x

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kangen Tulisan Tangan

Kemajuan teknodigital telah menghalau personalitas tulisan tangan. Banyak warga dunia yang kangen.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Setiap kali melewati daerah Kosambi, Bandung, saya selalu tertegun. Ingatan saya terbawa ke masa lampau, ketika di salah satu ruas trotoarnya masih berdiri sebuah kotak pos bercat merah-oranye. Orang menyebutnya pula Bis Surat, sebab itulah yang tertulis di kotak pos. Bila kantor pos sudah tutup, di situlah tempat memasukkan surat beramplop ataupun kartu pos.

Kotak pos itu tidak lagi ada, satu per satu hilang dari trotoar di kota ini. Orang tidak lagi berkirim surat dengan tulisan tangan, tidak lagi berkirim kartu pos lebaran. Banyak anak generasi net yang tidak mengenal perangko—sejenis materai yang ditempel di amplop surat dengan nilai tertentu sesuai biaya pengiriman surat.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Juga tidak lagi ada pegawai pos yang datang bersepeda dengan tas menggelembung di boncengannya. Dulu, jika bel sepeda berdenting, itu pertanda pak pos datang mengirim surat, kartu pos, atau paket. Belum ada jasa kurir swasta. Setiap hari pak pos sibuk mengantar amplop-amplop berisi kabar dari sanak saudara. Sembari membuka sampul amplop, hati kita berdebar ingin segera tahu isi surat: kabar baik atau kabar kurang menggembirakan.

Kini, jutaan surat elektronik dikirim dari satu ke banyak tempat di berbagai belahan Bumi. Semua ditulis dengan peranti teknodigital. Sekian juta lagi kabar ditulis di media sosial sebagai pesan, sebagai bagian percakapan. Orang terburu-buru membacanya, juga tergesa-gesa meresponnya—emosi lebih cepat bereaksi dan lebih mudah panas ketimbang pikiran jernih.

Dalam surat yang dulu, kabar baik atau pun kurang menggembirakan ditulis dengan tangan. Gemetar tangan saat menulis tecermin dalam huruf-huruf di atas kertas, ialah ketika kabar sedih disampaikan. Kabar menyenangkan akan ditulis begitu indah. Apa yang hilang dari produksi masal teks di e-mail maupun pesan media sosial ialah otentisitas, individualitas, serta keunikan orang per orang yang tergambar dalam goresan pena masing-masing.

Di e-mail atau pesan media sosial, kebanyakan orang memakai huruf Times New Roman, Helvetica, Arial, atau Georgia dan Calibri. Keunikan tulisan tangan masing-masing orang lenyap digantikan oleh keseragaman yang diciptakan mesin digital. Karakter tulisan tangan sastrawan George Orwell berbeda dari John Steinbeck dan Franz Kafka—kita dapat membedakan corak tulisan ketiga figur ini. Jika kita mendapati tulisan tangan figur mashur di masa sekarang, niscaya itu jadi barang langka.

Kekuatan teknodigital bukan hanya menghalau otentisitas, individualitas, maupun keunikan  tulisan orang per orang, tapi juga menurunkan kemampuan motorik jari-jemari manusia masa sekarang. Jari-jemari kita mampu bergerak cepat di atas papan ketik, beralih dari satu huruf ke huruf lain atau ke tanda baca. Cepat, bahkan mungkin sangat cepat pada sebagian orang. Tapi, ada harga yang harus dibayar untuk itu: menurunnya kemampuan menulis tangan yang bagus.

Ya, alangkah sukar menulis kembali dengan tangan: yang indah, stabil, konsisten, teratur—semua karakter ini cerminan kesabaran dalam menulis. Soalnya ialah apakah kesabaran masih diperlukan di alam digital sekarang ini? Ketika semua ingin serba cepat dan bergegas, apakah yang perlahan masih mempunyai tempat di dalamnya?

Menarik bahwa sebagian warga dunia, kini, merasa tidak puas pada keseragaman tulisan di e-mail dan menginginkan tulisan tangan yang lebih personal. Prangko masih dijual dan mereka belajar kembali menulis surat di atas kertas, membungkusnya dalam amplop, membubuhkan prangko secukupnya, dan mengirimkannya lewat pos. Mereka tak peduli tulisan mereka kini buruk atau masih cukup indah, jelas dibaca atau mirip cakar ayam, sebab semua itu mencerminkan personalitas yang unik.

Engkau tak bisa menulis tangan persis seperti orang lain menulisnya. Itulah personalitas yang unik, mungkin mirip sidik jari. (Ilustrasi: tulisan tangan George Orwell/georgeorwellnovels.com) **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler