, bangsa ini digoncang dengan berbagai persoalan pelik yang hingga kini tak dapat diselesaikan dengan baik. Pertikaian antar desa silih berganti terjadi di negeri kita ini, kemiskinan tumbuh subur, ketimpangan sosial dan ekonomi tak terbendung, dan one man one vote di artikulasikan sebagai sebuah demokrasi sejati. Meskipun kita telah memiliki UU Desa yang baru (UU No 6/2014), akankah desa sebagai refresentatif bangsa ini dapat diselamatkan?

Paradigma modernisme yang menjadi pilihan kebijakan rezim orde baru, hingga neo liberalisme saat ini menjadi utopis sebagai pendekatan menyelamatkan negeri ini dari kumbangan persolan yang dihadapinya. Data susenas 2012 menyebutkan kurang lebih 50 persen provinsi menjadi masih berkutat dengan angka kemiskinan desa yang berada di atas rata-rata di Indonesia, yakni 16,56 persen.

Tidak itu saja, terjadi ketimpangan kota desa ditunjukan dengan angka pengeluaran yang mengalami gap sebesar Rp 309.508. Hingga diprediksikan, pada 2025 nanti, sebanyak 67, 5 persen penduduk desa Indonesia akan meninggalkan desa, atau berlomba-lomba menuju kota. Demikian halnya, pemilihan Kepala Desa (Pilkades) yang saraf dengan biaya tinggi dan (bahkan terjadi praktik money politic) merupakan penerapan dari demokrasi liberatif.

Keniscayaan ratusan juta rupiah dikeluarkan seorang kandidat Kepala Desa untuk merebut jabatan tersebut. Akibatnya sumber daya alam desa sering digadaikan dan diperjual belikan elit desa kepada konglomerat kota (korporasi) yang sering membuat konflik horizontal antarwarga desa. Ironinya, setelah konflik telah terjadi, musyawarah untuk kemufakatan dijadikan tameng dalam penyelesainnya. Fakta yang memperlihatkan di atas hannya sebagian kecil saja.

Masih ditemukan banyak fakta miris lagi yang mempercepat kehancuran peradaban desa kita. Kekayaan kearifan lokal (bentuk peradaban) yang memiliki warga desa yang sarat dengan nilai-nilai kepatuhan, kepercayaan, kekeluargaan, kolektivitas, dan solidaritas seakan tak mampu lagi sebagai benteng pertahanan desa dari invasi pengaruh luar. Alhasil, desa tak mampu lagi berdaulat menyelesaikan ragam persoalan sosial budaya ekonomi politik yang dihadapinya.

Apa yang harus diupayakan?

Sudah saatnya kita bergegas untuk menyelamatkan desa dari kehancuran. UU No 6/2014 tentang desa dijadikan sebagai pijkan melakukan penyelamatan desa. Dalam UU ini, desa tidak lagi di posisikan sebagai subyek yang memiliki kemampuan memainkan peran strategis memberdayakan dan membagun dirinya untuk kesejahteraan desa. Alokasi dana untuk desa yang bersumber dari APBN (rata-rata desa akan memperoleh 1,4 miliar), telah memberikan jawaban atas ketimpangan ekonomi politik desa yang selama ini hannya menerima 2, 6 persen dari total APBN (Rp 1. 600 trilliun).

Demikian halnya dengan itensitas konflik sumber daya alam yang sering terjadi, UU Desa telah memeberikan ruang tata kelola sumber daya alam kepada desa maupun desa adat. Persoalan melunturnya sosial masyarakat desa, juga dijawab oleh UU Desa dengan memberikan hak dan kewajiban seluas mungkin kepada desa maupun desa adat untuk melakukan tata aturan untuk menjaga kelestarian sistem nilai sosial budaya yang hidup di masyarakat desa. Begitu pun dengan soal kemiskinan di desa, UU Desa telah memberikan jawaban melalui mengoptimalkan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan pemberdayaan sebagai pendekatan mensejahterakan desa dan masyarakatnya.

Meskipun secara teks dan konteks UU Desa telah memberikan jawaban atas ragam persolaan pedesaan Indonesia selama ini. Akan tetapi, belum memberikan jaminan pasti terwujudnya kesejahteraan bagi desa dan masyarakatnya. Oleh karena, itu terdapat tiga upaya yang dapat dilakukan.

Pertama, melakukan revolusi kebudayaan yang berbasis identitas desa. (Nilai-nilai kepatuhan, kepercayaan, kekeluargaan, kolektivitas, dan solidaritas) harus kembali ditransformasikan sebagai basis dari nilai penyelengaraan pembangunan di desa-desa Indonesia.

Kedua, melakukan restrukturisasi tata kelola desa meliputi, tata ruang, tata kuasa, dan tata izin). Hal ini dimaksudkan agar desa memiliki kewenangan yang besar untuk sumber daya manusia dan alamnya, ketiga, selain dua upaya sebelumnya hannya dapat dilakukan, jika desa kita memiliki Kementerian Desa yang fokus mengurus desa dan masyarakatnya. Keempat, yang tidak kalah pentingnya dalam hal ini adalah pentingnya akuntabilitas sosial yang terfokus pada upaya penguatan tata kelola yang partisipatif inklusif serta ketersediaan ruang bagi masyarakat dan kelompok kritis.   

Hal ini di sadari karena desa dan masyarakatnya selalu di tempatkan sebagai objek pembanunan. Seolah desa dan masyarakatnya tidak memiliki kuasa dan untuk membangun diri sendiri. Pada akhirnya, Indonesia ke depan sangat ditentukan dari kemauan kita menyelamatkan desa kita dari ancaman kehancuran itu. [Ahyarros].

Ikuti tulisan menarik ahyar ros lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler