x

Iklan

Anthomi Kusairi SH MH

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pembubaran ORMAS dan Antisipasi Paham Radikal

Paska pengesahan PERPPU No.2 tahun 2017 menjadi Undang-Undang, melalui Undang-Undang Ormas ini pemerintah berharap dapat mengambil langkah taktis

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

“Pembubaran ORMAS dan Antisipasi Paham Radikal”

(Edisi Refleksi Akhir Tahun)

Oleh : Anthomi Kusairi, SH., MH.*

 

        Paska pengesahan PERPPU No.2 tahun 2017 menjadi Undang-Undang, melalui Undang-Undang Ormas ini pemerintah berharap dapat mengambil langkah taktis dan strategis untuk dapat mengatasi berkembangnya paham radikal yang ada ditengah masyarakat. Meskipun bentuk kongkrit dari bagaimana mencegahnya paham dan ideologi radikal itu sendiri belum jelas kedepannya, langkah ini jelas sangat diperlukan untuk melegitimasi Impunitas rezim yang berkuasa dan sekutunya dalam sektor politik, hukum dan keamanan.

         Dalam PERPPU No.2 tahun 2017 dan yang kini telah menjadi Undang-Undang Ormas ada beberapa hal yang disosialisasikan dan perlu dimasukkan untuk dapat mengubah sistem hukum yang ada. Diantaranya adalah :

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Adanya upaya untuk mengkanalisasi ruang gerak organisasi “radikal” yang dilakukan oleh pemerintah, atau apa yang kemudian disebut early warning system. Hal ini dilakukan melalui verifikasi organisasi kemasyarakatan berupa lahirnya beberapa ketentuan nasional tentang syarat ketat mendirikan organisasi, pembubaran diluar proses hukum, grant design dan antisipasi teror (war terorrisme), unsur pokok dari berdirinya organisasi adalah adanya keharusan berideologi yang tidak boleh bertentangan dengan pancasila (anti-pancasila). Adapun pasal-pasal karet yang ada dalam Undang-Undang Ormas terbaru serta alasan negara dalam keadaan darurat yang membuat undang-undang ini seakan terlalu dipaksakan. Tidak semua fraksi dalam sidang paripurna sepakat, ada 3 fraksi yang menolak, ada 3 fraksi yang setuju dengan syarat harus direvisi hanya sedikit fraksi sebenarnya yang murni benar-benar mendukung. Ini menunjukkan kalau pemerintah membangun politik aji mumpung (Moral Hazard) dan membangkitkan otoriterianisme, perampasan hak dan pengkerdilan; 

Harus Memiliki dasar untuk melakukan penindakan dalam Sistem Hukum Nasional. Yaitu untuk menghapuskan keragu-raguan didepan hukum atas kelompok masyarakat ekstrim kiri dan kanan, serta menghilangkan kelembagaan radikal dan teroris atau memiliki kepastian dalam penegakkan hukum (gakum). Baik soal kewenangan pada tingkat penyidikan atau penyelidikan dan gakum adalah hal yang terpenting agar bangsa memiliki sistem peringatan dini dalam sistem hukum kita early warning.

Menambah berat tugas peradilan dan agar lebih selektif dalam menangani perkara-perkara pembubaran Ormas, tindak pidana terorrisme atau radikalisme.   

Membuka peluang terbentuknya pengadilan Ad Hoc untuk kasus pembubaran Ormas, tindak pidana terorrisme atau radikalisme paska UU Ormas. Ini memperpanjang perdebatan tentang pasal-pasal karet didalamnya. Termasuk dalam konteks ini menjadi semakin rumit bila pemerintah kembali mengesahkan Rancangan Undang-Undang Terorrisme atas penerapan azas retroaktif didalamnya, perdebatan juga akan terjadi pada kewenangan penyidik yang boleh menahan tanpa diketahui dimana seseorang teroris itu ditahan yang secara umum banyak pengamat yang takut akan munculnya semacam Guantanamo yang memperoleh legitimasi dari ketentuan yang akan diundangkan itu.      

Memberikan kewenangan Kepolisian RI untuk menjadi lembaga tunggal bagi penyelidikan kasus terorisme dan radikalisme, para penyelidik atau pihak lain diluar POLRI tidak memiliki kewenangan menangani kasus tersebut. Dalam hal ini TNI karena penanganan kasus tindak pidana yang dilakukan rakyat sipil, tentara tidak memiliki kewenangan sebagaimana yang dipunyai oleh polisi kecuali jika diminta oleh Kepolisian RI, karenanya POLRI harus bekerja dalam bingkai penegakkan Hukum dan HAM.

Memberikan kesempatan dan keleluasaan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk menjadi wasit dan penilai yang adil tanpa ada intervensi dari Negara untuk menilai apakah rezim yang berkuasa telah melakukan kesewenang-wenangan terhadap anggota masyarakat dengan syarat yang telah ditentukan. Oleh karenanya dengan kewenangan ini tidak lagi diperlukannya Pengadilan Tindak Pidana untuk kasus Radikalisme dan Terorisme, juga tidak terbuka peluang penahanan orang dan pembubaran ormas tanpa prosedur hukum yang telah ditetapkan.  

           Disamping beberapa pro kontra dari disahkannya Undang-Undang Ormas dan perubahan dari RUU Terorisme masih banyak mengandung kekurangan yang perlu diperbaiki. Yaitu antara lain :

Pengaturan hukum materiil yang kurang jelas membedakan unsur dari hal seperti apa dan pelanggaran mana yang menyebabkan suatu organisasi dapat dicap radikal, terorisme dan ekstrimisme. Ketidakjelasan ini akan menimbulkan kerancuan yang menyebabkan adanya beda penafsiran yang dapat membuat pemerintah membubarkan organisasi secara sewenang-wenang.

Apalagi hanya persepsi sepihak dari Kementerian Hukum dan HAM saja, tanpa terlebih dahulu meminta izin dari pengadilan yang memang memiliki kewenangan untuk itu, mengingat klasifikasi keorganisasian akan menjadi sangat luas dan beragam sebagaimana juga yang telah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Masyarakat. sehingga apabila proses demokratisasi berjalan sebagaimana mestinya, kemunculan organisasi radikal amat kecil kemungkinannya terjadi. Dengan demikian justru peradilan mungkin akan tidak pernah menangani perkara semacam ini, ditambah wacana pembentukan pengadilan tindak pidana terorisme yang makin kontra produktif.

Lembaga peradilan amat dibatasi, dengan hanya memberi sedikit peluang bagi pengurus organisasi kemasyarakatan (ormas) yang dapat mengajukan gugatan atas dibubarkannya suatu organisasi. Dalam konteks lainnya pembubaran ormas acapkali justru menunjukkan sikap otoriterianisme, pihak pengurus organisasi tidak pernah diajak berunding bahkan mungkin juga telah diabaikan, atau ketakutan yang luar biasa dari pemerintah republik sehingga mempercepat pengesahan PERPPU ini menjadi Undang-Undang. Disamping itu pembubaran ormas seharusnya bukan dilihat hanya semata bubarnya ormas tetapi unsur penyalahgunaan kekuasaan yang itu mencerminkan seperti apa pemimpin bangsa ini ditengah rakyatnya. Dalam ketentuan universal, setiap warganegara diberikan hak bebas untuk menyatakan pendapat dan bahkan menjadi kewajiban pemerintah melindungi setiap warganegara dari segala bentuk tindakan kesewenang-wenangan sehingga tidak seharusnya ada pembubaran organisasi tanpa izin pengadilan serta tanpa terlebih dahulu memberikan hak kepada pengurus ormas mengajukan gugatan ke pengadilan apabila memang ormas tersebut akan dibubarkan.

PERPPU ORMAS yang kini telah menjadi undang-undang belum mampu menutupi kelemahan yang ada pada ketentuan Undang-Undang Ormas yang sebelumnya, yang belum mampu merubah struktur organisasi menjadi lebih mandiri dan tidak tergantung kepada pemerintah.  

           Kalau dilihat apa yang ditawarkan pemerintah dalam Undang-Undang Ormas dan Rancangan Undang-Undang Terorisme, memang ada upaya untuk menggunakan fungsi kontrol pemerintah terhadap perilaku kritis dan kebebasan berpendapat yang selama ini sudah mulai terbangun. Dengan meletakkan kontrol, pemerintah berharap munculnya kritik serta perlawanan dari pihak oposisi dapat ditekan oleh negara. Negara juga berharap terjadinya perubahan perilaku ormas, khususnya kekuatan anti pemerintah ataupun upaya menggunakan kekuatan kepolisian sebagai alat politik yang muncul dalam bentuk politik kekerasan negara.      

        Kerangka perubahan normatif belumlah memberikan jaminan bagi berhentinya kritik oleh oposisi terhadap pemerintah dan berbagai bentuk ujaran kebencian karena perubahan disektor hukum belum tentu dapat merubah konstalasi politik diakar rumput. Berapa banyak peraturan yang dibuat, semua tergantung kepada pemangku kepentingan yang ada. Contoh menarik adalah kasus tarik menarik penerapan RUU Terorisme dan Undang-Undang Ormas yang nantinya akan menjadi bagian dari sistem hukum yang ada. Masih banyak catatan yang mesti diberikan untuk menggambarkan bahwa perubahan normatif saja masih belum cukup.   

*Advisory Board Roda Indonesia

  Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Bekasi

Ikuti tulisan menarik Anthomi Kusairi SH MH lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu