x

Ketua Umum Partai Golkar, Setya Novanto, setelah menerima kunjungan pimpinan DPD di kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Rabu 9 November 2016. TEMPO/Arkhewis

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mencari Negarawan, yang Ada Politikus

Rintangan bagi kemajuan demokrasi kita terutama terletak pada para elite masyarakat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Praktik politik adalah wujud nyata bagaimana sistem politik bekerja secara riil. Filsafat politik yang disebut-sebut sebagai landasan sistem tersebut bisa saja terbaca indah, dasar ideologi partai politik bisa saja tampak hebat, begitu pula dengan cita-cita partai bisa saja mengundang decak kagum. Namun, itu semua sangat mungkin akan tertinggal di kantong-kantong jas para politikus yang sewaktu-waktu dikeluarkan sebagai jargon untuk memoles pidato politik mereka. Pada akhirnya, praktik politiklah yang nyata berlangsung serta kita lihat dan rasakan dalam kehidupan masyarakat.

Kericuhan sidang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan terpilihnya pimpinan baru lembaga ini merupakan contoh mutakhir praktik politik semacam itu. Berbagai media menyebutkan, Mahkamah Agung (MA) sebelumnya telah membatalkan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan Peraturan DPD Nomor 1 Tahun 2017 yang mengatur perubahan masa jabatan pimpinan DPD dari lima tahun menjadi 2 tahun 6 bulan. Sungguh aneh tapi nyata, Wakil Ketua MA Agung Suwardi memandu Oesman Sapta Odang mengucapkan sumpah jabatan sebagai Ketua DPD periode 2017-2019. Tidak ada institusi negara, termasuk MA, maupun partai politik yang membicarakan soal ini; suara mereka senyap. Harifin  A. Tumpa, mantana Ketua MA, dikutip media, mengaku bingung dengan sikap MA. “Bagaimana orang akan percaya kepada MA dan putusan pengadilan kalau MA sendiri tidak menghormati putusannya?” kata Harifin seperti dikutip media.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Respons yang senyap itu memerlihatkan bahwa para elite lebih suka memilih diam dalam menghadapi situasi yang menuntut kejelasan sikap. Terkesan bahwa para elite politik berpikir: “sepanjang kepentingan saya tidak terganggu, saya tidak akan ikut campur atau memengaruhi situasi tertentu.” Masing-masing elite dan kelompoknya bersikap ‘pura-pura tidak tahu’ atau ‘sama-sama tahu’, sebab ini menyangkut kepentingan masing masing—mereka berusaha memperkecil risiko dengan tidak melibatkan diri. Bila suatu ketika mereka menghadapi situasi serupa, pihak lain juga tidak akan ikut campur dengan bersikap ‘pura-pura tidak tahu’ atau ‘kita sudah sama-sama tahu’.

Mungkin kita masih ingat bagaimana Setya Novanto, setelah sempat mundur, kembali duduk sebagai Ketua DPR dengan melengserkan Ade Komaruddin, yang semula menggantikannya—seolah-olah Ade hanya pelaksana tugas Ketua DPR. Ketika itu, dalam ikhtiar memertahankan posisinya, Ade mengunjungi banyak elite politik, termasuk Ketua PDI-P Megawati Sukarnoputri. Megawati berpendapat bahwa itu urusan Golkar dan ia tidak berusaha mempertahankan Ade. Sedangkan Presiden Joko Widodo berpendapat bahwa itu ranah parlemen, jadi eksekutif tidak akan ikut campur.

Baik Mega maupun Jokowi ingin memberi kesan telah bersikap benar, walau sesungguhnya kedua figur ini membiarkan terjadinya situasi yang kurang baik bagi pendewasaan praktik demokrasi kita. Mengingat beberapa tindakan yang pernah dilakukan Setnov—termasuk kasus obrolan tentang Freeport, duduknya Setnov di kursi Ketua DPR mungkin dianggap oleh Jokowi maupun Megawati akan lebih menguntungkan mereka. Di hadapan keduanya, Setnov—yang juga menjabat Ketua Umum Golkar—mungkin akan memilih bersikap lebih manis.

Praktik mendahulukan kepentingan sendiri juga ditunjukkan oleh elite Partai Demokrat. Dalam konteks Pilkada Jakarta, setelah Agus Harimurti tersingkir dari putaran pertama, Demokrat memilih abstain dan membiarkan para pendukung Agus untuk menentukan pilihan masing-masing. Abstain adalah cara yang aman untuk menghadapi dua kemungkinan hasil Pilkada: apakah Basuki yang terpilih atau Anies yang terpilih. Dengan membiarkan bebas pihak-pihak yang semula mendukung calonnnya, Demokrat telah memilih cara yang paling menguntungkan dirinya di masa mendatang.  

Begitu pula dengan PPP yang tengah terbelah dalam dua kubu. Bagi kedua kubu, pilihan yang aman ialah mendukung pasangan calon yang secara tersirat didukung oleh pemerintah. Pilihan lain sangat berisiko bagi pengakuan terhadap keabsahan kepengurusan partai PPP, baik kubu Djan Faridz maupun Romahurmuziy. Kesukaran ini yang membuat kubu Romahurmuziy tidak mendeklarasikan dukungan secara formal kepada Basuki-Djarot, sebab mungkin masih ‘ada hati’ pada pasangan Anies-Sandi. Ini berbeda dengan Djan Faridz yang tegas mendukung pasangan Basuki-Djarot sebagai cara menarik hati pemerintahan Jokowi dengan harapan memperoleh pengakuan penuh atas kepengurusannya.

Melihat berbagai peristiwa politik yang berlangsung selama ini membuat kita ragu bahwa kita akan mampu segera mencapai kemajuan yang berarti dalam praktik demokrasi. Mempertimbangan hal ini, rintangan bagi kemajuan demokrasi sesungguhnya terletak pada perilaku para elite politik, bukan pada rakyat. Bila sebagian orang dianggap kebablasan, tidakkah para elite telah bertindak ‘semau gue’? Rakyat mencari negarawan, tapi yang ada para politikus yang lebih sibuk mengurus kepentingan masing-masinng. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler