*Sara dalam Kontestasi Politik*
*Andi Irawan*
Kemenangan Trump banyak membuat para pakar politik dan lembaga survei bingung, demikian setidaknya yang diungkap oleh The Economist 10 November 2016. Betapa tidak, Trump menawarkan sesuatu yang bukan Amerika “banget” dan berhasil memenangkan pemilu presiden AS. Amerika adalah kampiumnya globalisasi, perdagangan bebas dan multikulturalisme. Tapi jualan Trump adalah bukan jualan mainstream Amerika. Trump menjual hal yang tak mungkin dihadirkan dalam pembicaraan resmi intelektual, mimbar negara dan mainstream opini media AS. Trum menjual SARA dalam kampanye sebagai capres.
Trump menuduh etnis dan agama tertentu adalah masalah bagi kehebatan Amerika. Dia menawarkan Amerika yang sangat inward looking. Amerika bukan untuk semua etnis dan agama.
Tapi Trump paham benar ketika ia melihat kemenangan pendukung Brexit yang lalu, bahwa jualan Brexit itu adalah jualan yang sama yang harus ia tawarkan kepada Amerika. Karakter rakyat Inggris dan Amreika itu sama. Maka tampa sungkan Trump juga menjual yang sama yang ditawarkan oleh para pendukung Brexit. Karena yang dihadapinya adalah karkater pemilik suara yang sama. Mereka adalahsilent majority yang suara tidak tercerminkan dari diskursus para opinion maker dan media. Mereka adalah pemilik suara dengan spesifikasi mayoritas kulit putih dengan karakter merasa termarjinalisasi atau bahkan merasa menjadi korban dari derap langkah globalisasi. Jumlahnya adalah mayoritas dan Trump berani menjual sesuatu yang mungkin tidak bermoral bagi maintsream opini media dan intelektual AS, tapi Dia tahu benar itu bernilai penting bagigrass root. Dan Trump pilih itu, ia menjual SARA.
Lalu bagaimana kita?
Fenomena Penistaan agama yang bisa menghadirkan massa jutaan orang itu adalah cerminan akumulasi perasaan kekecewaan sosial-politik-ekonomi umat Islam yang mendapat triger ketika ada pihak eksternal yang menafsirkan agama mereka dengan cara yang salah. Kaum muslimin itu adalah silent majority. Perasaan sebagai korban, ketidak adilan, kemiskinan dan lain-lain berakumulasi menjadi puncak api dalam sekam yang menggunung, yang menyembur keluar ketika dipicu oleh perilaku Ahok.
Saya tidak tertarik dengan keberpihakan secara SARA, tetapi isu sara dalam kasus Ahok menjadi relevan bukan karena ia adalah penyebab utama. Isu sara itu adalah pemantik ketidakpuasan silent majority dalam kasus penegakan hukum terhadap Ahok. Terasa sangat ada perlakuan yang berbeda. Kesan dan pesan yang masuk dan terpapar ke benak silent majority, ada keberpihakan negara terhadap personal. Dan tentu siapapun mereka yang tidak punya kepentingan sosial politik ekonomi melihat keberpihakan tersebut sebagai bentuk arogansi. Seperti layaknya menonton film, silent majority sebagai penonton melihat peran antagonis negara dalam kasus Ahok. Dan tentunya adalah sangat wajar keberpihakan akan mereka berikan kepada pihak-pihak yang menjadi lawan semua pelaku peran antagonis tersebut. Presiden Jokowi harus tahu bahwa beliau secara tidak langsung akan dikesankan dan dicitrakan sebagaikan pihak yang berada di sisi Ahok dari melihat perlakuan aparat penegak hukum dalam kasus Ahok. Dan itu pasti akan merugikan beliau. Saya ingin menyampaikan masukan bahwa citra Antagonis yang telah terbentuk tersebut tidak akan bisa dihilangkan dengan proganda media dan stigmaisasi kepada semua yang beroposisi terhadap Ahok sebagai intoleran, primordial, tidak panca silais dan tidak NKRI.
Sungguh secara pribadi saya tidak suka Sara masuk dalam isu kontestasi politik. Tapi semuanya sudah terjadi. Tinggal keputusan hakim yang mampu menjadikan isu Sara pilkada DKI berhenti pada tanggal 19 April yang lalu saja. Tetapi kalau hakim kemudian gagal menghadirkan penegakan hukum tersebut maka kuat dugaan saya *tula* Al-maidah 51 akan bergaung terus dan akan menumbangkan semua pihak yang berseberangan dengannya dalam konstestasi pilkada 2018 dan pilpres serta pileg 2019.
Ikuti tulisan menarik Andi irawan lainnya di sini.