x

Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta. TEMPO/Seto Wardhana

Iklan

Anthomi Kusairi SH MH

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

MK dalam Kewajiban Penegakan Hukum

Banyak masukan bagaimana MK (Mahkamah Konstitusi) dapat keluar dari problem yang menjeratnya sekarang ini.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Anthomi Kusairi, SH, MH

Pendiri Roda Indonesia Institute. Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Bekasi

Dalam beberapa hari terakhir, pemberitaan tangkap tangan semakin menjadi. Belum selesai kasus satu yang demikian menggetarkan sendi keadilan di Indonesia, muncul lagi penangkapan disebuah pusat perbelanjaan. Banyak komentar yang kemudian muncul mulai dari sudut pandang hukum sampai sudut pandang keadilan untuk menggambarkan betapa rusak dan bobroknya dunia hukum di Tanah Air yang marwahnya semakin tergerus. Tapi semua sudut pandang itu cenderung melupakan unsur penting dari apa yang harus dilakukan atas penangkapan itu, yaitu mencari jalan keluar yang lebih realistis.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Banyak masukan bagaimana MK (Mahkamah Konstitusi) itu keluar dari problem yang menjeratnya sekarang ini. Nuansa politis yang kental mengakibatkan hampir semua masukan itu menguap cepat tanpa efek balik bahkan sebagian pengamat telah melihat bahwa penangkapan itu membuat hukum semakin terpuruk lagi tanpa dapat bangun kembali secara tegak, telah selesai dalam bentuk "Kemenangan Mafia".

Pengamat lain juga berkomentar yang tidak kalah tajamnya. Mengkait-kaitkan operasi tangkap tangan didasarkan pada persfektif agama. Banyak hal yang kemudian harus diselesaikan dalam kurun waktu yang demikian cepat, sungguh tidak realistis, yaitu permasalahan yang mereka susun begitu panjang dalam kurun waktu relatif lama tidak mungkin akan terpecahkan hanya dengan berbeda pendapat satu sama lain.

Permasalahan ini semakin sulit, mengingat banyaknya kepentingan didalam tubuh MK yang kental nuansa politiknya itu. Cirinya adanya keterwakilan partai politik yang membuat putusan tidak lagi konstitusional. Semua pihak merasa sebagai pemilik. Semua pihak merasa penting untuk dapat mempertahankan dan mengamankan kursi mahkamah. Ditangkapnya hakim konsitusi merupakan alasan baru bagi upaya memberikan pembenaran terhadap pencungkilan rezim lama. Dengan kerangka ini, justru penyelesaiannya adalah mengajak semua pihak untuk memberi ruang pada komponen mahkamah agar Mahkamah Konstitusi itu dapat lebih leluasa mencari solusi ketimbang mencampurinya dan ingin mengintervensi.

Menurut hemat penulis ada beberapa langkah dan pemahaman yang perlu dibangun bagi kompleknya permasalahan tersebut. Pertama, harus ada upaya signifikan untuk menjauhkan seluruh kepentingan politik dalam upaya menegakkan hukum yang berkeadilan yang selama ini mati suri yaitu dengan cara menghilangkan seluruh unsur keterwakilan hakim konstitusi yang selama ini terjadi (baik parlemen ataupun keterlibatan langsung pemerintah). Kedua, melakukan upaya mengeliminasi kekuatan partai politik yang tumbuh dari dalam tubuh pihak-pihak yang bersengketa. Ketiga, rehabilitasi nama baik melalui upaya revitalisasi. Keempat, pembenahan kembali Mahkamah Konstitusi melalui perbaikan administrasi perkara, kesekretariatan, hakim dan seterusnya.

Untuk hal ini, tampaknya perlu pembahasan lebih serius mengapa penegakan dan penghormatan terhadap lembaga peradilan haruslah dikedepankan. Tentunya jawabannya sangatlah penting, bahwa kerangka penghormatan terhadap lembaga peradilan itu harus ada dalam suatu mahkamah dan terdapat kewajiban pengelola negara melakukan langkah guna menghindari terseretnya mahkamah jatuh lebih dalam serta mencari akar masalah yang bisa dipertanggungjawabkan atas terjadinya tragedi yang memilukan itu.

Paling tidak ada tiga alasan mendasar mengapa penghormatan terhadap lembaga peradilan itu penting. Alasan filosofis yaitu bergerak dari dasar-dasar pentingnya penghormatan atas lembaga peradilan. Alasan politik, bahwa terpilihnya pemerintahan yang berkuasa hari ini bertugas untuk untuk memastikan bahwa penghormatan itu terjadi. Alasan hukum, telah terjadi penyimpangan dilembaga penegakan hukum untuk itu perlu diusut hingga tuntas agar marwah itu kembali ketempatnya.

Langkah pengusutan hingga tuntas itu adalah kerangka besar yang sangat diperlukan oleh MK. Penangkapan hakim konstitusi itu lahir dari adanya realitas politik ditubuh MK yang seharusnya menjadi simbol keadilan dan menjadi contoh bagi yang lain.

Hal ini jelas bahwa ketentuan normatif hukum didalam berbagai literature, hakim konstitusi adalah suatu alat atau barometer untuk menjaga marwah MK, agar prinsip keadilan itu tidak mudah dirampas secara semena-mena. Tentunya ini juga lahir dari kesadaran setiap insan hukum, bahwa hukum harus tegak diatas segala kepentingan baik itu kepentingan pemerintah, parlemen, partai politik, ataupun golongan tertentu, bahkan pandangan politiknya masing-masing. Semua harus memiliki kesetaraan yang sama dimuka hukum dan keadilan tanpa pandang bulu.

Intervensi, politisasi, kriminalisasi, kooptasi untuk melemahkan dan sebagainya adalah bentuk-bentuk paling nyata dari adanya pelecehan peradilan. Tentu kerusakan atas prinsip keadilan adalah tindakan secara sistematis dimuka hukum menghina peradilan dilakukan oleh orang atau sekelompok orang. Maka setiap elemen yang ada dinegeri pertiwi memiliki kewajiban mengkoreksi dan memperbaikinya. Jelas kemudian membongkar kejahatan terstruktur ini adalah suatu kebutuhan yang tidak terhindari, demi menyelamatkan bangsa ini dari kehancuran dan ketidakadilan.

Pengusutan yang demikian bagian dari sebuah keniscayaan untuk mengembalikan marwah MK, yang diwujudkan dalam pembentukan tim investigasi yang diisi tokoh yang kredibel dan independen bukan hanya memberikan sangsi bagi si Pelaku Korupsi atau pelanggar kode etik. Tentunya juga pada hal-hal mendasar bagi perbaikan MK kedepannya agar setiap masyarakat pencari keadilan kembali mempercayai tugas pokok yang diemban MK. Sudah cukup MK dinodai oleh tetesan citra buruk dan perilaku menyimpang dari praktek keadilan. Untuk itu cara yang demikian penting untuk mengembalikan penegakan hukum kedalam rumah keadilan. Disinilah makna universalitas penghargaan terhadap keadilan yang coba dibangun dalam kerangka peradilan yang lebih maju dan dihormati oleh pencari keadilan dan siapapun yang membutuhkannya.

Peradilan adalah hasil karya cipta manusia yang dibangun atas kesadaran bahwa tidak mungkin manusia dapat hidup bersama tanpa aturan dan sistem yang mengikat serta melindungi satu sama lain. Disinilah kemudian dibangun sebuah kerangka sistem untuk menata kehidupan. Terdapat sistem penyelesaian masalah bagi setiap rakyat lewat apa yang disebut hukum. Yang kemudian mempercayakan kepada beberapa orang atau lembaga konstitusional untuk mengelola atau memutuskan dan mengalirkan keadilan dan menjaga independensi yang dimiliki. Tentunya sistem yang dibangun itu kemudian membutuhkan kontrol agar tidak terjadi penyelewengan kewenangan oleh beberapa orang yang telah diberikan amanat untuk mengelolanya.

Dengan adanya hukum maka perlindungan setiap anggota masyarakat ada dalam tanggungjawab negara. Baik itu melalui pembangunan sistem hukum yang adil maupun menghindari terjadinya tindakan yang melecehkan peradilan. Secara normatif dalam pergaulan bangsa-bangsa telah disepakati bahwa masing-masing negara memiliki kewajiban untuk memastikan agar semua sama kedudukannya dimata hukum.

Hal ini juga lahir dari kesadaran untuk menjaga peradilan dari berbagai bentuk pelecehan yang teramat ekstrim. Seperti ; kriminalisasi terhadap penegak hukum, intervensi ataupun politisasi. Ini dapat berjalan jika didukung kuat seluruh elemen bangsa khususnya masyarakat pencinta peradilan yang menginginkan tegaknya kembali martabat peradilan. Utamanya kembalinya marwah mahkamah konstitusi yang telah menjadi korban pertarungan kepentingan para elit politik seperti sekarang ini.

Dalam pertarungan antar elit politik, tidak dapat dihindari setiap elit politik memiliki tujuan yang besar untuk menjaga agar kepentingannya tidak diganggu oleh siapapun. Inilah mengapa berbagai manuver terus dilakukan mengingat kerasnya pertarungan dipemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak hingga tindakan pelecehan peradilan tidak dapat dihindari. Ketatnya kompetisi di DKI Jakarta, Banten dan daerah lain di Indonesia menyebabkan masing-masing tim sukses melakukan segala cara untuk dapat menggapai kemenangan tersebut bahkan hingga proses peradilan di MK.

Untuk menjamin proses peradilan yang jujur kemudian hukum harus dibangun. Dibuatlah berbagai perangkat yuridis formal baik itu berupa perundang-undangan, lembaga peradilan, pertanggungjawaban publik didepan parlemen dan sebagainya.

Tentunya kita secara nasional akan melihat bagaimana hukum nasional melarang secara tegas praktek pelecehan peradilan itu, apapun bentuknya. Hal ini diatur untuk menghindari upaya menjadikan peradilan subordinat kekuasaan yang mengakibatkan tidak adanya lagi rasa keadilan. Atau mungkin justru tindakan politik itu memang sengaja dirancang untuk melemahkan dan mengkerdilkan fungsi lembaga peradilan.

Proses Hukum justru dibangun dalam rangka memberikan arti bagaimana sebuah pelecehan dan kejahatan itu harus dikoreksi. Sistem hukum dibangun untuk menjamin setiap bagian dari masyarakat memiliki hak yang sama, tidak ada satupun menjadi lebih superior atas yang lain.

Dari apa yang kita dapat pahami dari kontestasi pilkada yang sedang berlangsung, masing-masing pihak semakin percaya diri untuk mampu memenangi kompetisi. Pola penyelesaian yang ditawarkan melalui mahkamah konstitusi diantara strategi yang perlu diantisipasi, dari waktu ke waktu memenangkan pilkada menjadi sesuatu yang penting dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal yang penting untuk dicatat, bahwa penangkapan hakim konstitusi yang dilakukan KPK justru sangat kental nuansa politiknya ketimbang warna hukumnya, apalagi momen penangkapan dilakukan saat pilkada Jakarta sedang berlangsung. Padahal sengketa pilkada yang sekarang ada nantinya akan bermuara ke mahkamah konstitusi, di MK inilah nantinya "Perang" yang sesungguhnya baru saja dimulai. Tim sukses mencari cara untuk memenangkan persidangan, namun memenangkan dengan pola beracara secara legal formal ansich atas konflik pilkada yang ada adalah hal yang hampir tidak mungkin.

Pertikaian diwilayah itu hampir dapat dipastikan akan diintervensi. Yaitu menempatkan hakim pemutus konflik yang jelas keberpihakannya dengan salah satu pasangan calon, agar keputusan memihak atau memenangkan calon gubernur tertentu dan intervensi ini akan terus menerus dilakukan untuk mengendalikan kemenangan.

Konflik antar elit selalu berhimpitan dengan perdebatan tentang solusi. Banyak pihak yang mencoba memberikan alternatif penyelesaian, tetapi semua itu masih sangat minim ketimbang kecepatan bermanuver itu sendiri. Langkah eksekutif mendorong calon pengganti hakim konstitusi yang mewakili pemerintah dan membentuk panitia seleksi untuk mendapatkan figur yang pantas, ternyata tidak sepenuhnya menjawab permasalahan. Beberapa langkah penyelamatan, secara formal telah dilakukan akan tetapi selalu tumbang ditangan elit partai. Belum lagi problem politik nasional telah pula membebani langkah-langkah penyelesaian.

Ketika intervensi dan kooptasi itu dibiarkan terus berkembang, proses pelemahan terhadap institusi peradilan pun menyebar luas seiring dengan kebutuhan masing-masing pihak yang berperkara. Paling tidak kita dapat mencatat kultur koruptif yang terbangun lebih merupakan aspek pembiaran yang dilakukan penguasa hingga menjadi struktur sosial. Inilah mungkin yang perlu dipahami, membenahi peradilan hari ini tidak sesederhana dari apa yang sering dikemukakan banyak pihak sebagai tempat yang netral untuk menyelesaikan segala perselisihan. Pergeseran ke arah struktur kekuasaan baru untuk memperkuat bangunan kekuasaan yang ada membuat masyarakat terkotak-kotak, telah merubah konstalasi dan berbagai hubungan sosial politik diberbagai tingkatan. Paling tidak ada tiga elemen masyakat dalam kotak-kotak tersebut :

Elemen pertama adalah yang paling aktif dalam mengendalikan pertarungan, yaitu 'mereka' yang berada distruktur elit masing-masing kekuatan kelompok yang sedang bersaing. Bila kita melihat kelapangan adanya pola dan struktur organisasi yang mampu mempengaruhi akar rumput, mulai dari pembentukan opini publik, penyiapan infrastruktur dan pendanaan hingga menggembosi organisasi masyarakat yang masif mengkritisi pemerintah. Istilah kearab-araban, kaum onta, syiah dan seterusnya adalah hal yang sangat mudah ditemukan ketika Pilkada mulai bergulir. Soal - soal strategi bertahan dan menyerang, serta bagaimana membangun kekuatan yang ada pada mereka. Kekuatan pada kedua belah pihak tidak lebih dari 50 (lima puluh) persen jumlah penduduk, akan tetapi getarannya hampir terasa sampai keseluruh lapisan masyarakat. Kepemimpinan yang terpilih nantinya memanfaatkan untuk memperoleh legitimasi dari situasi konflik itu sendiri.

Elemen kedua adalah massa partisan. Yaitu mereka yang merasa sangat berkepentingan terhadap pilkada dan menjadi bagian didalamnya, akan tetapi bukan bagian dari struktur elit di atas. Mereka ini cukup banyak terlibat dan mengambil bagian dalam pertarungan.

Elemen ketiga, adalah massa mengambang. Yaitu mereka yang tidak bersepakat dengan pilkada, bahkan menentangnya. Akan tetapi tidak dapat menghindari ataupun malah terjebak didalamnya. kedua elemen ini adalah kelompok mayoritas yang sangat menentukan stabilitas politik paska pilkada. Atau paling tidak lebih memiliki kemampuan untuk dapat berkomunikasi dengan pihak 'lawan' ditengah masyarakat. Maka jelas tugas pemerintah adalah kebijakan yang tidak memihak pada salah satu kubu pasangan calon yang akan kembali bersaing diputaran kedua, serta diikuti upaya mendorong tahap-tahap revitalisasi dan independensi.

Ikuti tulisan menarik Anthomi Kusairi SH MH lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler